Tinggal di Bali adalah sebuah keberuntungan bagiku yang senang pergi-pergi, sendirian. Oh, jangan dulu berpikir saya tipikal orang-orang itu yang introvert, cool, pemberani dan  suka menjelajah alam dalam kesendirian. Saya ekstrovert yang pemalu dan takut jalan sama orang. Menurut para cerdik pandai itu karena  low self esteem dan butuh terapi. Bodo amat, kalau nanti tunggu sembuh, tak ada kesempatan bagiku menikmati ketakterdugaan yang nikmat sekali.
Kisah singkat ini untuk kalian kompasioner petualang yang punya isu sepertiku atau yang memang tidak ingin menikmati Bali dengan cara mainstream.
Pura Luhur Tamba Waras letaknya di Kabupaten Tabanan. Jika kalian sedang ada di daerah hype seperti Canggu, menurut Google Maps, perjalanan dengan sepeda motor memakan waktu kira-kira satu jam. Akan tetapi Minggu kemarin perjalanku memakan waktu tiga jam.Â
Ada banyak tempat dan momen yang sayang kalau dilewatkan begitu saja. Ada sawah, bendungan, sungai, burung, dan kebun yang ditumbuhi rumput hijau tapi rapi jali.
Juga ada orang-orang untuk  senyum kiri-senyum kanan.Â
Rata-rata orang yang saya temui sedang menyabit rumput atau dalam perjalanan dengan rumput. Tampaknya desa-desa yang saya lewati adalah desa peternak. Pantas saja kebun-kebun mereka asri dengan rumput yang hijau tertata rapi. Seperti padang hijau kecil berjejer dihiasi rimbun pepohonan yang asri.
Pura Luhur Tamba Waras terletak di Desa Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Seperti dibaca di BaliExpress online, Pura Tamba Waras dibangun ditempat itu setelah sebuah kejadian spiritual berupa penemuan obat untuk raja yang lagi sakit. Raja akhirnya perlahan-lahan sembuh.Â
Sebagai tanda hormat dan pemuliaan, tempat ditemukan obat tersebut dibangun Pura pemujaan yang dikenal sebagai Tamba Waras. Tamba sendiri berarti obat dan waras berarti sehat.
 Yang kusuka dari tempat ini adalah udaranya yang dingin. Banyak anggrek dan lumut tumbuh di sana. Demikian pula sayur paku dan tumbuhan edible lainnya yang bertebaran di mana-mana. Kalau aku tinggal di sana, akan akan kuolah semua itu jadi makanan yang enak-enak.
Saya juga sempat pesan semangkuk mie kuah instan sama telor. Lima ribu perak. Seberang jalan dari tempatku makan ada lembah kecil tempat melukat. Untuk sobat kompasianer yang belum tahu, melukat adalah ritual pembersihan diri di mata air suci. Ini adalah salah satu kegiatan spriritual yang suka kulakukan.
Tapi hari ini saya tidak bisa melukat, ataupun mengunjungi bagian dalam pura. Tempat-tempat suci ini mengharuskan pengunjung mengenakan sarung. Tidak sempat kutanya sarung bisa disewa atau tidak, karena matahari sudah sangat condong hampir tenggelam.
Selain itu  perjalanan ke sana adalah keputusan impulsif. Sekedar pergi ke Penebel untuk menghindari bosan di kamar hampir seharian. Bahkan di pertigaan memasuki area Pura-pun hampr saja saya belok kanan ke Tabanan. Untung saya belok kiri, ke tempat suci yang luar biasa ini.
Lain kali saya akan datang lengkap dengan sarung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H