Wacana dialog sudah banyak digagas. Di era Pemerintahan sebelumnya (Habibie, Gus Dur, dan SBY) berbagai terobosan pernah dilakukan. Presiden Habibie tahun 1999 pernah mengundang 100 tokoh Papua untuk berdialog di Istana Presiden. Tahun 2000 Presiden Gus Dur ‘melanjutkannya’ dengan mengijinkan penggantian nama ‘Irian Jaya’ menjadi ‘Papua’ serta terselenggaranya Kongres Rakyat Papua ke-2. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, konon adalah produk dari hasil dialog tersebut. Sementara pada era Presiden SBY diselenggarakan Kongres Perdamaian Papua (KPP) tanggal 5-7 Juli 2011 yang menghasilkan rekomendasi Dialog Jakarta-Papua menggunakan 5 juru runding.
Semua gagasan dialog itu berakhir tanpa wujud, lantaran belum terbangunnya saling rasa percaya dimaksud. Memang Dialog bukan solusi, melainkan media atau forum untuk memulai kebuntuan komunikasi politik antara Jakarta dan Papua. Komunikasi yang lebih intens dan reguler menjadi penting dalam rangka mengatasi ketegangan, saling curiga, dan saling tidak percaya antara Jakarta dan Papua selama ini. Dialog damai bukan sesuatu yang instan, melainkan proses panjang yang harus dipersiapkan secara matang.
Maka pasca Pidato Natal Presiden Jokowi dari Tanah Papua sebuah pekerjaan rumah siap menanti. Sumbang saran seluruh anak bangsa diperlukan guna membangun Papua sebagai Tanah yang Damai. Tulisan sederhana ini adalah bagian dari kepedulian saya sebagai bagian dari anak bangsa Indonesia yang mengidamkan negerinya menjadi Zona Damai. Damai bagi Bumi Cendrawasih, Damai bagi Bangsa Indonesia….Selamat Natal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H