Penjaringan dan pengembangan bibit-bibit muda di cabang atletik dan akuatik baik pada atlet difabel maupun atlet umum lainnya harus dilakukan sejak usia dini dan secara masif di seluruh daerah. Atlet-atlet yang terpilih ke pemusatan latihan nasional juga harus mendapat sarana dan prasarana berlatih yang baik, termasuk sumber daya manusia kepelatihan yang handal. Jangan ada lagi cerita keterlambatan uang saku dan fasilitas latihan yang sudah rusak dimakan usia.
Saat ini entah secara sadar atau tidak, fokus pemerintah dan masyarakat lebih tersita pada olahraga permainan. Dukungan dana dari pemerintah maupun sektor swasta pun sepertinya lebih banyak mengucur ke cabang-cabang seperti sepakbola, bulutangkis, bola basket, bola voli, tenis, dan lain-lain. Olahraga permainan juga penting dan sangat menarik sebagai hiburan, namun porsi perhatian untuk atletik dan akuatik tidak boleh njomplang alias tidak sebanding juga.
Indonesia patut mencontoh Vietnam yang dalam sepuluh tahun terakhir semakin serius membangun kekuatan di cabang atletik. Vietnam cukup sadar bahwa untuk mengimbangi Thailand di SEA Games, mereka harus punya atlet-atlet lari dan lempar yang handal. Hasilnya telah terlihat di SEA Games 2017 lalu saat mereka jadi juara umum di cabang atletik dengan 17 medali emas. Indonesia tak boleh kalah lagi dari Vietnam setelah sebelumnya sudah tertinggal dari Thailand.
2. Memetakan Potensi Medali di Asian Para Games 2018 dan Paralympic Games 2020
Setelah sukses di ASEAN Para Games 2017, Indonesia saatnya mulai berpikir ke target berikutnya yang lebih tinggi yatu Asian Para Games 2018 yang digelar di Jakarta, Indonesia dan Paralympic Games 2020 yang dilaksanakan di Tokyo, Jepang. Kegemilangan di level Asia Tenggara menjadi batu pijakan untuk bisa berbicara lebih banyak di level Asia dan dunia.
Sejak penyelenggaraan ASEAN Para Games pertama di tahun 2010 dan kemudian di tahun 2014, Indonesia baru meraih total 10 medali emas, 16 medali perak dan 23 medali perunggu. Indonesia masih kalah dari negara-negara Asia Tenggara lainnya yaitu Thailand (46 medali emas), Malaysia (24 medali emas) dan Vietnam (12 medali emas). Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok dan Jepang, Indonesia masih tertinggal jauh.
Saat tampil di depan publik sendiri tahun depan, atlet-atlet difabel Indonesia didorong agar dapat merebut lebih banyak medali dan melambungkan Indonesia ke posisi lima besar di klasemen, sesuai target yang dicanangkan. Untuk itu, para atlet di cabang-cabang potensial yang terbukti berprestasi konsisten di Asian Para Games 2014 di Incheon, ASEAN Para Games 2015 di Singapura dan ASEAN Para Games 2017 di Kuala Lumpur mutlak dipertahankan dan bahkan kian ditingkatkan kemampuannya.
Maka, bulutangkis dan tenis meja adalah dua cabang yang bisa dijagokan untuk menjadi penyumbang banyak medali emas di Jakarta tahun depan. Atlet-atlet seperti Leani Ratri Oktila, Ukun Rukaendi dan Hary Susanto adalah andalan di bulutangkis. Sementara di tenis meja, Indonesia dapat menaruh harapan lebih pada Dian David Mickael Jacobs dan Agus Susanto. Mereka punya skill yang tak kalah hebat dari atlet-atlet Tiongkok, Jepang dan Korea.
Untuk menambah kemampuan dan pengalaman, mereka perlu dikirim ke lebih banyak turnamen di luar negeri. Hal ini juga sekaligus menjadi kesempatan bagi mereka untuk mengukur diri mereka dan membandingkan dengan para calon kompetitor. Dengan demikian, mental bertanding mereka pun semakin kuat.