Dalam penerbangan dengan jarak tempuh yang jauh, biasanya terdapat bandar udara transit. Di tempat itulah penumpang akan berganti pesawat untuk melanjutkan penerbangan ke destinasi tujuan akhir.Â
Pada prosesnya, penumpang akan memiliki waktu transit untuk menunggu pesawat siap diterbangkan. Lamanya waktu transit pun beragam, ada yang singkat selama sekitar satu sampai dua jam atau yang panjang hingga puluhan jam.
Bandara-bandara yang terkenal sebagai transit hub seperti Dubai, Doha, Changi (Singapura), Frankfurt atau Narita (Jepang) menawarkan aneka fasilitas bagi para penumpang selama transit. Mulai dari ruang tunggu atau lounge yang nyaman, pilihan restoran dengan cita rasa masakan internasional, gerai belanja duty free hingga hotel yang bisa digunakan untuk istirahat dalam hitungan jam. Penumpang dijamin tidak akan bosan selama berjam-jam menunggu boarding ke penerbangan lanjutan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kota-kota di Tiongkok seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou mulai tumbuh menjadi transit hub di kawasan Asia Pasifik. Hal ini seiring dengan perkembangan luar biasa yang dilakukan oleh maskapai-maskapai berbasis di Tiongkok seperti China Airlines, China Southern, China Eastern, Xiamen Air, dan lain-lain. Mereka melakukan ekspansi rute penerbangan ke berbagai penjuru dunia, terutama menghubungkan kota-kota di Asia dengan Eropa dan Amerika.
Pada bulan April lalu, penulis berkesempatan merasakan hal tersebut saat melakukan perjalanan antar benua. Dengan menggunakan maskapai China Southern dari Jakarta menuju New York, penulis transit di Baiyun International Airport di Guangzhou selama 5 jam. Ini adalah pengalaman pertama bagi penulis untuk transit di Tiongkok. Ditambah lagi, transit kali ini waktunya lumayan panjang.
Setelah mengalaminya sendiri, ternyata ada beberapa persepsi atau ekspektasi orang yang keliru mengenai transit di Tiongkok.
Pertama, terkait toilet. Ada pandangan umum bahwa masyarakat Tiongkok kurang menjaga kebersihan di toilet. Kondisi toilet yang jorok dan bahkan dengan sisa kotoran yang tidak sepenuhnya dibersihkan oleh pengguna sebelumnya adalah hal yang terlintas di pikiran saat membicarakan toilet di Tiongkok. Sudah banyak peringatan bagi para wisatawan untuk 'menyiapkan mental' sebelum masuk ke dalam toilet di Tiongkok, agar tidak kaget, mual-mual dan bahkan muntah.
Saat menggunakan toilet di Guangzhou, ternyata kondisinya bersih dan tidak berbau. Di setiap bagian, terdapat dua orang petugas kebersihan yang sepertinya berjaga selama 24 jam dalam beberapa shift. Satu orang di toilet laki-laki dan satu orang di toilet perempuan siap siaga memeriksa kondisi toilet setiap selesai dipakai pengguna dan segera membersihkannya bila masih ada sisa kotoran.
Nampaknya otoritas bandara setempat memang tidak ingin pandangan negatif tentang toilet terus melekat pada Tiongkok. Sebagai bandara bertaraf internasional yang semakin sibuk, Guangzhou berupaya menerapkan standar kualitas yang baik dalam melayani para penumpang pesawat.Â
Terlebih lagi, saat ini Guangzhou juga menjadi bandara yang dilalui oleh penumpang dari berbagai bangsa dari Eropa, Amerika, Asia dan Afrika.
Kedua, terkait internet. Seperti yang sudah diketahui oleh semua orang, Tiongkok memiliki peraturan sensor internet yang ketat. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Tiongkok melindungi masyarakatnya dari infiltrasi ideologi atau budaya dari Barat. Ada kepentingan politis dari pemerintah supaya masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan lain-lain.
Sejak sebelum berangkat, penulis sudah siap untuk tidak bisa mengakses media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram saat transit di Tiongkok. Situs mesin pencari seperti Google juga termasuk dalam daftar situs yang dilarang di Tiongkok. Beberapa situs berita internasional tak luput kena sensor.
Namun sesampainya disana, penulis dibuat kaget karena ternyata Whatsapp pun juga diblokir. Hal ini sungguh di luar dugaan karena tidak banyak pemberitaan tentang sensor Whatsapp di Tiongkok.Â
Bagi banyak traveller khususnya yang berasal dari Indonesia, Whatsapp sangat penting karena sudah menjadi media komunikasi yang primer. Melalui aplikasi chat ini, orang-orang dapat memberi kabar pada keluarga dan teman-temannya bahwa mereka sudah tiba di bandara transit dan akan melanjutkan ke penerbangan berikutnya.
Caranya cukup dengan mendatangi mesin tiket wifi yang tersebar di berbagai tempat. Tiket wifi berisi keterangan username dan password bisa diperoleh setelah memindai halaman identitas pada paspor masing-masing. Kecepatan koneksi internet melalui wifi disini juga bagus dan bahkan lebih cepat dari beberapa bandara internasional di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menyiasati agar tetap dapat berselancar di dunia maya tanpa terkena sensor, wisatawan yang akan transit di Tiongkok disarankan mengunduh aplikasi untuk mengubah VPN (Virtual Private Network) terlebih dulu. Dengan demikian, saat tersambung pada wifi di bandara Tiongkok, wisatawan dapat tetap mengakses media sosial seperti biasanya karena menggunakan VPN negara lain, bukan Tiongkok.
Ketiga, terkait makanan dan minuman. Salah satu kegiatan yang hampir pasti dilakukan saat sedang transit adalah membeli makanan dan minuman. Oleh karena itu, pilihan restoran yang beragam di bandara transit adalah hal yang sangat didambakan oleh wisatawan. Bagi wisatawan Muslim, adanya makanan dan minuman yang halal juga menjadi keharusan.
Sejak awal, penulis sudah membayangkan susahnya mencari masakan halal di bandara Guangzhou saat transit. Maklum saja, mayoritas penduduk Tiongkok tidak memeluk agama Islam. Makanan dengan bahan daging babi adalah hal yang sangat jamak di Tiongkok, bahkan menjadi yang terfavorit.
Hal itu ternyata memang benar adanya. Sebagian besar restoran di bandara Guangzhou tidak memiliki menu makanan halal. Tapi bukan berarti tidak ada sama sekali makanan halal disana. Ada dua restoran seafood yang tidak menjual makanan berdaging babi pada menunya dan mereka juga tidak menggunakan bahan masakan berupa produk turunan dari babi.
Bagi yang ingin minum kopi, gerai Starbucks di bandara Guangzhou bisa menjadi tujuan. Selain karena pilihan menu sudah dikenal, rasanya juga tidak asing di lidah. Ada juga restoran makanan cepat saji McDonalds disana, namun dengan menu yang sedikit berbeda dengan yang kita biasa temukan di Indonesia.
Ini berbeda dengan bandara transit lain yang masih bisa menerima pembayaran dengan Dolar Amerika atau Euro. Tapi jangan khawatir, ada banyak money changer di bandara apabila ingin menukar Rupiah atau mata uang lainnya ke Yuan Renminbi. Jika penukaran uang dianggap ribet, maka pembayaran melalui kartu kredit atau kartu debit juga bisa dilakukan.
Demikianlah tiga hal yang penulis alami saat transit di bandara Guangzhou. Hal tersebut umumnya tidak berbeda dengan bandara-bandara lainnya di Tiongkok. Intinya, dengan kita harus mengetahui dan menyiapkannya dari awal, maka niscaya kita tidak akan kapok bila harus transit di bandara di Tiongkok.
Selamat jalan-jalan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H