Sebetulnya saya akan membuat artikel bertajuk Ekonomi Itu Sederhana, tapi sebagai prolog saya malah kebablasan membuat artikel ini. Cerita perjalanan masa lalu saya sampai akhirnya memilih jurusan Ilmu Ekonomi, atau sekarang lebih dikenal dengan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan atau Ekonomi Pembangunan, di jenjang Sarjana atau S1.
Sejak usia 4 tahun saya selalu katakan ke orang tua bahwa besar nanti saya akan menjadi seorang dokter. Saat beranjak remaja, dengan berbagai aktivitas hobi coba-coba, saya mulai memikirkan cita-cita lainnya.
Sewaktu di sekolah dasar, saya pernah bermimpi akan menjadi seorang komposer karena secara otodidak pandai memainkan tuts keyboard dan gitar, serta melantunkan nada-nada yang saya buat sendiri.Â
Naik tingkat ke sekolah menengah pertama, tekad saya semakin kuat menjadi seorang komposer sekaligus vokalis group band yang musikalitasnya sekelas Ahmad Dhani CS. Saat itu saya tergabung dalam group band keluarga dan teman-teman sekolah sehingga sudah percaya diri tampil dari panggung ke panggung sejak remaja.Â
Tapi kemudian setelah lulus SMP, kedua group band saya tersebut bubar. Seiring dengan itu saya mencoba hobi lain, yaitu menjadi video maker. Kala itu ada dua film pendek yang sudah saya buat, dengan bantuan talent dari orang-orang sekitar lingkungan sendiri, berjudul Ketika Birahi Bicara dan 4 Suara Bagi Negeri.
Sempat terpikir melanjutkan kuliah di jurusan musik atau broadcasting, tapi akhirnya saya mencoba peruntungan ikut tes masuk universitas negeri jurusan kedokteran. Saya kuatir, musik dan broadcasting hanyalah hobi coba-coba mengisi waktu luang saat sekolah, bukanlah hal yang kedepannya akan bisa saya tekuni dengan serius. Risiko cukup besar, ini soal masa depan berpuluh-puluh tahun lamanya.
Namun kemudian, salah seorang bukde (panggilan orang jawa untuk bibi atau saudara lebih tua dari ayah/ibu) yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam salah satu rumah sakit besar di Jakarta menyampaikan pesan kepada ayah.
"Kalau anakmu mau kaya, jangan jadi dokter. Mintalah ia belajar Ekonomi ..."
Ayah kemudian menyampaikan pesan itu kepada saya. Dulu saya berpikir, saya memang berkeinginan menjadi orang kaya, bukan karena materialistis atau mata duitan.Â
Ini karena di sisi lain dari hidup saya (apa ya namanya? seperti agama, keinginan menikah, punya anak, dan hal-hal semacam itu loh), saya berimajinasi suatu hari nanti dapat membangun sebuah rumah di tengah perkebunan yang damai, dengan pekerja-pekerja di lingkungan sekitar yang hidup tenteram dari usaha palawija modern yang kami bangun bersama-sama. Mimpi jangka panjang.
Setelah memikirkannya berpuluh-puluh kali, mencari banyak referensi dan menilai diri sendiri, akhirnya bulat sudah keputusan saya untuk tidak lagi memikirkan tes masuk universitas negeri jurusan kedokteran.Â
Melainkan mencari tahu, "Dimana jurusan Ilmu Ekonomi terbaik di Bandung?". Pilihan saya jatuh kepada sebuah universitas swasta tertua dan ternama di kawasan Ciumbuleuit Bandung. Di tempat ini lah saya mulai belajar mengenal Ilmu Ekonomi, dari nol, dan jatuh hati dibuatnya.
Apa yang membuat saya jatuh hati? Salah seorang dosen pernah berkata,
"Barangkali laboratorium Ilmu Alam hanya seluas ruang yang terbatas sekat-sekat. Tapi laboratorium Ilmu Ekonomi adalah seluas dunia ini. Apapun yang terjadi di dunia ini, sampai hal terkecil yang dialami diri sendiri, hal-hal itu yang membentuk teori dan hipotesa dalam Ilmu Ekonomi. Tidak ada yang absolut ..."
Seorang dosen lainnya berkata,
"Ekonomi sesederhana gambar ini (sambil menggambar sepasang dua orang lidi) tentang manusia dengan dirinya sendiri dan ia dalam memperlakukan manusia lainnya ..."
Dosen lain berkata,
"Kalau kalian pikirkan, ekonomi itu kompleks. Tapi kalau kalian pelajari, ekonomi bisa menjadi begitu sederhana karena asumsi ..."
Ilmu ini luas, tapi di satu sisi sederhana. Filosofis, tapi di satu sisi egois. Terikat asumsi, tapi di satu sisi menunjukkan kebebasannya.
Saya suka bagaimana ilmu ini berkembang dari segala aspek yang membentuknya. Dan ya, saya akan mencoba memberikan pandangan saya mengenai ilmu ini bersinggungan dengan enam aspek tersebut. Tentunya dengan segala keterbatasan yang saya miliki. Sampai jumpa di artikel berikutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H