Mohon tunggu...
Ges Saleh
Ges Saleh Mohon Tunggu... Buruh - Menulis supaya tetap waras

Bercerita untuk menasihati diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pengendali Tulang Ikan

16 November 2020   21:57 Diperbarui: 17 November 2020   16:45 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbah Man melenggang dari rumah Pak Dosen dengan semringah. Sepeda ontel miliknya digiring ke luar pagar sambil beberapa kali dimainkan belnya. 

Orang-orang mengenal Mbah Man sebagai seorang tukang pijat keliling. Meski pijat keliling, sebenarnya Mbah Man tidak betul-betul berkeliling secara acak dari satu tempat ke tempat lain dan berharap orang-orang secara kebetulan menggunakan jasanya. Pria yang sudah belasan tahun lalu ditinggal mati istrinya itu sudah memiliki pelanggan tetap. Mbah Man biasanya datang ke rumah pelanggannya sesuai jadwal rutin yang sudah disepakati atau kadang saat orang-orang ingin menggunakan jasanya secara dadakan. 

Siang itu, Pak Dosen, salah satu pelanggannya sejak empat tahun terakhir, memberikan upah lebih dari biasanya. Walau Mbah Man tidak pernah mematok tarif untuk setiap jasanya, uang yang diberi Pak Dosen  bisa didapat setelah dirinya memijat sepuluh kali. Kemurahan Pak Dosen bukan tanpa sebab. Selain telah membuat otot-otot Pak Dosen kembali bugar, Mbah Man telah menolong anak Pak Dosen.  

Saat sedang makan, anak Pak Dosen yang masih SD mengalami hal yang paling menyebalkan saat makan. Sebatang tulang tersangkut di tenggorokannya. Menusuk-nusuk bagian dalam leher si anak saat otot tenggorokannya bergerak. Si anak cuma bisa menangis, membuka mulutnya lebar-lebar, lalu melapor pada orang tuanya dengan bahasa isyarat.  

Dengan sigap, sang ibu memberikan pertolongan pertama pada si anak. Mereka memberikan anaknya sekepal nasi untuk ditelan, namun gagal meski sudah kepalan yang keempat. Begitu juga saat menyuruh si anak menenggak segelas minyak sayur dengan harapan si tulang akan terpeleset dalam rongga tenggorokan yang licin. Bahkan, Pak Dosen sempat melakukan Heimlich Maneuver, gerakan yang biasa dipakai untuk menolong orang tersedak. Pak Dosen mengira gerakan itu akan efektif membuat si tulang melompat keluar dari mulut anaknya seperti saat anaknya tersedak bakso utuh. Semua usaha mereka sia-sia. Si tulang enggan berpindah dari tempatnya, seperti orang suci yang kukuh dalam pertapaannya.

Saat Pak Dosen hendak membawa anak semata wayangnya itu ke klinik untuk mendapat pertolongan lanjutan, Mbah Man tanpa aba-aba mengusap-usap leher si anak dengan lembut. Belum sempat Pak Dosen menegur kelakuan tiba-tiba Mbah Man, si anak mengaku ganjalan di tenggorokannya sudah hilang.

Pak Dosen heran sekaligus takjub dengan kemampuan Mbah Man. Kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, mungkin Pak Dosen tidak akan percaya seorang bisa memindahkan posisi tulang itu tanpa melakukan kontak langsung.

Pak Dosen menanyakan bagaimana cara Mbah Man bisa melakukan hal itu.  Pria tua itu menjawab singkat, karena dirinya terlahir sungsang. Sebuah jawaban yang tentu saja tidak memuaskan rasa penasaran Pak Dosen. Menurut Pak Dosen, tidak ada korelasi antara cara seseorang lahir dan keahlian menyingkirkan tulang yang tersangkut dari tenggorokan. Kebiasaannya berpikir kritis, menghasilkan sebuah kesimpulan liar, bahwa Mbah Man bisa melakukan telekinesis. Bagi Pak Dosen, hal itu jauh lebih masuk akal dari pada sepakat kemampuan itu didapat Mbah Man karena dirinya terlahir kaki lebih dulu. 

“Ada-ada saja Pak Dosen ini,” sanggah Mbah Man, “Mana bisa orang membuat benda-benda bergerak cuma pakai pikiran,” lanjutnya.

“Jangan salah, Mbah. Hal itu bukan tidak mungkin. Saya pernah membaca sebuah jurnal ilmiah soal kemampuan semacam itu. Kesimpulannya, memang ada manusia yang bisa menggerakan benda dengan pikiran,” jelas Pak Dosen. “Sekarang pertanyaannya, apa Mbah pernah mencobanya selain dengan tulang di dalam leher?” 

Diskusi mereka berakhir tanpa kesepakatan. Pak Dosen masih kukuh dengan analisanya, sedangkan Mbah Man dengan keyakinannya. Tetapi tidak dapat disangkal oleh Mbah Man, keyakinan yang sudah mengakar selama puluhan tahun itu mulai terganggu oleh kata-kata Pak Dosen. Semakin banyak kayuhan sepedanya, semakin ingin ia membuktikan kekeliruan teori Pak Dosen. 

Ingatan Mbah Man terlempar pada momen dirinya masih kanak-kanak. Suatu hari neneknya memberitahu kalau Mbah Man muda adalah anak yang spesial karena lahir sungsang. Dirinya akan melakukan hal-hal besar yang tidak bisa dilakukan orang kebanyakan. Sayang, satu-satunya hal spesial yang bisa dilakukannya hanyalah mengobati orang yang tersangkut tulang ikan di tenggorokan. 

Momen lorong waktu dalam pikirannya seketika buyar saat di kanan-kirinya, orang-orang berlarian lebih cepat dari laju sepedanya. Orang-orang itu berkumpul di depan sebuah minimarket. Mbah Man yang penasaran mencoba mencari tahu penyebab keramaian itu. 

Dari balik punggung orang-orang, Mbah Man melihat laki-laki yang tengah mendekap seorang gadis dari belakang. Adegan itu mungkin saja terlihat romantis jika si laki-laki tidak menodongkan belati ke arah leher si gadis. 

Beberapa pria mencoba mendekati pasangan itu, namun mundur kembali ketika ujung belati itu kian menekan kulit pucat si gadis. 

“Kenapa itu, Mas?” tanya Mbah Man pada seorang pemuda di sebelahnya.

“Itu, Pak, copet. Pas udah mau ketangkep, malah nyandra cewek,” jawab pemuda itu tanpa menoleh ke arah Mbah Man.

Mbah Man ikut larut dalam ketegangan yang ditampilkan adegan tanpa rekayasa itu. Sesekali dirinya menganalisa, kapan waktu yang tepat untuk melumpuhkan si penjahat. Orang-orang yang mengelilingi si penjahat terlalu penakut untuk mengambil tindakan, batin Mbah Man. Beberapa kali kesempatan mereka lewatkan begitu saja. Mbah Man kembali berkhayal, seandainya tubuhnya masih segesit dulu.

Suasana di tempat parkir minimarket itu kian menegangkan. Si gadis sudah tidak lagi sanggup berdiri. Tangisnya yang tersedu-sedu, sudah sama sekali berhenti. Stamina mentalnya sudah benar-benar habis. Si penjahat terpaksa harus ikut melantai dengan sikap siaga. 

Tiba-tiba percakapan dengan Pak Dosen kembali muncul dalam benaknya. Ada kemungkinan Mbah Man bisa menggerakkan sesuatu dengan pikirannya. Kini, dua suara dalam kepalanya sedang berdebat. Yang satu sedang mati-matian menyangkal pendapat Pak Dosen, sedang yang satu lagi menyuruhnya untuk mencoba.

“Edan!” bisik Mbah Man dengan intonasi dalam. Pria tua itu kemudian mundur menjauhi kerumunan. Setang sepeda tuanya digenggam sangat erat. Setelah beberapa langkah, Mbah Man berbalik ke pusat keramaian. Mata tuanya mencari sela yang tepat, sehingga si penjahat bisa terlihat. Samar-samar, namun cukup baginya untuk membedakan mana tangan si penjahat, mana si belati. 

Mbah Man menarik nafas dalam. Pandangan dan tangan kanan Mbah Man diarahkan sejajar dengan belati si penjahat. Mbah Man berusaha menggali sensasi yang sama ketika ia mengubah posisi tulang ikan. Mbah Man merasakannya. Dengan gerakan cepat, Mbah Man mengangkat tangannya tinggi ke atas, dan peristiwa paling luar biasa dalam hidup Mbah Man baru saja terjadi. Belati itu ikut terangkat jauh ke langit. 

Si penjahat terkejut. Orang-orang yang menyaksikan hal itu juga tidak kalah terkejut. Mereka semua terdiam mencoba mencerna apa yang barusan terjadi. Empat detik kemudian, baru orang-orang bergerak meringkus si penjahat yang sudah tak lagi punya nilai tawar.

“Aku bisa melakukannya! Ternyata diriku memang spesial!” pekik Mbah Man dari kejauhan. 

Pikiran Mbah Man terlempar ke masa lalu. Betapa masa mudanya habis sia-sia tanpa menyadari bakat ini. Sedetik kemudian, dirinya melesat ke masa depan. Ia mulai berpikir hal-hal luar biasa yang dapat dilakukannya. Tidak, Mbah Man bahkan berpikir bisa melakukan apa pun.

Perasaan bahagia begitu menguasai diri Mbah Man. Tanpa ia rasakan, sesuatu sudah mencancap di tengkuknya yang bungkuk itu. Sesuatu yang tajam. Yang terakhir Mbah Man rasakan adalah cairan hangat yang mengalir deras di punggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun