Bagi sebagian besar orang, liburan akhir tahun adalah kesempatan untuk pulang kampung, kembali ke rumah menemui orang tua dan berbagi keceriaan dengan sanak saudara. Begitupun saya, melupakan sejenak hiruk pikuk kesibukan di kota, kembali ke kampung halaman.
Melihat sekeliling kamar tidur yang sudah cukup lama tidak saya tempati, ada satu hal yang baru saya sadari belakangan. Ternyata selama ini saya mengoleksi cukup banyak buku, berjajar rapi di empat susun rak lemari. Mulai dari buku-buku pelajaran sekolah, referensi kuliah, kumpulan soal, kamus-kamus, keterampilan, bisnis, agama, novel, hingga kumpulan puisinya Sapardi Djoko Damono.
Satu hal lainnya yang kemudian menyusul saya sadari, tidak semua dari buku-buku tersebut saya baca sampai habis. Padahal setelah diingat-ingat, buku-buku yang saya punya sekarang adalah hasil kesediaan saya sendiri untuk membelinya. Apalagi jaman kuliah sering beruntung dapat voucher Gramedia dan Periplus. Lantas, kenapa tidak habis dibaca?
Buku pelajaran sekolah, referensi kuliah, kumpulan soal, dan kamus-kamus tidak pernah saya baca detil halaman per halaman karena keperluannya untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Lagipula semua buku referensi itu tidak kira-kira tebalnya, berbahasa asing pula. Tapi yang terpenting, saya memahami A-Z buku-buku itu bicara apa, berkat penjelasan lebih dari pengajar dan pendukung belajar lainnya.
Sedangkan dari sekian banyak koleksi buku umum, sejauh ini hanya 6 (enam) buku saja yang dapat saya pastikan sudah dibaca sampai habis, semuanya best seller. Apa saja itu?
- Laskar Pelangi - Andrea Hirata (2005)
- 50 Dongeng Anak Muslim Sebelum Tidur - MB Rahimsyah (2006)
- Hypnosis for Selling - Willy Wong (2010)
- Rasulullah's Business School - Abuya Monif & Laode (2014, Cetakan 14)
- Biografi Muhammad Rasulullah - Maulana Muhammad Ali (2015)
- Rich Dad Poor Dad - Robert T Kiyosaki (2016, Cetakan 43)
Kenapa enam buku itu bisa habis dibaca, sedang berpuluh-puluh buku lainnya tidak?
Saya rasa faktor-faktor ini pula yang akan membuktikan mengapa enam buku di atas menjadi best seller, dari sudut padang pembaca.
Inspiratif
Inspiratif artinya memberikan pencerahan atau motivasi untuk menjalani hidup lebih baik. Agar tepat sasaran menyentuh pembaca, tentu pesan yang disampaikan haruslah realistis dan bisa ditangkap logika semua orang.
Entah apakah buku itu bercerita tentang keuangan pribadi, pendidikan, moril atau keyakinan. Entah apakah buku itu menggunakan sudut pandang orang pertama, kedua atau ketiga. Saya pribadi lebih senang membaca buku berdasarkan pengalaman atau kesaksian pribadi sang penulis, lebih meyakinkan dan detil kisah terdeskripsi dengan baik.
Ketulusan dalam tulisan
Sepertinya kriteria ini agak subjektif. Saya lebih suka membaca tulisan yang apa adanya, jujur, bahkan mungkin blak-blakan. Bukan hanya menulis dengan benar, tetapi menulis kebenaran dengan benar.
Akhir chapter menggantung
Akhir chapter atau bab yang menggantung akan membuat penasaran sehingga lanjut ke chapter berikutnya menjadi tugas wajib. Bahkan setelah membaca habis semua buku, pembaca masih dibuat penasaran tentang kelanjutan cerita. Sehingga terbit edisi-edisi lanjutan yang jadi target buruan pembaca. Andrea Hirata dan Robert Kiyosaki adalah penulis cerdas yang dapat melakukan hal ini.
Formula pendorong produktifitas
Setelah membaca chapter demi chapter dari isi buku hingga selesai, ada poin-poin yang bisa dicatat ulang menjadi seperti panduan langkah konkret. Jika digabungkan akan menjadi sebuah konsep komprehensif untuk meningkatkan produktifitas. Salah satu contohnya, buku Willy Wong, tepat mengilhami saya sehingga dapat membuat formula bagaimana cara agar customer service toko konvensional menjual dengan efektif.
Ringan walau sebenarnya berbobot
Banyak buku berbobot tapi tidak laku di pasar. Ini soal penamaan judul buku dan gaya menulis.
Banyak editor yang takut keluar pagar, alias takut memberi judul buku fenomenal yang menjual. Saya tahu fakta ini dari pengalaman Robert Kiyosaki saat akan menerbitkan buku pertamanya berjudul If You Want To Be Rich and Happy Don't Go to School namun penerbit menyarankan judul diubah menjadi The Economics of Education.
Tema yang berat jika dituliskan dengan gaya menulis yang berat, akan membuat pembaca berpikir berkali-kali dan tidak menutup kemungkinan pembaca akan membentuk asumsinya sendiri. Bahkan bisa jadi bernasib sama seperti buku-buku referensi sekolah yang menumpuk tapi tidak pernah habis dibaca.
Saya lebih suka dengan gaya tulisan yang sederhana, ringan, to the point dan deskriptif. Tidak berputar-putar, tidak diulang-ulang. Penulis membuat satu kesepahaman dengan pembaca saat itu juga (baca: saat pembaca membaca tulisan penulis).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H