Akhir-akhir ini kita semakin sering mendengar istilah 'ruang ketiga' diperbincangkan dalam konteks pembangunan perkotaan. Menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ruang ketiga adalah ruang bertemunya masyarakat yang sekaligus melengkapi ruang pertama (rumah/apartemen/kos) dan ruang kedua (tempat bekerja/belajar/berkegiatan sehari-hari).Â
Beberapa contoh ruang ketiga yang dikembangkan oleh pemerintah Provinsi (pemprov) DKI Jakarta diantaranya adalah Lapangan Banteng, Dukuh Atas, Terowongan Kendal dan jalur pedestarian di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan M. H. Thamrin. Pada tahun 2020, jumlah ruang ketiga di Jakarta dijanjikan akan meningkat signifikan.
Ruang ketiga sebenarnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat interaksi antar warga ibukota dari berbagai latar belakang saja. Anies beberapa kali menyebutkan bahwa ruang ketiga diharapkan menjadi wadah untuk atraksi seni dan budaya.Â
Di lokasi-lokasi tersebut ditampilkan aneka ekspresi budaya secara reguler, baik yang sifatnya tradisional, kreasi baru maupun kontemporer. Ruang ketiga memang sangat strategis untuk menjadi "panggung pertunjukan" karena titik-titik itu selalu ramai orang, sehingga tidak akan kekurangan penonton.
Hal itu telah coba diwujudkan oleh pemprov DKI dalam beberapa kesempatan. Sejumlah pertunjukan musik bertajuk Musik Tepi Barat digelar di beberapa titik seperti depan Mall Fx Sudirman, depan Plaza Senayan dan depan Sona Topas Tower pada saat jam pulang kantor.Â
Awalnya kegiatan ini dilakukan untuk memeriahkan perhelatan Asian Games 2018 namun kemudian dilanjutkan secara berkala karena mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Seni tari Betawi juga dipentaskan dalam beberapa kesempatan di Terowongan Kendal dan Lapangan Banteng. Demikian juga seni lukis mural dan instalasi seni lainnya.
Padahal mereka justru dapat memanfaatkan ruang ketiga untuk mengangkat kesenian Betawi yang sudah mulai tidak familiar bagi masyarakat. Dengan ditampilkan pada lokasi yang ramai khalayak umum di pusat kota Jakarta, diharapkan seni budaya itu bisa menjangkau orang-orang yang selama ini belum pernah menyaksikannya.
Pemprov DKI seharusnya tidak kekurangan ide terkait seni budaya Betawi yang akan ditunjukkan di ruang ketiga ibukota. Mereka bisa mengambil referensi dari daftar warisan budaya takbenda dari DKI Jakarta yang sudah ditetapkan dan dicatat sebagai warisan budaya nasional.Â
Lebih ironisnya, daftar ini pun sebenarnya juga dihimpun oleh mereka sendiri dan kemudian diajukan ke sidang penetapan warisan budaya nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahunnya.
Dengan demikian, mereka sudah semestinya mengetahui juga siapa komunitas atau maestro seni yang dapat digandeng untuk mementaskan ekspresi budaya tersebut.