Membaca Golkar dengan alur sejarah yang panjang tidak cukup dalam tulisan yang singkat seperti ini. Riak gelombang Reformasi yang gerakan kepeloporannya masih diklaim sepihak oleh mahasiswa, Gerakan untuk mewujudkan babak baru perubahan multidimensional dengan suguhan agenda demokratisasi. Dinamika politik reformasi 1998 rentan waktu yang pas dan menarik untuk membahas Golkar terlebih pada pemilu 1999 dimana Golkar menjadi pemenang nomor dua setelah PDIP.
Gerakan reformasi ini telah berhasil mencuri perhatian elit nasional terlebih Golkar yang terus-terusan menjadi sasaran tembak. Karena dianggap penyokong utama kekuatan Soeharto dalam dominasi kekuasaan Indonesia selama puluhan tahun lamanya, demontrasi untuk membubarkan Golkar pun terjadi dimana-dimana. Mau tidak mau, diakui atau tidak Golkar penyumbang terbesar kekuataan Orde Soeharto.
Stigma politik yang dilekatkan  segera direspon dengan mendengungkan gagasan kepartaian, Langkah pembenahan dan transformasi dilakukan oleh Golkar dan menjelma menjadi partai politik. Langkah kongrit untuk mempersiapkan diri supaya tetap survive dalam kancah politik nasional; terlebih untuk keluar dari stigma Soeharto-is, bukan Organisasi Fungsional lagi. Apalagi undang-undang mensyaratkan untuk menjadi partai supaya bisa ikut dalam kontesasi pemilihan umum 1999.
Golkar yang telah bertransformasi diri menjadi partai politik yang lintasan sejarahnya sangatlah panjang dalam konstelasi nasional menjadi perhatian khusus seorang penulis pemula untuk memberikan respon atas tulisan Indra J Piliang yang berjudul “Eka Sapta, Eka Trio: Visi – Misi Airlangga Hartarto (Bakal calon Ketua Umum DPP Partai Golkar Periode 2016-2021)
Dalam kerangka ini saya ingin memulai dari Pertama, Bagaimana paradigma Golkar sebelum dan sesudah Partai-nisasi. Kedua, Bagaimana seharusnya Golkar sebagai partai baru menghadapi perubahan yang terbentuk karena sistem nilai. Meminjam ide Max Weber Perubahan terjadi berdasar pada sistim pengetahuan, Sistim Nilai dan Kepercayaan. Karena Transformasi yang bercita rasa, berdasarkan prinsip dan platform melahirkan pengaruh yang mendalam dalam invidu masyarakat (al-Maududi)
Transformasi Golkar
Perubahan dinamika politik 1998 yang sengaja digiring sejak krisis 1997 menarik perhatian gerakan kemahasiswaan dan memunculkan gagasan reformasi yang notabene sebagai ungkapan dan keinginan besar pada Nation and State, sebagai wujud rasa cinta, haus akan perubahan yang setelah puluhan tahun dibawah komando Soeharto yang Undemocratic itu. Nah celakanya, Golkar kecipratan stigma sebagai Power Supply kekuatan politik rezim ini, kenapa Golkar selalu terasosiasi dengan Soeharto?
Kenyataan politik ini tidak dapat dipungkiri, sejarah panjang Golkar harus kita lihat direpublik ini. Golkar yang terlahir dari kekuatan yang sangat situasional, organisasi yang dilahirkan tahun 1964 oleh Angkatan Darat dengan semangat yang dilatarbelakangi untuk membendung pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mempertahankan Pancasila sebagai Ideologi bangsa. Dengan format golongan fungsional yang tumbuh dan bergerak secara dinamis-efektif (Golkar Baru dalam Fakta dan Opini. Patmoko, 2001). Maka wajar jika Golkar selalu dikaitkan dengan Soeharto karena beliau senantiasa memanfaatkan kekuatan militer untuk memuluskan kebijakannya.
Peralihan tata nilai sejak berdirinya yang menjadi mesin penjaga stabilitas politik dan agenda pembangunan Orde Baru, dan kini telah menjadi partai berparadigma baru dan berdiri diatas nilai yang selaras dengan tujuan reformasi, menjadi partai Inklusif, Independent, Demokratis, Solid, Mengakar dan Responsif  (The Golkar Way, Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Akbar Tanjung, 2007).
Menjaga transformasi nilai adalah pekerjaan tambahan bagi semua kandidat calon ketua umum Partai Golkar dengan resouces mapan yang sedang berhadapan langsung dengan era multipartai yang juga memiliki potensi tak kalah besar. Golkar pasca kejatuhan Soeharto tidak lagi menjadi lokomotif pemerintah, tidak lagi menjadi partai yang komposisi kadernya tidak hanya dari kalangan militer seperti yang sebelum-sebelumnya.
Mahyudin sebagai salah satu calon ketua umum Golkar, dalam hal ini ingin membuka pintu kembali dan berjanji akan menggandeng mantan anggota TNI, dalam struktur kepengurusan partai berlogo pohon beringin itu. Repetisi Pertama
 Ade Komaruddin yang semalam (11 Maret 2016) mengikrarkan dan menyatakan siap memimpin Golkar. Dengan bermodalkan Panca Ikrar  Ade Komarudin, ingin menjadikan Golkar sebagai partai yang moderat, bersih dan berjiwa karya-kekaryaan.
Indikasi parpol modern adalah dengan mengghadirkan kongruensi antara platform partai politik dengan kebijakÂan publik, mampu menjadi penyambung kepentingan massa pemilih dengan stakeholder pemerintah. Terlepas menang kalah dalam kontestasi politik, partai modern tetap berfungsi sebagai representasi massa. Partai modern sarat dengan apresiasi jika mampu menegakkan nilai demokrasi yang paling asasi; hak dipilih dan memilih, hak mengemukakan pendapat mendapat ruang yang selebar-lebarnya.
Panca Ikrar Ade Komaruddin tak layaknya sebagai Repetisi Kedua gagasan tokoh pendahulu, katakanlan seorang Akbar Tanjung. Yang menginginkan golkar menjelma menjadi partai yang Inklusif, menjadi tempat bernaung anak manusia lintas suku dan ras. Mimpi indah Akbar Tanjung yang menginginkan suasana demokrtis memang sudah terjawab dengan adanya, konvensi calon presiden, tradisi munas sebagai ajang untuk memilih calon ketua umum, untuk memilih masinis lokomotif Golkar. Semua kader yang merasa dirinya mampu berhak untuk mencalonkan diri dan untuk dipilih.
Pun demikian dengan Semangat Meritokrasi Ade Komarudin yang merujuk kepada bentuk sistem politik dengan memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu. Akan sulit diwujudkan jika tradisi Politik Balas Budi masih mewarnai di Partai Beringin ini. Jika penempatan keturunan elit republik Indonesia khususnya elit Golkar pada posisi yang strategis tak bisa digerus jangan harap hal ini menjadi kenyataan.
Meritokrasi sedang menjadi virus yang menjangkiti para kandidat hari ini, katakanlah Airlangga Hartarto yang jika terpilih jadi ketua Golkar akan memperjuangkan nama Soerharto untuk menjadi Pahlawan Nasional. Pernyataan ini jika ditarik pada sejarah lalu akan melahirkan asumsi Politik Balas Budi. Airlangga adalah putra dari Ir. Hartarto yang pernah menjabat Menteri Perindustrian pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan Menteri Koordinator bidang Produksi dan Distribusi (Menko Prodis) pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998).
Bukan usaha pemberian gelar Kepahlawanan pada Soeharto, gelar kepahlawanan akan dengan sendirinya didapat oleh Soeharto toh sekarang masih banyak orang yang rindu pada masa kepemimpinan pak Harto bukan? Lagian kenapa hal itu harus dilakukan bukankah Soeharto yang melakukan Deparpolisasi Tahun 1977 (yang hari ini sedang menjadi Trending Topic) bukan? Berdasarkan asumsi ini, penyederhanaan partai politik yang dilakukan Soeharto merupakan pelaksanaan dari maksud mempertahankan kekuasaan. Artinya, ketika kebebasan berpartisipasi dalam politik sebagai warga negara mampu dipersempit oleh penguasa, kekuasaan menjadi aman.
Golkar sebagai jangkar stabilitas politik nasional pun sudah tidak begitu menjadi daya tarik. toh Golkar sejak lahir 1964 sampai sekarang tidak pernah menjadi Partai Oposisi. Selalu diikhtiarkan menjadi partai yang bertugas menjaga jangkar supaya kapal besar tidak hanyut dibawa derasanya arus bukan?
7 Visi Misi Airlangga Hartarto Yang Tak Terbantahkan.
Setelah membaca, menyimak dan merefleksikan Tujuh Visi Misi Airlangga Hartarto, saya sebagai kader yang bergabung secara alamiah dengan Golkar tidak bisa membantah lagi. Visi-Misi yang terlahir dari kebutuhan mendasar Golkar hari ini, hal yang terlahir dari fakta Empiris. Kenyataan yang harus segera dibenahi oleh Golkar setelah mengalami kekalahan beruntun sejak pemilu ada, Golkar tidak pernah memenanginya. Berbeda sejak masa Orde Baru, Pasca deparpolisasi Golkar sangat super power, diam-pun pasti menang. Hari ini  Golkar tidak lagi memuncaki Klasemen politik di Indonesia.
Sepertinya Airlangga benar-benar ingin mewujudkan partai modern ditubuh Golkar sampai-sampai ingin menyusun mekanisme yang lebih cepat, akuntabel dan transparan berbasiskan teknologi digital (e-government of politics). Memang betul dalam menyusun visi-misi harus berangkat dari ruang imajiner-idealis realisasi itu perkara lain.Â
Hari ini, Partai politik dihadapkan pada persoalan Identifikasi Diri pada Partai (IDP) massa pemilih yang terus mengalami penurunan. IDP adalah Pernyataan seseorang bahwa pertai tertentu adalah identitas politiknya. Identifikasi ini merupakan komponen psikologis yang memberi sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri (Kompas, 01 April 2011). Jika hasil penelitian LSI itu benar maka partai politik (manapun) tidak melakukan apapun dan kontribusinya terhadap terbentuknya Civil Society dipertanyakan.
Siapapun yang jadi ketua umum dan bisa menumbuhkan semangat kepartaian kader dan partai bisa menjalan fungsinya yang baik. Maka Golkar untuk mencapai puncak klasemen bukanlah persoalan yang rumit. Kejayaan Partai Gollkar sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dengan keunggulan kader Partai Golkar di segala lini kehidupan akan terwujud dan tidak hanya mimpi yang utopis.
Salam...
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H