Mohon tunggu...
Ges Saleh
Ges Saleh Mohon Tunggu... Buruh - Menulis supaya tetap waras

Bercerita untuk menasihati diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pengendali Tulang Ikan

16 November 2020   21:57 Diperbarui: 17 November 2020   16:45 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingatan Mbah Man terlempar pada momen dirinya masih kanak-kanak. Suatu hari neneknya memberitahu kalau Mbah Man muda adalah anak yang spesial karena lahir sungsang. Dirinya akan melakukan hal-hal besar yang tidak bisa dilakukan orang kebanyakan. Sayang, satu-satunya hal spesial yang bisa dilakukannya hanyalah mengobati orang yang tersangkut tulang ikan di tenggorokan. 

Momen lorong waktu dalam pikirannya seketika buyar saat di kanan-kirinya, orang-orang berlarian lebih cepat dari laju sepedanya. Orang-orang itu berkumpul di depan sebuah minimarket. Mbah Man yang penasaran mencoba mencari tahu penyebab keramaian itu. 

Dari balik punggung orang-orang, Mbah Man melihat laki-laki yang tengah mendekap seorang gadis dari belakang. Adegan itu mungkin saja terlihat romantis jika si laki-laki tidak menodongkan belati ke arah leher si gadis. 

Beberapa pria mencoba mendekati pasangan itu, namun mundur kembali ketika ujung belati itu kian menekan kulit pucat si gadis. 

“Kenapa itu, Mas?” tanya Mbah Man pada seorang pemuda di sebelahnya.

“Itu, Pak, copet. Pas udah mau ketangkep, malah nyandra cewek,” jawab pemuda itu tanpa menoleh ke arah Mbah Man.

Mbah Man ikut larut dalam ketegangan yang ditampilkan adegan tanpa rekayasa itu. Sesekali dirinya menganalisa, kapan waktu yang tepat untuk melumpuhkan si penjahat. Orang-orang yang mengelilingi si penjahat terlalu penakut untuk mengambil tindakan, batin Mbah Man. Beberapa kali kesempatan mereka lewatkan begitu saja. Mbah Man kembali berkhayal, seandainya tubuhnya masih segesit dulu.

Suasana di tempat parkir minimarket itu kian menegangkan. Si gadis sudah tidak lagi sanggup berdiri. Tangisnya yang tersedu-sedu, sudah sama sekali berhenti. Stamina mentalnya sudah benar-benar habis. Si penjahat terpaksa harus ikut melantai dengan sikap siaga. 

Tiba-tiba percakapan dengan Pak Dosen kembali muncul dalam benaknya. Ada kemungkinan Mbah Man bisa menggerakkan sesuatu dengan pikirannya. Kini, dua suara dalam kepalanya sedang berdebat. Yang satu sedang mati-matian menyangkal pendapat Pak Dosen, sedang yang satu lagi menyuruhnya untuk mencoba.

“Edan!” bisik Mbah Man dengan intonasi dalam. Pria tua itu kemudian mundur menjauhi kerumunan. Setang sepeda tuanya digenggam sangat erat. Setelah beberapa langkah, Mbah Man berbalik ke pusat keramaian. Mata tuanya mencari sela yang tepat, sehingga si penjahat bisa terlihat. Samar-samar, namun cukup baginya untuk membedakan mana tangan si penjahat, mana si belati. 

Mbah Man menarik nafas dalam. Pandangan dan tangan kanan Mbah Man diarahkan sejajar dengan belati si penjahat. Mbah Man berusaha menggali sensasi yang sama ketika ia mengubah posisi tulang ikan. Mbah Man merasakannya. Dengan gerakan cepat, Mbah Man mengangkat tangannya tinggi ke atas, dan peristiwa paling luar biasa dalam hidup Mbah Man baru saja terjadi. Belati itu ikut terangkat jauh ke langit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun