Â
  Kasus pertambangan sering kali melibatkan aktor politik dan lingkungan karena pertambangan sering kali memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Beberapa pihak bisa terlibat dalam memberikan izin pertambangan, mengatur kebijakan lingkungan, atau bahkan terlibat dalam korupsi terkait dengan pertambangan.Â
Sementara itu, aktivis lingkungan biasanya berperan dalam menyuarakan tentang pelestarian lingkungan dan melawan dampak negatif dari aktivitas pertambangan, seperti pencemaran air dan udara, deforestasi, atau kerusakan habitat. Konflik antara beberapa pihak sering kali muncul karena perbedaan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan masing-masing.
  Pertambahan lahan sering kali terjadi untuk memperluas operasi pertambangan. Faktanya, pertambangan sering memerlukan lahan yang luas untuk eksplorasi, penambangan, dan pengolahan mineral atau logam. Dampaknya bisa sangat besar, termasuk deforestasi, kerusakan habitat, degradasi tanah, dan pencemaran air dan udara. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem, serta masalah kesehatan bagi manusia dan makhluk hidup yang tinggal di sekitarnya.Â
  Untuk mengatur aktivitas pertambangan dan melindungi lingkungan, banyak negara memiliki peraturan yang ketat. Peraturan tersebut sering meliputi persyaratan izin, pengelolaan limbah, pemantauan lingkungan, dan rehabilitasi lahan. Namun, implementasi peraturan ini tidak selalu konsisten di semua negara, dan terkadang terdapat pelanggaran atau korupsi yang mengakibatkan dampak lingkungan yang serius.Â
Di Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2023 dibuat untuk mengatur tentang wilayah pertambangan. Upaya pengawasan dan penegakan hukum yang kuat sering kali diperlukan untuk memastikan bahwa aktivitas pertambangan berlangsung sesuai dengan standar lingkungan yang ditetapkan.
  Dalam era yang dipenuhi dengan kekhawatiran akan berbagai isu lingkungan, keterlibatan aktor dalam politik lingkungan menjadi semakin penting. Di era globalisasi yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan, menjadikan setiap manusia memiliki tanggung jawab terhadap bumi sebagai suatu planet yang menjadi tempat bernaung bersama para manusia lainnya. Di satu sisi, globalisasi dapat meningkatkan akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan kemudahan lainnya.Â
Namun, di sisi lain, globalisasi juga dapat menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, polusi, dan degradasi lingkungan karena persaingan ekonomi yang intensif dan permintaan konsumen yang tinggi. Keterlibatan globalisasi dalam lingkungan menciptakan tantangan besar yang memerlukan kerjasama internasional dan tindakan bersama untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
  Politik lingkungan mengacu pada upaya yang menyoroti kompleksitas hubungan antara kebijakan, politik, dan lingkungan alam dalam aspek yang lebih luas. Aspek ini mencakup perlindungan lingkungan, keberlanjutan lingkungan, penanganan isu lingkungan, dan upaya untuk meningkatkan serta mendukung upaya ramah lingkungan demi menjaga kelestarian lingkungan hidup manusia global.Â
Dalam bukunya yang berjudul Actors in International Environmental Politics. The Environment and International Relations, Kate O'Neill menjelaskan aktor-aktor yang terlibat dalam politik lingkungan. Aktor-aktor dalam politik lingkungan ini antara lain yaitu State, IGO, NGO, Corporations, Scientiest, dan Individu.
  Yang pertama adalah State (Negara), yang termasuk di dalamnya merupakan pemerintah dan lembaga negara dengan peran sentral dalam pembentukan kebijakan lingkungan, pengaturan aktivitas lingkungan, dan kesepakatan perjanjian internasional untuk mengatasi isu lingkungan. Tantangan utama yang dihadapi oleh negara adalah mencapai keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta koordinasi antar negara untuk masalah lingkungan yang bersifat lintas batas.