Mohon tunggu...
Ave Maria Georgina
Ave Maria Georgina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pertamina

girl just wanna have funDAMENTAL HUMAN RIGHTS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Politik Maskulin Indonesia

18 Maret 2021   10:20 Diperbarui: 18 Maret 2021   10:55 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUU PKS yang tak kunjung rampung  menjadi contoh bagaimana politik di Indonesia bersifat maskulin dan tidak berpihak pada perempuan. Bahkan dengan terpilihnya Ketua DPR perempuan tidak memberikan pengaruh signfikan atas diskriminasi perempuan dalam segala aspek penegakan hukum. Dalam artikel milik Pratiwi (2019) yang dipublikasikan dalam Jurnal Perempuan, dinyatakan bahwa keterlibatan perempuan di dunia politik tidak terlepas dari politik dinasti dan politik uang. 

Penyebab dari hal tersebut antara lain yaitu; perempuan yang terjun ke dunia politik didominasi oleh elite, pengusaha, dan pesohor; kedua yaitu kesadaran mereka sendiri yang kurang dalam memperjuangkan agenda politik mengenai perempuan. Menurut beberapa pengacara LBH juga mengatakan bahwa dengan Puan menjadi pimpinan DPR tidak lantas membuat produk hukum DPR jadi berprespektif gender. Apalagi rekam jejak Puan selama menjadi Menteri tidak pernah menyuarakan isu kekerasan seksual.

Dalam kerangka teoritis yang disusun oleh Iris Young, sebuah negara memiliki perwujudan sebagai sosok yang maskulin yang dapat menyediakan perlindungan bagi warga negaranya. Sedangkan, warga negara akan menjadi sosok subordinate yang mematuhi kebijakan dan mendapat perlindungan. Namun dengan kasus RUU PKS yang tak kunjung rampung, apakah pemerintah Indonesia disini pantas disebut sebagai sosok yang melindungi?

Dilihat dari interpretasi maskulinitas menurut Iris Young, maskulinitas yang dimiliki pemerintah Indonesia adalah dominative masculinity; yang hanya bersifat dominan dan memerintah tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia sulit membuat keputusan dan tidak bisa dijadikan tempat yang reliable bagi para penyintas kekerasan seksual. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat. Pada tanggal 6 Maret 2020, Komnas Perempuan merilis catatan tahunan tentang kekerasan pada perempuan. Setidaknya terdapat 431.471 kasusu kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa selama 12 tahun terakhir, kekerasan perempuan meingkat sebanyak 792% yang artinya meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir .

Perampungan RUU PKS yang ditunda-tunda juga menandakan bahwa hukum dan politik di Indonesia masih penuh dengan diskriminasi dan bersifat patriarki. Hukum di Indonesia pada kenyataannya mengesampingkan perempuan. Oleh karena itu, banyak masyarakat sipil yang menuntut bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban untuk membuat peraturan yang dapat menghapus stigma dan diskriminasi yang diterima oleh perempuan-perempuan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun