Sebagai seorang guru pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah tingkat dasar tepatnya kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya sering memberikan pertanyaan untuk mengetahui pemahaman siswa atas materi yang saya sampaikan. Namun, seringkali selama tanya jawab, siswa tidak mengeluarkan pendapat atau jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan atau setidaknya mengeluarkan suara pelan menjawab pertanyaan yang disampaikan. Dan biasanya pada situasi seperti ini, saya sering mengingatkan kepada siswa, "Mari berikan pendapat (jawaban), jangan takut jika jawaban salah atau benar, yang penting berikan jawaban dengan alasannya".
Namun hari ini, ketika saya mengajar, sesuatu yang berbeda yang boleh saya rasakan ketika menyampaikan motivasi ini kepada siswa. Sesaat saya menyampaikan motivasi itu, pikiran saya terkoneksi  dengan berita Hakim vonis Basuki Tjahaya Purnama. 2 tahun penjara atas kasus penodaan agama. Sepertiya ada pelajaran yang boleh dipetik atas kasus ini. Motivasi yang sering saya sampaikan kepada siswa, sepertinya ditunjukkan oleh Ahok. Terlepas dari pro dan kontra atas putusan ini, ada konten lain yang ingin disampaikan oleh Ahok menjadi pelajaran penting untuk berbangsa dan bernegara.
"Mari berikan jawaban, jangan takut jika jawaban salah atau benar, yang penting berikan jawaban dengan alasannya".
Jika diubah menjadi proses belajar mengajar, terkait kasus yang menimpa Ahok, mungkin skenario kegiatan pembelajaran berlangsung sebagai berikut.
Guru bertanya, "Anak-anak sekalian, negara kita Indonesia merupakan negara hukum yang beragama. Negara kita ini melaksanakan demokrasi langsung dalam pemilihan kepada daerah dan wakil rakyat. Nah yang menjadi pertanyaan, apakah kitab suci dapat dijadikan alat politik? Selain itu, apakah ayat-ayat kitab suci dapat dijadikan alat politik untuk memenangkan calon yang diusung?"
Seketika ruangan menjadi hening dan tampak beberapa peserta didik berbisik-bisik dengan teman sebangkunya, namun tidak ada seorangpun yang berani memberikan jawaban atas guru tersebut.
Setelah beberapa saat menunggu, guru lalu berkata, "Ayo siapa yang mau berpendapat, jangan takut-takut. Bapak tidak akan marah atau menghukum jika jawabanmu itu kurang tepat."
Setelah mendengar motivasi guru tersebut, seorang anak memberikan pendapatnya di depan kelas.
***
Inilah yang saya pelajari atas kasus yang menimpa Ahok. Ahok muncul sebagai seorang pelajar yang mencoba mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang sering muncul dalam kontestasi Pilkada. Dia mencoba menemukan kebenaran sekalipun mungkin diawali pendapat yang kurang tepat.Â
Seperti yang diberitakan oleh media, kasus ini diawali pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Di tengah pidatonya, Ahok menyampaikan rasa 'penasarannya' atas desas-desus politik mengenai agama yang sering dijadikan alat politik. 'Penasaran", hal inilah yang mungkin menjadi dasar pertimbangan Ahok untuk menyampaikan pendapat ini. Rasa 'penasaran' yang datang dari kabar kabur yang sering muncul saat mendekati Pilkada. Beliau dan mungkin banyak orang secara sayup-sayup tersembunyi di tempat sehari-hari orang-orang berkumpul sering menyinggung ayat-ayat kitab suci menjadi alat untuk menaikkan seseorang dan menjatuhkan lawan politiknya yang berbeda keyakinan. Isu politik ini sering muncul di tengah-tengah masyarakat yang justru sering membingungkan masyarakat hingga akhirnya keliru menentukan pilihan.
Sampai pada akhirnya Ahok muncul dalam diskusi ini. Ahok seolah tidak mau terkubur dengan rasa penasaran atas kebenaran dari isu politik kotor yang sering muncul ketika pemilu. Perjuangan Ahok ini seolah di dorong oleh motivasi yang mungkin juga ia pernah dengar dari gurunya. Ia memutuskan untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai isu politik yang sering menghambat pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Pendapat yang disampaikan Ahok sebagai bentuk perjuangan demokrasi di Indonesia. Perjuangan yang menjadi pelajaran besar bagi demokrasi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hasil Pilgub DKI 2017 yang telah berlangsung. Sekalipun hasil KPU menyatakan Ahok kalah dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, setidaknya kedewasaan demokrasi Indonesia bertumbuh. Hasil pemungutan suara yang menunjukkan sekitar  40% pemilih Ahok juga berasal dari masyarakat yang berbeda keyakinan dari beliau. Dalam artian, isu premordial secara perlahan mulai terkikis dalam penyelenggaraan pilkada. Kebenaran inilah yang coba digali Ahok dari persoalan-persoalan politik di Indonesia. Setidaknya pendapatnya membuka tabir hitam politik di Indonesia dan menjadi PR politik untuk diselesaikan bersama.
Kini hukuman telah dijatuhkan bagi Ahok. Hukuman ini mungkin berfungsi sebagai 'pelajaran' bagi Ahok. Pelajaran yang diharapkan agar beliau menjadi lebih santun dalam menghadapi para penista agama sesungguhnya. Terlepas dari pro dan kontra atas vonis yang dijatuhkan, kasus ini justru membawa pelajaran baru bagi masyarakat atas UU mengeluarkan pendapat. Setidaknya akan terbentuk dua karakter dalam berpendapat, rasa takut atau semangat yang bertumbuh
***
Namun pada akhirnya setelah anak tersebut mengeluarkan pendapatnya, guru tersebut melanggar janjinya. Guru menghukum si anak karena merasa anak tersebut mengeluarkan pendapat secara sembarangan yang tidak berkenan di hatinya. Jika memang si anak sembarangan dalam memberikan pendapat, guru mungkin melakukan hal yang tepat, namun sebaliknya jika hukuman yang diberikan hanya karena pendapat yang disampaikannya 'kurang tepat' dihati guru, ini akan memberikan permasalahan bagi si anak dan teman sekelasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H