Mohon tunggu...
Djendoel Gesti
Djendoel Gesti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang gadis yang selalu haus dan lapar tentang ilmu kehidupan..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memoar tentang Mamak

2 September 2012   18:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bagaimana? Sudah kau pikirkan tawaranku?.”

Aku menggeleng. Kegalauan merayapiku hingga ke sumsum tulang. Aku masih ingin tinggal di Brebes, menghidupi diriku sendiri berbekal okol dan tenaga kuli. Kini aku tak punya siapa-siapa lagi, harta yang tersisa hanya sebuah rumah beratap daun kelapa yang hampir roboh peninggalan Nenek. Haruskah aku mengikuti jejak Mamak? Merantau jauh ke negeri orang. Tapi bagaimana jika sesampainya di sana aku tak dapat bertahan hidup?. Bagaimana jika aku tak sanggup menghadapi kerasnya negeri orang? Apalagi aku belum pernah belajar bahasanya sedikitpun. Keringat dingin mulai membasahi tengkukku.

“Kau lihat si Marni, Kardi, Parjo, juga Lastri, tetanggamu itu, mereka pulang dengan membawa banyak uang kan? Apa kau mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Aku bahkan tak menuntutmu biaya sepeserpun.” Lelaki berjaket kulit ini menyebutkan satu persatu warga desaku yang menjadi TKI dengan bantuannya. Ia terus saja mendesakku agar menjadi TKI. Tapi entah kenapa hatiku tak tenteram, bukan ini yang kuinginkan. Lagipula orang-orang yang ia sebutkan tadi hanya pernah pulang sekali, selanjutnya dalam hitungan bulan, bahkan tahun, mereka seakan hilang ditelan badai, tanpa kabar berita sedikitpun. Aku semakin meragukan kata-kata lelaki ini mengingat fakta itu.

“Siapa tahu di sana kau bisa bertemu Bapakmu, Lif.”

Aku tersadar dari lamunanku, cangkir yang berisikan kopi mendadak lolos dari genggamanku. Suaranya beradu dengan lantai dan menimbulkan sedikit kegaduhan di malam yang semakin larut. Bergegas kuambil kain lap dan kubereskan sisa-sisa cangkir yang berserakan di bawah meja. Bertemu Bapak? Sedikitpun aku tak pernah membayangkannya. Bagiku Bapak hanyalah sebuah ilusi yang nyata. Nenek pun hanya bicara sedikit tentang Bapak.

“Bapakmu itu orang luar negeri, orang asing, bukan orang sini,” kata Nenek saat aku menanyakan Bapakku. Aku hanya terdiam mendengar pernyataan Nenek. Pantas hidungku mancung seperti paruh burung beo, dan mataku berwarna hitam kecokelatan dengan alis yang menghitam tebal. Kulitku putih bersih, dan rambutku agak keriting. Gadis-gadis di desa sering salah tingkah saat melihatku, entah mengapa. Mungkin karena wajah dan postur tubuhku yang tinggi dan tak seperti lelaki di desaku pada umumnya. Orang-orang di desaku sering memanggilku dengan sebutan ‘Alif Arab’. Kadang mereka memanggilku dengan sebutan Arab, yang katanya sesuai dengan wajahku yang seperti orang Arab. Mungkin benar kata Nenek, Bapakku orang luar negeri, orang Arab. Itulah satu-satunya alasan mengapa wajahku tak mirip sedikitpun dengan Mamakku. Mungkin saat merantau di Riyadh dulu Mamak bertemu dengan Bapakku, dan menikah di sana. Kemudian Mamak melahirkanku di kampung tanpa kehadiran Bapak di sisinya. Namun tak pernah kutemukan sebongkah cerita tentang Bapak dari Nenek, fotonya saja tak ada. Surat nikah, atau dokumentasi pernikahan Mamak dengan Bapak pun tak ada. Aku hanya dapat bermimpi menemukannya di sela-sela khayalku. Bapak mungkin ada, nyata, tapi keberadaannya seperti ilusi yang tak bertepi.

“Siapa tahu di sana kau bisa bertemu Bapakmu, Lif.”

Aku kembali tercenung dan menatap Mas Karjo, lelaki berjaket kulit itu. Ia tersenyum melihat kegamanganku setelah menyinggung soal Bapak.

“Kau cuma lulusan SMP, mau cari kerja dimana Lif, jaman sekarang yang Sarjana saja masih susah cari kerjaan.Opo maneh sing lulusan SMP. Apalagi yang lulusan SMP.” Katanya lagi, setengah memaksa.

“Beri aku waktu tiga hari lagi Mas. Aku masih belum mantap,” kataku sambil menerawang jauh, memandang ujung cakrawala yang menari bersama senja.

Mas Karjo mendengus dan mendecakkan lidahnya. “Hanya tiga hari, aku tak mau membuang waktu. Seminggu lagi kau sudah harus berada di Jakarta untuk mengurus kepergianmu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun