Public Private Partnership (PPP) yang sebagai kebijakan publik, memiliki tujuan tertentu yang akan dicapai, untuk menutup kesenjangan finansial (financial gap) hal tersebut terjadi akibat ketidakcukupannya anggaran dari Pemerintah Indonesia dalam membiayai infrastruktur. Adopsi dari skema pembiayaan Public Private Partnership (PPP) adalah KPBU yang merupakan pengadopsian dari kebijakan publik.
Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (PPP) adalah skema dari kerjasama antara pemerintah serta badan usaha untuk mengembangkan infrastruktur melalui perjanjian. Dalam skema PPP, pemerintah tetap memiliki kepemilikan proyek, namun hal tersebut tidak terlibat langsung dalam pembangunannya.Â
Sebagai kompensasi, sektor swasta akan mendapatkan manfaat dari proyek infrastruktur tersebut dalam jangka waktu tertentu. PPP juga dapat dikategorikan sebagai proyek Greenfield, yaitu sektor swasta bertanggung jawab untuk membiayai, membangun, dan mengelola aset publik. Skema ini memindahkan tanggung jawab dari sektor publik ke perusahaan swasta.Â
Artikel tersebut dapat membahas peran PPP dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia secara menyeluruh.Terbagi menjadi 5 bagian, artikel ini akan menjelaskan definisi dan konsep PPP, regulasi dan implementasinya di Indonesia, serta saran untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur.Â
Public Private Partership di Indonesia Menurut America's National Council on Public-Private Partnership tahun 2010, PPP merupakan kontrak antara sektor swasta dengan pemerintah yang dapat bertujuan untuk meningkatkan layanan publik dengan menggabungkan keahlian masing-masing pihak.Â
Dalam PPP, dari sektor swasta biasanya dapat bertindak sebagai investor serta bertanggung jawab atas manajemen operasional harian, sementara dari sektor publik dapat mengelola korporasi dan manajemen harian.Â
Kerangka tersebut membagi risiko dan manfaat antara kedua pihak sesuai Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015. Menurut Bank Dunia, PPP adalah kontrak jangka menengah atau panjang di mana sektor swasta menyediakan fasilitas, dengan tujuan bersama untuk mengembangkan infrastruktur atau layanan umum.
PPP mempunyai dua jenis berdasarkan dengan keuntungan bagi kedua pihak: pertama, biaya layanan yang dapat dibebankan pada pengguna, bukan untuk pembayar pajak; kedua, investasi modal dilakukan oleh sektor swasta tetapi dibebankan kepada pemerintah. PPP merupakan kemitraan besar antara pemerintah dan swasta dengan tujuh faktor kesuksesan: networking, kerja sama, koordinasi, kesediaan, kepercayaan, kemampuan, serta lingkungan yang kondusif.Â
Dalam konteks Indonesia tersebut, keberhasilan PPP dalam pembangunan infrastruktur transportasi dapat didasarkan pada lima variabel: kebijakan, sumber daya, karakteristik pelaku, komunikasi, dan kecenderungan lembaga pelaksana. Dalam pengembangan infrastruktur, sektor swasta bertugas membiayai, membangun, dan mengelola, sementara pemerintah mengatur layanan, memiliki aset, dan mengendalikan kerjasama.
PPP (Public-Private Partnership) antara pemerintah dan swasta mencakup pada kegiatan publik dengan kompetisi sektor swasta dalam investasi infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol.Â
Di Indonesia, PPP dijadikan alternatif oleh pemerintah setelah mengalami hambatan dalam pembangunan infrastruktur pasca krisis moneter 1998. Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur, tetapi hasilnya belum memadai, dan terjadi capital flight yang signifikan setelah krisis tersebut.
Pada tahun 2005, pemerintah telah mulai menerapkan konsep PPP dengan mengadakan Indonesia Infrastructure Summit I yang menghasilkan 90 proyek kerjasama. Program ini dilanjutkan pada tahun 2006 dengan Indonesia Infrastructure Summit II atau Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006, menawarkan 111 proyek kerjasama dengan sektor swasta.Â
Kesadaran untuk memperbaiki beberapa aspek demi meningkatkan potensi kerjasama PPP muncul setelah kedua acara ini. Tiga masalah utama yang perlu diatasi adalah pembentukan lembaga baru untuk program PPP, harmonisasi aturan yang bertentangan dengan investasi asing, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) pada tahun 2005 yang kini menjadi KPPIP.Â
Selain itu, institusi pendukung lainnya juga dibentuk, seperti Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (Risk Management Unit) di Departemen Keuangan, Badan Investasi Pemerintah, dan Simpul PPP (PPP Node) oleh Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.Â
Peningkatan komitmen pemerintah dalam bidang PPP menunjukkan bahwa implementasi PPP dapat membawa dampak positif dan menciptakan iklim yang kondusif jika didukung oleh faktor-faktor seperti peraturan yang mendukung, prosedur yang jelas dan rinci, budaya kompetisi yang sehat, transparansi dalam transaksi, pasar modal yang baik, dan pengetahuan pemerintah tentang skema PPP.
Referensi:
Dzakky, F. (2021). Public Private Partnership: Alternatif Pembangunan Infrastruktur dalam Negri. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 8(2), 573-584.Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H