(Chapter 1)
Oleh:
Gerry Nugraha, S.Si., M.Sc.
Mahasiswa Prodi S2 Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tahukan Anda bahwa tidak sedikit dari obat-obatan yang sekarang berada di pasaran ditemukan justru karena faktor ketidaksengajaan? Tahukah bahwa obat yang saat ini beredar didominasi oleh obat-obat yang mulai dari proses penemuannya sampai berada di pasaran membutuhkan biaya hingga ratusan juta dolar US?Â
Tahukah bahwa kebanyakan obat-obat itu ditemukan dalam kurun waktu puluhan tahun? Tulisan ini akan sedikit menguraikan penjelasan mengenai fenomena-fenomena tersebut, serta sedikit fokus pada posisi Indonesia dengan kekayaan tanaman obatnya yang melimpah.
Obat ditemukan tidak sengaja? Apakah bisa? Obat penenang yang menjadi resep paling populer di Amerika Serikat ternyata berasal dari eksperimen yang gagal untuk menciptakan pewarna medis, yaitu senyawa Benzodiazepine.Â
Obat yang sekarang sering digunakan dalam operasi plastik ternyata berasal dari coba-coba pemakaian zat racun untuk mengobati mata juling, dikenal sebagai Botox.Â
Chlorambucil adalah obat untuk menyembuhkan kanker, ditemukan setelah penggunaan gas mustard pada Perang Dunia I, para peneliti menemukan bahwa zat nitrogen mustard dapat menyembuhkan leukemia dan sel darah putih yang bersifat kanker serta mencegah perkembangan tumor.
Penemuan antibiotik penisilin diawali dari ketidaksengajaan, pada tahun 1928 Alexander Fleming yang sedang meneliti bakteri Staphylococcus menemukan ada jamur yang tumbuh di cawan eksperimen yang dipakainya. Dikemudian hari jamur itu dikenal sebagai jamur Penicillium chrysogenum, berangkat dari ketidaksengajaan inilah yang menjadi cikal bakal ditemukannya antibiotik pertama bernama Penisilin (1).Â
Warfarin adalah obat untuk mencegah penggumpalan darah dan stroke, ditemukan karena beberapa ekor sapi yang memakan tumbuhan sweet clover mati disebabkan perdarahan berlebih saat operasi.Â
Sementara sapi yang tidak memakan tumbuhan tersebut tidak mengalami pendarahan, setelah dilakukan pengembangan warfarin digunakan dalam mencegah terjadinya gumpalan darah.Â
Beberapa obat terkenal juga ditemukan tidak sengaja, seperti Sildenafil yang dipasarkan dengan nama dagang Viagra yang awalnya dikembangkan untuk mengatasi nyeri dada, setelah uji klinis para pasien mengalami efek mudah ereksi, setelah itu ia dikembangkan menjadi obat anti impoten dan menjadi salah satu obat yang paling banyak dijual di dunia.Â
Minoxidil awalnya dijual sebagai antihipertensi, namun setelah ditemukan banyak pasien yang mengonsumsinya mengalami pertumbuhan rambut di seluruh tubuh, akhirnya obat ini dikembangkan sebagai anti kebotakan.Â
Masih banyak obat yang ditemukan secara tidak sengaja, seperti vaksin cacar yang ditemukan pada akhir 1700-an, isodiazina yang awalnya pada 1950-an dan tricyclics tahun 1960-an yang seharusnya untuk obat skizofrenia sekarang dipakai untuk obat TBC.
Beralih dari faktor ketidaksengajaan, berdasarkan sejarahnya, penemuan obat baru diperoleh melalui penggunaan hewan coba. Namun dengan banyaknya senyawa yang bisa mencapai ribuan bahkan puluhan ribuan, sangat tidak efisien apabila senyawa-senyawa tersebut diujikan satu per satu melalui penyaringan secara farmakologi yang membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit (2). Menurut DiMasi (3), proses pencarian aktivitas senyawa terhadap efek farmakokinetiknya, hingga pemanfaatan fungsi spesifik suatu obat memerlukan biaya rata-rata 802 juta US dolar, sampai akhirnya sebuah obat bisa mencapai pasar.Â
Selain prosesnya yang panjang dan biaya yang besar, waktu dibutuhkan yang lama juga menjadikan perkembangan penelitian untuk penemuan obat baru menjadi sangat lambat. Alur penemuan obat baru bisa dilihat pada gambar (4).
Jika dirangkum secara singkat, proses pencarian obat baru bisa digambarkan sebagai berikut; i) Penentuan target reseptor tempat obat berinteraksi dan menghasilkan efek terapeutik. ii) Penapisan senyawa yang diduga memiliki efek terapeutik, dilakukan dengan sintesis atau isolasi senyawa di laboratorium. iii) Formulasi senyawa obat untuk mengkondisikan agar obat dapat dihantarkan dengan baik pada reseptor. iv) Uji pra klinis untuk mengetahui efek farmakologi, profil farmakokinetik, dan toksisitas dari kandidat obat; uji in vitro (pada kultur sel atau organ terisolasi), uji in vivo (pada hewan utuh) (5). v) Uji klinis (pada manusia); Fase I (uji pada 25-50 manusia sehat), Fase II (uji pada 100-200 orang pasien tertentu), dan Fase III (uji pada ribuan pasien). vi) Registrasi izin edar obat (6).
Industri farmasi di Indonesia sendiri jarang melakukan riset sampai ditemukan obat baru hingga dipasarkan. Padahal dari total sekitar 40.000 jenis tumbuh-tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, 30.000-nya disinyalir berada di Indonesia.Â
Jumlah tersebut mewakili 90% dari tanaman obat yang terdapat di wilayah Asia, 25% diantaranya atau sekitar 7.500 jenis sudah diketahui memiliki khasiat herbal atau tanaman obat. Namun hanya 1.200 jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan, terutama untuk bahan baku obat-obatan herbal atau jamu (7).
Jalur yang harus ditempuh untuk penemuan obat baru sangat panjang, kemudian membutuhkan waktu belasan hingga puluhan tahun untuk satu jenis obat, yang kemudian berkorelasi pada pengeluaran biaya yang besar. Sementara, kekayaan alam Indonesia dengan tanaman obatnya menjadi potensi yang luarbiasa untuk bisa dieksplorasi.Â
Melihat permasalahan penemuan obat baru dengan cara konvensional (skrining sintesis), maka ilmu pengetahuan berkembang untuk memberikan solusi dari permasalahan tersebut.Â
Salah satunya dengan hadirnya kimia komputasional/ komputasi medisinal yang dikenal dengan studi in silico, bidang keilmuan ini mulai banyak digunakan dalam drug discovery maupun drug design. Selain mempersingkat waktu dalam proses penemuan obat, tentu saja akan berimplikasi pada penurunan biaya untuk riset obat.
Pendekatan in silico dalam desain obat baru merupakan sarana penelitian pendahuluan,  serta membantu dalam skrining kandidat obat poten yang layak. Hal ini dapat memangkas kuantitas kandidat obat secara signifikan (8). Salah satu metode yang dianggap efektif untuk penemuan obat baru berbantukan komputasi adalah structure base virtual screening (SBVS), metode ini merupakan pilihan pada tahap awal proses penemuan obat baru (9). Virtual screening menggunakan sistem komputer dengan performa tinggi, untuk menganalisa database dari senyawa kimia dalam mengidentifikasi kandidat senyawa obat. Kandidat yang diperoleh inilah yang akan dilakukan skrining, taitu secara sintesis eksperimental (10). Melalui metode ini diharapkan penemuan obat baru khususnya berbasis bahan alam dengan kekayaan tumbuhan tanaman obat di Indonesia bisa lebih tereksplorasi, penjelasan lebih lanjut tentang SBVS akan diulas pada tulisan berikutnya.
Referensi:
1.     Tan SY, Tatsumura Y. Alexander Fleming (1881–1955): Discoverer of penicillin. Singapore Med J. 2015;56(7):1–2.
2.     Wolff ME, Burger A. Burger’s medicinal chemistry and drug discovery, principles, and practice. 6th ed. Abraham D, editor. Vol. 1, Chemistry & industry. University of Virginia: A John Wiley and Sons, Inc.; 1995. 1–946 p.
3.     DiMasi JA, Hansen RW, Grabowski HG. The price of innovation: New estimates of drug development costs. J Health Econ. 2003;22(2):1–35.
4. Â Â Â Â Ruijter E. History, classification, and role in drug discovery. Amsterdam; 2019.
5.     BPOM. Peraturan badan pengawas obat dan makanan republik Indonesia tentang pedoman uji toksisitan non klinik secara in vivo. 2014;1–122.
6.     BPOM. Peraturan badan pengawas obat dan makanan republik Indonesia tentang kriteria dan tata laksana registrasi obat. BPOM RI. 2017;1–260.
7.     Zamroni S, Ernawati M. Info komoditi tanaman obat. Kementeri Perdagang Republik Indones. 2017;1–106.
8.     Lengauer T, Rarey M. Computational methods for biomolecular docking. Curr Opin Struct Biol. 1996;6(3):1–5.
9.     Cavasotto CN, Orry AJW. Ligand docking and virtual screening in structure-based drug discovery. Curr Top Med Chem. 2007;7:1006–14.
10.    Holtje HD, Folkers G, Luzar A. Molecular modeling, basic principles and applications. Vol. 12, Computers in Physics. 1998. 1–200 p.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H