Tahun 2014, tahun politik Indonesia kembali tak-tik-tuk diruangan yang berbeda dengan sahabat-sahabat sepergerakan. Pada tahun pilihan legaslatif saya menjadi ring satu kader golkar untuk menjadi legislator pusat mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta; Sedulur RRP sebutnya. Tetapi kenyataan berkata lain, kami harus menggigit jari, kami kalah. Kalah karena pragmatisme politik, kalah dengan money politic, kalah karena gagal membangun kesadaran Civil Society yang berkemajuan.
Pada masa pemilihan presiden saya harus berpisah dengan tokoh muda yang saya dukung pada pileg 2014 sedulur RP dan memilih bergabung dengan teman-teman Poros Muda Indonesia, kaukus kaum muda golkar yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kenapa saya harus mendukung Joko Widodo? Karena beliau adalah pemimpin yang terlahir dari barisan rakyat bukan dari elit politik di Republik ini. Secara tidak langsung dalam konteks ini saya berada dalam garis yang sama dengan sahabat-sahabat, kami mendukung JOkOWI-JK. Perbedaanya diruang saja, saya dengan kaukus Golkar mereka dengan PKB.
Di Poros Muda Golkar inilah semakin terbukanya interaksi dan banyak mengenal tokoh-tokoh muda, katakanlah Indra J Pilliang, Andi Sinulingga, Erwi Aksa, Anies Baswedan yang sekarang menjadi menteri pendidikan. Dijalan Surabaya-Mentenglah saya menyempatkan diri berikrar “tantangan baru ini sudah dimulai” ikrar yang muncul (karena iri) dari semangat pembaharuan kaum muda Indonesia yang Anti Mainstream lagi-lagi Anti Mainstream. Tapi kenyataan berkata lain, mereka yang saya kenal tak serta merta melirik. Saya kembali menjadi peteriak yang sumbang, peteriak yang kehilangan arah kemana teriakan ini akan diarahkan.
Joko Widodo dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden 20 Oktober 2014 ucapan selamat berdatangan ditimeline Twitter, Facebook, memang bukan untuk saya untuk Jokowi dan JK, untuk rakyat Indonesia. Tapi rasa bangga membuat saya terharu sambil berkata “diantara kemenanganmu ada keringat yang telah kukucurkan”. Hiruk pikuk, omongan ini itu, desain bangsa Indonesia dimasa kepemimpinan ini menjadi obrolan dimeja kopi.
Para sahabat sibut mencari sosok untuk menjadikannya sebagai patron politik, menjadi cantolan untuk sekedar menyambung hidup, ada yang melamar menjadi TA DPR, ada yang melamar menjadi sekretaris kantor di Senayan sana, ada yang PDKT pada staf khusus menteri yang belum ditunjuk oleh presiden. Sementara saya hanya bingung kemana saya harus menyandarkan diri, kemana saya harus mecari tuan, agar kelangsungan hidup terus berlanjut, agar istri dan anak kembali bangga, agar mertua tidak terus berisik, supaya orang tua ada bahan cerita buat tetangga sekitar. Ditengah-tengah kebingungan sembari refleksi menyadari ini sebuah resiko yang harus ditelan sebagai seorang yang Anti Mainstream, ya...Anti Mainstream
Tetap Berjalan diantara COD.
Kalau membaca dari separuh perjalanan hidup terasa sesak, menyakitkan dan menuai penyesalan tak berujung, menyalahkan sikap, menyalahkan keadaan. Sembari berusaha dan berdoa pada Yang Maha Kuasa dengan niatan tulus semua dilakukan untuk sekedar menyambung hidup, karena bermimpipun sudah tidak sanggup. Ditengah ketidak pastian saya bertemu dengan saudara sepupu yang saya anggap sangat idealis, egois.
Sepupu itu namanya Qiqi, anak muda penyuka gitar. Pernah suatu ketika saya berikan informasi tentang situs jual beli. Awalnya dia sangat enggan dan menganggap biaya hidup dan pendidikannya adalah tanggung jawab dari orang tuanya, jadi buat apa bisnis buat apa jualan online, tugasnya adalah belajar dan membaca. Sangat egois bukan??? Ya dia sangat egois
Sekembali dari jakarta, karena gagal bertarung dengan atmosfernya, saya ditakdirkan bertemu dengan dia yang telah berubah dan mempunyai aset jual beli online yang lumayan; seukuran dia. Bercerita tentang usahanya, walaupun agak kaku karena sebelumnya memang ada salah paham diantara kita. Menggambarkan betapa indahnya kehidupan yang dijejakinya, banyak tahu karakter para penghuni bumi, bisa membaca peluang pasar, dan tentang tantangan hidup di Negeri ini.
Dan dengan penuh semangat menawarkan kerjasama dalam usaha online. Bak gayung bersambut saya mengiyakan tawaran tersebut, dan inilah awal cerita saya kembali pada usaha yang sebelumnya saya lakukan juga. Dengan besar hati saya harus menerima kenyataan ini, menjadi bakul online. Beli dan jual kembali barang yang kami dapat dan hasilnya harus kami bagi sesuai proporsinya.
Setidaknya dia yang membukakan pintu semangat yang mulai surut waktu itu. Setidaknya dia yang menjadi teman yang tidak menjustifikasi dan tidak pernah berkata-kata dengan nada tinggi. Dia tidak pernah mengintrik, tidak pernah menilai sebagai the fail soldier.