Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konsep Kompetensi, Jangan Biarkan Bakat Terpendam!

20 Desember 2018   21:13 Diperbarui: 18 Januari 2019   20:10 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingat dengan karakter Lintang dan Mahar dalam Laskar Pelangi novel best seller karya Andrea Hirata? Mereka adalah kolaborasi lambang keseimbangan. Lintang dianugerahkan Tuhan terlahir pintar, mahir berhitung, pandai berbahasa, serta punya logika kuat pencipta konsepsi sehingga mampu mengemas konsep rumit secara runtut, sederhana, dan mengembangkannya dengan sudut pandang berbeda. 

Mahar memiliki bakat besar pada seni. Ia lah seorang penyair, peka nada, pandai memainkan instrumen musik, sutradara pentas ulung, dan penghasil ide-ide kreatif. Lintang lebih berat otak kirinya, sedang Mahar lebih berat otak kanannya. 

Dalam cerita, dua anak dengan potensi berbeda ini sama-sama giat mengelola bakatnya sehingga berprestasi gemilang di sekolah dengan cara masing-masing.

Saya tertarik membaca karakter Lintang dan Mahar yang dideskripsikan apik oleh Andrea Hirata dalam karyanya. Hingga kemudian ada satu konsep berharga yang saya analisa dan tuangkan dalam tulisan ini, mengenai bakat dan kompetensi.

Mengenal Bakat dan Kompetensi

Pada umumnya, bakat diartikan sebagai kemampuan dasar atau potensi bawaan sejak lahir terhadap bidang tertentu, bisa apa saja. America's Got Talent, rasanya adalah acara pencarian bakat terbesar di Amerika yang masih berlangsung hingga hari ini. Acara ini adalah ajang unjuk gigi bagi mereka yang berbakat dan punya keberanian untuk mempertontonkan bakatnya. 

Ada yang menunjukkan bakat bernyanyi, memainkan alat musik, sulap, sirkus, memandu hewan, menari, akting, dan banyak lagi. Sayangnya karena ajang tersebut bertema seni pertunjukan, bakat seolah-olah dipersempit artinya sebagai kemampuan seni. Padahal terlahir seperti Lintang, itu pun bakat.

Jika dilatih, bakat akan menjadi kompetensi. Kompetensi itu satu tingkat di atas kebisaan, satu tingkat di atas kapabilitas. Kata lain dari kompetensi adalah kemampuan atau kemahiran. Hubungan antara bakat dan kompetensi kurang lebih tampak pada bagan berikut:

picture1-5c1ba48fbde5751bcd5468a6.png
picture1-5c1ba48fbde5751bcd5468a6.png
Ada dua jenis bakat: (1) bakat tersalurkan, (2) bakat terpendam. Bakat tersalurkan adalah bakat yang dilatih hingga mahir, jika berkarya dari kemahiran itu maka lahirlah pengakuan. 

Sedangkan bakat terpendam ialah bakat yang tidak dilatih sehingga tidak diketahui sejauh mana tingkat kompetensinya, tidak ada karya yang dihasilkan sehingga tidak ada pengakuan apapun atas yang bakat yang terpendam itu.

Hal ini dapat terjadi karena disengaja maupun tidak disengaja. Konon katanya, banyak orang di dunia ini yang sudah tahu bakatnya apa, tapi tidak mau ambil pusing, dihiraukan begitu saja. Ada juga sebagian orang yang menghabiskan seumur hidupnya tanpa menyadari bakat besar apa yang dipunya. 

Singkatnya, dapat kita katakan bahwa kompetensi lahir dari bakat yang diasah. Namun kompetensi juga dapat dibentuk meski sebenarnya seseorang tidak berbakat. Caranya sama, harus berlatih dan dimantapkan hingga mahir. Dari kemahiran itu, karya akan lahir dan diakui. Tapi bedanya, proses belajar seorang non-bakat bisa jadi membutuhkan waktu lebih lama atau energi lebih keras dibanding seorang berbakat. Kasus ini bisa dijelaskan.

Penafsiran Isoquant

Dalam ilmu ekonomi, dikenal istilah isoquant, yaitu kombinasi input-input untuk menghasilkan output pada tingkat yang sama. Kita andaikan bakat dan latihan sebagai kombinasi input, sehingga menghasilkan kompetensi sebagai output. Analogi tersebut saya gambarkan dalam kurva isoquant berikut.

picture2-5c1ba502aeebe16cc109a018.png
picture2-5c1ba502aeebe16cc109a018.png
Dalam novel dituliskan, meskipun Lintang sudah berusaha sekuat tenaga tetap tidak bisa menyaingi nilai seni Mahar. Penjelasan isoquant adalah, Lintang punya bakat seni lebih sedikit dibanding Mahar sehingga butuh latihan jauh lebih banyak untuk memiliki kompetensi seni setara Mahar. Sedangkan Mahar, yang punya bakat seni besar, tidak butuh banyak latihan untuk menyetarakan kemampuan Lintang.

Jika demikian, seseorang berbakat jelas lebih beruntung dari orang tak berbakat. Tapi perlu diingat, kenyataan ini berlaku hanya jika bakat dikelola (baca: dilatih hingga mahir). Karena mau orang itu berbakat ataupun tidak, hasilnya nol jika tidak dikelola sampai jadi karya. Kok nol?

Asumsi Nilai

Saya akan buat asumsi nilai masing-masing untuk bakat dan karya, seperti ini:

Bakat = +1; Non Bakat = -1; Karya = +1; Non Karya = -1

Jadi,

Bakat + Karya = +2; Bakat + Non Karya = 0; Non Bakat + Karya = 0; Non Bakat + Non Karya = -2

Jika punya bakat dan berkarya, nilainya plus dua. Jika punya bakat tapi tidak berkarya, maka tidak menghasilkan apa-apa alias nol.

Jika tidak berbakat tapi berkarya, nilainya juga nol. Sedikit pengecualian untuk kasus ini. Seseorang yang tidak punya bakat tapi mencoba mempelajari sebuah kompetensi, karyanya barangkali tidak seistimewa karya seorang berbakat dari bidang kompetensi tersebut. Ini masalah insting kreativitas alamiah untuk membuat karya gemilang, maksud saya ide out of the box. Karena seorang pembelajar tanpa bakat, biasanya text book dan step by step sesuai ajaran guru, canggung keluar dari pagar merah. Tapi bisa saja karena jam terbangnya, seorang pembelajar tanpa bakat akan menjadi segemilang pembelajar berbakat.

Asumsi terakhir, jika sudahlah tidak punya bakat dan tidak pula berkarya, hasilnya minus dua.

Berapa Nilai Kompetensimu?

Tanyakan diri sendiri empat hal ini:

(1) Apakah saya menyadari bakat yang saya miliki?

(2) Sejauh mana saya mengelola bakat tersebut?

(3) Adakah karya yang sudah dihasilkan dari bakat tersebut?

(4) Bagaimana karya tersebut memberikan saya arti lebih?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bisa sambil membuat peta seperti (contoh) ini.

picture3-5c1ba4a143322f73cf4c1fa8.png
picture3-5c1ba4a143322f73cf4c1fa8.png
Standar bahwa kita sudah berkarya atau belum berkarya bisa bermacam-macam, direpresentasikan dari pengakuan. Pengakuan bisa saja dalam bentuk profesi, honor, apresiasi, sertifikasi, publikasi, atau standar yang ditentukan oleh diri sendiri. Dari contoh di atas, andai kata bakat Musik, Menulis, dan Komunikasi dikelola hingga menghasilkan karya, maka nilai diri menjadi jauh lebih tinggi, dari +2 menjadi +8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun