Mohon tunggu...
Gen Mancha Koesoema
Gen Mancha Koesoema Mohon Tunggu... Swasta -

Penulis bayang-bayang dan penikmat kepura-puraan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasib dan Setengah Perjalanan Tersisa

8 Maret 2016   16:34 Diperbarui: 8 Maret 2016   17:18 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Setengah perjalanan lagi saya akan mengakhiri semuanya)

Selamat pagi, perkenalkan nama saya Fulan –begitu teman memanggil. Umur 33 tahun separuh perjalan lagi saya akan menghadap-NYA. Sebagai anak kampung berdarah madura yang sudah melewati jenjang pendidikan strata satu bergelar S,Hi. Gelar yang begitu membebani, klas sosial yang semakin dilekatkan, kesarjanaan yang membingungkan. Bagi seorang pengangguran seperti saya, menginginkan kehidupan yang nyaman, berkualitas dan sejahtera. Impian semua orang, impian seorang ayah dan ibu, impian semua yang menginginkan kehidupan yang wah.

Hampir semua jenjang pendidikan saya mulai tingkat dasar sampai menjadi seorang pengangguran yang bergelar sarjana dihabiskan dilingkungan asrama, pondok pesantren.  Pendidikan yang jauh dari monitor kedua orang tua, jauh dari bimbingan orang tua, jarang mendapatkan motivasinya, bahkan hampir tak pernah belajar disamping bapak ibu, terutama ibu. Lulus pondok pesantren pun saya harus menapaki perjalanan menuju kota Yogyakarta dengan sendirian tak diantar layaknya anak-anak yang lain, hal ini tak membuat saya minder bahkan semakin memancarkan rasa percaya diri.

Semasa dikampus banyak melibatkan diri dalam organisasi ekstra yang sering berteriak ditengah riak isu politik nasional, bersama para sahabat yang saat ini sedang menikmati nyamannya kursi empuk diruangan ber-AC. Saat itu kami semua berteriak dan terus berteriak atas nama kemakmuran, kesejahteraan rakyat bahkan kami lupa nasib kami sendiri. Kami terus bergerak bersama, panas matahari guyuran hujanpun kami tak mempedulikannya. Pada akhirnya menjustifikasi pemimpin sendiri, yang kami pilih sendiri "tak peduli nasib rakyatnya". Sangat konyol bukan?

Bergerak dengan isu-isu perubahan, menolak segala kebijakan yang menyengsarakan, membuat lupa sebagai seorang mahasiswa, lupa sebagai anak yang mendapatkan mandat dari orang tua untuk melanjutkan pendidikan yang lebih bagus agar bisa merubah nasib kami; harapan yang sering keluar dari mulut bapak dan ibu. Maaf buk, saya sedang melaksanakan amanah Tuhan untuk menjadi rahmat bagi semua, begitu alasan yang sering saya utarakan dihadapan mereka. Pada akhirnya saya lulus telat 14 semester tamat sudah.

Aktifitas organisasi membuka ruang baru dan banyak mengenal tokoh, lokal dan nasional dan tanpa disengaja saya bisa berinteraksi Golkar. Bab baru dari interaksi dengan Partai tua yang terlahir sejak masa orde baru, partai yang berkuasa atas republik ini selama puluhan tahun lamanya, partai wong tuo, partai yang sangat Soehartois, partai yang dikelilingi koruptor, begitulah asumsi tentang partai yang saya jajaki. 

Untuk menunjukkan eksistensi –eksistensi sebagai fans- (karena memang tidak memiliki kartu anggota) saya menyusun skripsi dengan judul “Transformasi Golkar dalam Kepartaian di Indonesia”. Sikap ini bukan merujuk pada eksistensialisme  Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free" atau manusia dikutuk untuk bebas. Meminjam bahasanya Indra J Pilliang ada rasio yang mengharuskan menulis tentang Golkar. Untuk melihat silahkan baca skripsi yang tidak karuan itu.

Sebagai muda yang terlahir dari Nahdhatul ‘Ulama, saya masih menanamkan  nilai-nilai pondok pesantren, nilai taklim muta’allim, tata krama ketimuran tidak membuat saya lupa akar sejarah, Ing Ngarso Suntolodo, Ing Madyo Mangunkarso, Tut Wuri Handayani, masih saja mengiang dan mengajak saya untuk tetap ketimuran. Bahasa sederhananya "tidak sungkan untuk mencium tangan" pada yang lebih tua.

Inilah yang saya maksud eksistensialisme yang tidak merujuk pada teori human is condemned to be free. Untuk menguatkan dalilnya, penyajian skripsi dengan perspektif Islam.  Saya meyakini hal ini pasti bergerak lurus dengan konsekwensi logis dan harus bersiap menelan pil pahit; teralienasi. Penilaian sebagai kader yang (seakan) tak berinduk, kader yang sudah terjustifikasi sebagai kader yang disorientasi. Hukum sebab akibat muncul dari pergaulan dan terbukanya komunikasi lintas warna. Kejam...ya..memang kejam.

Yang anti mainstream.

Sejak bangku sekolah dasar, dipulau Trunojoyo sana, sampai saat ini saya selalu disuguhi buku, berpemahaman kritisisme. Das Kapital, Buku kiri saya masih dijadikan pisau analisis untuk penyajian kritik, kritik bagi saya pribadi bahkan kritik  untuk sahabat. Buku, setidaknya majalah NU, menjadi referensial untuk menengahi sekian permasalahan yang teramati. Tetapi, (Lagi-lagi) hal ini membuat saya gagal memberikan pemahaman bagi mereka yang sudah menjustifikasi saya sebagai kader yang keluar ring "The Out Sider Man".

Tahun 2014, tahun politik Indonesia kembali tak-tik-tuk diruangan yang berbeda dengan sahabat-sahabat sepergerakan. Pada tahun pilihan legaslatif saya menjadi ring satu kader golkar untuk menjadi legislator pusat mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta; Sedulur RRP sebutnya. Tetapi kenyataan berkata lain, kami harus menggigit jari, kami kalah. Kalah karena pragmatisme politik, kalah dengan money politic, kalah karena gagal membangun kesadaran Civil Society yang berkemajuan.

Pada masa pemilihan presiden saya harus berpisah dengan tokoh muda yang saya dukung pada pileg 2014 sedulur RP dan memilih bergabung dengan teman-teman Poros Muda Indonesia, kaukus kaum muda golkar yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kenapa saya harus mendukung Joko Widodo? Karena beliau adalah pemimpin yang terlahir dari barisan rakyat bukan dari elit politik di Republik ini. Secara tidak langsung dalam konteks ini saya berada dalam garis yang sama dengan sahabat-sahabat, kami mendukung JOkOWI-JK. Perbedaanya diruang saja, saya dengan kaukus Golkar mereka dengan PKB.

Di Poros Muda Golkar inilah semakin terbukanya interaksi dan banyak mengenal tokoh-tokoh muda, katakanlah Indra J Pilliang, Andi Sinulingga, Erwi Aksa, Anies Baswedan yang sekarang menjadi menteri pendidikan. Dijalan Surabaya-Mentenglah saya menyempatkan diri berikrar “tantangan baru ini sudah dimulai” ikrar yang muncul (karena iri) dari semangat pembaharuan kaum muda Indonesia yang Anti Mainstream lagi-lagi Anti Mainstream. Tapi kenyataan berkata lain, mereka yang saya kenal tak serta merta melirik. Saya kembali menjadi peteriak yang sumbang, peteriak yang kehilangan arah kemana teriakan ini akan diarahkan.

Joko Widodo dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden 20 Oktober 2014 ucapan selamat berdatangan ditimeline Twitter, Facebook, memang bukan untuk saya untuk Jokowi dan JK, untuk rakyat Indonesia. Tapi rasa bangga membuat saya terharu sambil berkata “diantara kemenanganmu ada keringat yang telah kukucurkan”. Hiruk pikuk, omongan ini itu, desain bangsa Indonesia dimasa kepemimpinan ini menjadi obrolan dimeja kopi. 

Para sahabat sibut mencari sosok untuk menjadikannya sebagai patron politik, menjadi cantolan untuk sekedar menyambung hidup, ada yang melamar menjadi TA DPR, ada yang melamar menjadi sekretaris kantor di Senayan sana, ada yang PDKT pada staf khusus menteri yang belum ditunjuk oleh presiden. Sementara saya hanya bingung kemana saya harus menyandarkan diri, kemana saya harus mecari tuan, agar kelangsungan hidup terus berlanjut, agar istri dan anak kembali bangga, agar mertua tidak terus berisik, supaya orang tua ada bahan cerita buat tetangga sekitar. Ditengah-tengah kebingungan sembari refleksi menyadari ini sebuah resiko yang harus ditelan sebagai seorang yang Anti Mainstream, ya...Anti Mainstream

Tetap Berjalan diantara COD.

Kalau membaca dari separuh perjalanan hidup terasa sesak, menyakitkan dan menuai penyesalan tak berujung, menyalahkan sikap, menyalahkan keadaan. Sembari berusaha dan berdoa pada Yang Maha Kuasa dengan niatan tulus semua dilakukan untuk sekedar menyambung hidup, karena bermimpipun sudah tidak sanggup. Ditengah ketidak pastian saya bertemu dengan saudara sepupu yang saya anggap sangat idealis, egois.

Sepupu itu namanya Qiqi, anak muda penyuka gitar. Pernah suatu ketika saya berikan informasi tentang situs jual beli. Awalnya dia sangat enggan dan menganggap biaya hidup dan pendidikannya adalah tanggung jawab dari orang tuanya, jadi buat apa bisnis buat apa jualan online, tugasnya adalah belajar dan membaca. Sangat egois bukan??? Ya dia sangat egois

Sekembali dari jakarta, karena gagal bertarung dengan atmosfernya, saya ditakdirkan bertemu dengan dia yang telah berubah dan mempunyai aset jual beli online yang lumayan; seukuran dia. Bercerita tentang usahanya, walaupun agak kaku karena sebelumnya memang ada salah paham diantara kita. Menggambarkan betapa indahnya kehidupan yang dijejakinya, banyak tahu karakter para penghuni bumi, bisa membaca peluang pasar, dan tentang tantangan hidup di Negeri ini.

Dan dengan penuh semangat menawarkan kerjasama dalam usaha online. Bak gayung bersambut saya mengiyakan tawaran tersebut, dan inilah awal cerita saya kembali pada usaha yang sebelumnya saya lakukan juga. Dengan besar hati saya harus menerima kenyataan ini, menjadi bakul online. Beli dan jual kembali barang yang kami dapat dan hasilnya harus kami bagi sesuai proporsinya.

Setidaknya dia yang membukakan pintu semangat yang mulai surut waktu itu. Setidaknya dia yang menjadi teman yang tidak menjustifikasi dan tidak pernah berkata-kata dengan nada tinggi. Dia tidak pernah mengintrik, tidak pernah menilai sebagai the fail soldier.

Setiap hari harus COD (Cek On Delivery) barang dagangan yang kami punya saat itu, karena kami mengikuti prinsip waktu orang barat The Time is Money. Kami harus mengoptimalkan usaha agar kami tidak rugi dan rugi.  Lima puluh ribu untung paling banyak yang kami dapat, terkadang cuma dapat untung dua puluh ribu rupiah saja. Alhamdulillah Qiqi selalu menyebutnya

Kalau sahabat-sahabat yang sudah menikmati nyamanya hidup mengetahui hal ini, pasti (saya yakin) mereka akan mencibir dan menjadikannya bahan intrikan, lihat itu Fulan sedang COD sang aktifis yang anti mainstream, lihat dia aktifis yang terkutuk karena ulahnya. Kalau orang tua saya tahu nasib anaknya saat ini mungkin beliau-beliau akan menangisinya. Seandainya mertua saya tahu mungkin dia akan menyalahkan anaknya dan mengatakan “makane dadi anak melu omongane wong tuo, golek bojo seng bener”.

Tetapi kalian semua tidak tahu betapa nikmatnya hidup yang penuh perjuangan, hidup dengan keringat sendiri dengan pendapatannya tidak pasti. Terus terang selama ini saya banyak bergantung pada istri, Sosok yang selama ini menemani suka dan duka, sosok yang saya marahin, sosok yang telah melahirkan anak yang sampai detik ini masih dititipkan pada orang tua saya. Rasa bahagia saat ini tidaklah cukup sebagai modal, terus berjuang untuk mencari posisi disisa-sisa ruang dibumi manusia ini harus berkobar. 

COD hanyalah sumbu pendek, hanyalah instrumental sementara. Untuk merubah Indonesia harus dari dalam, dari cara berpikir, dari sudut pandang. Sudahlah saya hanya bisa singkat cerita tidak mungkin semuanya saya ceritakan, ada aib, ada rahasia, ada kode etik yang harus saya jaga.

Semoga kalian sadar, jangan menghamba pada hamba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun