Mohon tunggu...
Ave Maria Georgina
Ave Maria Georgina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pertamina

girl just wanna have funDAMENTAL HUMAN RIGHTS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Politik Maskulin Indonesia

18 Maret 2021   10:20 Diperbarui: 18 Maret 2021   10:55 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep negara dari dulu menampilkan dirinya sebagai sosok yang masuklin. Maskulin adalah laki-laki yang sangat "kebapakan" seperti memiliki kekuasaan dalam keluarga, serta mampu memimpin perempuan dan membuat keputusan utama. Oleh karena itu, terminologi maskulin sangat dengan konsep kenegaraan.

Indonesia tidak terkecuali. Wajah politik Indonesia dibangun dan dibentuk sedemikian rupa dengan cara pandang budaya patriarki, menyatakan ketidakpantasan perempuan di ruang publik dan dalam mengambil keputusan untuk kepentingan umum. Tidak. Politik Indonesia tidak ramah terhadap perempuan.

Hal ini kembali diperjelas dengan pemikiran Iris Young dalam artikelnya yang berjudul Logic of Masculinist Protection: Reflections on the Current Security State. Young menjelaskan bagaimana keamanan domestik negara dengan logika perlindungan maskulin melalui kacamata gender. Iris Young menjelaskan dengan contoh paling mudah yaitu dengan sebuah rumah tangga, dimana kepala keluarga adalah laki-laki dan sekeluarga bergantung kepadanya untuk memberikan perlindungan, sedangkan perempuan yang ada di keluarga bersifat lebih lemah. Uniknya, menurut Iris Young, perempuan yang bergantung pada laki-laki ini cenderung bersyukur dan memuja kehadiran laki-laki atas perlindungan yang diberikan. Ada 2 interpretasi dari maskulinitas menurut Iris Young; yang pertama yaitu dominative masculinity yang berarti bahwa laki-laki berasumsi memiliki peran yang dominan dan memerintah perempuan; dan yang kedua adalah protective masculinity atau kondisi dimana laki-laki berkorban untuk melindungi perempuan.

Dalam level yang lebih tinggi yaitu negara dalam lensa masculine protection, negara menjadi yang dominan dan menjadi pembuat keputusan untuk melindungi warga negaranya, yang berarti bahwa warga negara menjadi figur subordinate seperti yang ada dalam rumah tangga yang patriarkal. Menurut Iris Young, negara harus memiliki peran yang sama seperti di rumah tangga yang patriarkal dimana suami yang melindungi istrinya. Warga negara kemudian akan bersyukur dan memuja atas perlindungan yang diberikan oleh negara.

Namun berbeda dengan situasi di Indonesia. Jika memang politik Indonesia akan bersifat maskulin menurut masculin protection logict, maka penulis berharap pemerintah tidak setengah-setengah melakukannya.

RUU PKS atau Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri muncul di Indonesia atas dorongan masyarakat sipil yang prihatin dengan kasus kekerasan seksual di Indonesia yang terus berulang. Data-data statistik menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam darurat kekerasan seksual dan negara perlu secepatnya membuat regulasi untuk melindungi semua lapisan masyarakat dari segala bentuk kekerasan seksual sebagai wujud perlindungan dan pemenuhan hak setiap warga negara. Berdasarkan Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHN) 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan di Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam hidupnya. Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2018 juga menunjukkan bahwa kekerasan seksual menempati urutan pertama kasus kekerasan pada perempuan, sebanyak 2.670 kasus.

Pro dan kontra tidak dapat dihindari dalam masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa RUU PKS harus segera disahkan sebagai undang-undang. Beberapa partai politik seperti Gerindra, PKB, PDIP, dan Nasdem juga sepakat untuk sesegera mungkin RUU PKS disahkan. Lain sisi, kontra muncul berupa petisi yang dibuat oleh Maimon Herawati selaku dosen Universitas Padjadjaran yang menganggap RUU PKS pro zina. Maimon mengatakan bahwa RUU ini memiliki sudut pandang barat dan banyak kalimat-kalimat yang terdapat dalam pasal yang multitafsir.

Menurut Komisioner Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Mariana Amiruddin menyampaikan bahwa fokus dari RUU PKS adalah korban. Dalam rancangan yang tersedia, dengan jelas disebutkan definisi kekerasan seksual yaitu bila ada pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan. Ada kesalahpahaman dalam menafsirkan bahwa RUU PKS mendukung perzinaan karena prostitusi sudah diatur dalam KUHP pasal 296 dan 506. Pada draf RUU PKS Pasal 3, dengan jelas tertulis bahwa penghapusan kekerasan seksual memiliki tujuan yaitu untuk menangani; melindungi dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan menjamin agar peran negara serta tanggung jawab masyarakat dapat terlaksana dalam mewujudkan lingkungan sosial yang bebas dari kekerasan seksual.

Munculnya penolakan terhadap RUU PKS yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu justru menunjukkan ketidakpahaman atas pembentukan Rancangan Undang-Undang tersebut dan harus diluruskan.

RUU PKS sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2016. Berdasarkan data, begitu banyak korban kekerasan seksual. Namun sayang, beberapa pasal dalam RUU PKS belum juga disahkan. Hal-hal yang masih menjadi pembahasan adalah nama dan konten dari beberapa pasal. Hambatan lain adalah penolakan terhadap RUU PKS yang datang dari partai-partai politik yang bernafaskan Islam yang menaggap bahwa RUU ini terjegal oleh norma dan agama . RUU PKS juga dilabeli dengan beberapa hal sebenarnya tidak nyata seperti liberal, tidak sesuai budaya ketimuran, dan melegalkan lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT).

Periode kedua Presiden Joko Widodo mengangkat Puan Maharani sebagai Ketua DPR periode 2019-2024. Puan Maharani adalah Ketua DPR perempuan pertama sepanjang sejarah Indonesia. Dengan terpilihnya perempuan sebagai ketua dari wakil rakyat, kaum pendukung RUU PKS mengharapkan peraturan ini segera rampung agar kasus kekerasan seksual yang kian mengkhawatirkan dapat teratasi. Tapi berbeda dengan ekspektasi, kenyataannya RUU PKS tak juga rampung meski didesak oleh masyarakat. Ketua Panitia Kerja RUU PKS Marwan Dasopang mengatakan bahwa satu-satunya hambatan dari perampungan RUU PKS ini adalah menemukan titik temu yang terkait dengan agama.

RUU PKS yang tak kunjung rampung  menjadi contoh bagaimana politik di Indonesia bersifat maskulin dan tidak berpihak pada perempuan. Bahkan dengan terpilihnya Ketua DPR perempuan tidak memberikan pengaruh signfikan atas diskriminasi perempuan dalam segala aspek penegakan hukum. Dalam artikel milik Pratiwi (2019) yang dipublikasikan dalam Jurnal Perempuan, dinyatakan bahwa keterlibatan perempuan di dunia politik tidak terlepas dari politik dinasti dan politik uang. 

Penyebab dari hal tersebut antara lain yaitu; perempuan yang terjun ke dunia politik didominasi oleh elite, pengusaha, dan pesohor; kedua yaitu kesadaran mereka sendiri yang kurang dalam memperjuangkan agenda politik mengenai perempuan. Menurut beberapa pengacara LBH juga mengatakan bahwa dengan Puan menjadi pimpinan DPR tidak lantas membuat produk hukum DPR jadi berprespektif gender. Apalagi rekam jejak Puan selama menjadi Menteri tidak pernah menyuarakan isu kekerasan seksual.

Dalam kerangka teoritis yang disusun oleh Iris Young, sebuah negara memiliki perwujudan sebagai sosok yang maskulin yang dapat menyediakan perlindungan bagi warga negaranya. Sedangkan, warga negara akan menjadi sosok subordinate yang mematuhi kebijakan dan mendapat perlindungan. Namun dengan kasus RUU PKS yang tak kunjung rampung, apakah pemerintah Indonesia disini pantas disebut sebagai sosok yang melindungi?

Dilihat dari interpretasi maskulinitas menurut Iris Young, maskulinitas yang dimiliki pemerintah Indonesia adalah dominative masculinity; yang hanya bersifat dominan dan memerintah tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia sulit membuat keputusan dan tidak bisa dijadikan tempat yang reliable bagi para penyintas kekerasan seksual. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat. Pada tanggal 6 Maret 2020, Komnas Perempuan merilis catatan tahunan tentang kekerasan pada perempuan. Setidaknya terdapat 431.471 kasusu kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa selama 12 tahun terakhir, kekerasan perempuan meingkat sebanyak 792% yang artinya meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir .

Perampungan RUU PKS yang ditunda-tunda juga menandakan bahwa hukum dan politik di Indonesia masih penuh dengan diskriminasi dan bersifat patriarki. Hukum di Indonesia pada kenyataannya mengesampingkan perempuan. Oleh karena itu, banyak masyarakat sipil yang menuntut bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban untuk membuat peraturan yang dapat menghapus stigma dan diskriminasi yang diterima oleh perempuan-perempuan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun