Mohon tunggu...
Sugeng priyadi
Sugeng priyadi Mohon Tunggu... Guru - Teacher of Global Islamic School Serpong

Hidup untuk belajar. Belajar untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Manusia dan Kepunahan ke Enam

28 Mei 2020   19:39 Diperbarui: 28 Mei 2020   19:47 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dunia adalah tempat yang indah, dan layak kita perjuangkan. Namun aku meragukan kalimat kedua" 

Adagium diatas saya ambil dari salah satu film favorit saya, Se7en, tahun 1995 (ada yang pernah nonton juga disini ?). Terdapat pada scene epilog film dan diucapkan oleh Detektif Sommer yang diperankan oleh Morgan Freeman. Aslinya adagium tersebut pertama kali ditulis oleh Ernest Hemingway, novelis terkenal Amerika. 

Teks aslinya pun agak berbeda : The world is a fine place and worth the fighting for. Namun, detektif Sommer di Film Se7en menambahkan kalimat : but I doubt a second one . Ia ragu kalau dunia adalah tempat yang layak kita pertahankan setelah melihat bahwa manusia bisa bertindak tanpa memperdulikan unsur moralitas dan etika. Ternyata manusia bisa sangat destruktif, bukan hanya kepada manusia lainnya, namun juga alam di sekitarnya.

Sejauh ini, saya adalah orang yang memiliki jiwa sedikit melankolis bila menyangkut tentang alam: hewan dan tumbuhan. Saya ingat betul, ketika di rumah saya pernah ada beberapa kecoa nyelip di bawah kasur, dan orang rumah sudah pada siap-siap baygon untuk nyemprot, saya langsung ambil sarung tangan, dan walaupun rada geli, saya menangkap dan membuangnya ke semak semak depan rumah. 

Waktu saya masih bocah, bahkan saya pernah membangun sarang semut menggunakan batu bata dan rerumputan (sarang semut menurut standar bocah) karena saya pernah tak sengaja menghancurkan sebagian sarang semut. Hari-hari berikutnya, saya mengecek apakah ada semut yang pindah ke sarang semut bikinan saya. 

Saya menganggap bahwa organisme sekecil apapun yang hidup, memiliki andil dalam seluruh rantai kehidupan di bumi ini. Kalau menurut teori Multiple Intelligences nya Howard Gardner, mungkin saja saya memiliki Naturalist Intelligence yang cukup tinggi, haha

"Tuhan menciptakan, alam menyediakan, dan manusia menghabiskan, dan menghancurkan". Mungkin diksi itu yang paling tepat menggambarkan krisis sekarang. Menurut Elixabeth Kolbert dalam bukunya "The Sixth Extinction" hari ini, kita sedang berada di tahap kepunahan keenam dalam sejarah bumi. 

Gaungnya sudah mulai berbunyi semenjak manusia semakin masif dalam merubah tatanan alam di sekitarnya saat revolusi Industri, dan terus berlanjut hingga hari ini . Era tersebut dinamakan era antroposen.

Sebenarnya, bumi sendiri sudah beberapa kali mengalami gelombang kepunahan masal. Pertama kali terjadi 447 juta tahun yang lalu pada zaman Ordovician. Kepunahan yang kelima terjadi pada zaman Crataceous, 66 juta tahun yang lalu, dan memusnahkan semua jenis dinosaurus non burung. 

Penyebab kepunahan sebelumnya pun cukup beragam : mulai dari meteorit yang menghantam bumi, hingga ledakan zat asam dari lautan. Semuanya adalah faktor alam. Setiap kali kepunahan terjadi berakibat punahnya 70-80 persen dari seluruh spesies yang ada pada waktu itu.

Sebelum saya membaca buku ini, sebenarnya saya sudah menyiapkan mental. Bersiap untuk tertohok dengan fakta-fakta ironis kerusakan alam hari ini, yang akan dipaparkan oleh buku peraih Penghargaan Pulitzer untuk Non-Fiksi Umum. Namun, ketika menyelam kedalamnya, ternyata saya bukan hanya tertohok, namun saya juga menangis dibuatnya.

Elizabeth Kolbert memulai pemaparan di buku ini dengan beberapa spesies yang terancam punah atau bahkan sudah punah. Katak panama misalnya. Pada tahun 1970an, katak ini sangat mudah ditemui di hutan Panama. 

Saking banyaknya, bahkan orang yang berjalan disana seringkali tak sengaja menginjaknya. Namun, dalam jeda waktu 20 tahun saja, katak ini menjadi langka, dan susah ditemukan.

Bahkan sampai dibuatkan program perlindungan khusus katak ini. Pun juga dengan populasi badak Sumatra yang hari ini populasinya tidak melebihi seratus ekor. 

Padahal, pada awal abad ke 19, hewan ini sangat banyak, bahkan sampai pernah dianggap sebagai hama pertanian. Namun, dalam kurun waktu yang tidak sampai 100 tahun, populasinya jatuh, hingga tak lebih dari 100 ekor. Temuan terakhir pada tahun 2019 bahkan menyatakan jumlahnya tak lebih dari 70 ekor. 

Ada juga burung Alka besar, sejenis burung penguin, yang punah pada pertengahan abad ke 18. Spesies ini pertama kali ditemukan di daerah Islandia pada abad ke 16. 

Saat itu jumlahnya melimpah. Orang orang berlomba lomba menangkapnya. Dagingnya dijadikan santapan. Bulunya dicabuti untuk dijadikan pakaian. Pada 1821, Alka besar terakhir dibunuh oleh pemburu. Semenjak itu pula Alka Besar ikut bergabung ke barisan spesies yang punah karena ulah ketamakan dan sikap serakah manusia.

Kepunahan beberapa fauna diatas juga disponsori oleh semakin menipisnya keragaman flora dan semakin menyempitnya hutan di dunia. Jangan tanyakan ulah siapa. Hutan Amazon, yang menjadi hutan tropis terbesar di dunia, penyumbang 20 persen oksigen di bumi, dan rumah bagi 40  persen spesies di dunia, pada tahun 2018 lalu, luasnya telah berkurang 17 persen dari luas asalnya : 7.000.000 km persegi.

Sebagian upaya deforestasi tersebut digunakan untuk lahan pertanian, pembangunan infrastruktur, atau aktifitas pertambangan. Kini hutan Amazon hanya tersisa sekitar 5.500.000 Km persegi.  

Belum lagi kebakaran pada penghujung 2019 silam dimana menghanguskan 18.627 kilometer persegi, setara dengan 28 kali luas DKI Jakarta. Berkurangnya luas hutan di Amazon juga berarti berkurangnya keragaman hayati yang ada di dalamnya. Disini kita masih berbicara tentang hutan Amazon, dan belum menyentuh kabar hutan-hutan lainnya yang ada di Kalimantan atau Sumatra.

Seakan tidak cukup dengan pengrusakan masif flora dan fauna yang diakukan, manusia juga merusak keseimbangan udara dan laut. Dengan emisi dan pelepasan karbon dioksida dalam skala masif. Sejak masa revolusi industri, manusia sudah menambah 365 miliar ton karbon ke udara. Setiap tahun kita menambah sekitar 9 miliar ton, dan meningkat enam persen lagi pada tahun berikutnya. 

Bila kecenderungan ini terus bertahan, diperkirakan pada 2050 suhu global akan naik dua hingga empat derajat celcius. Sebagian gletser akan mencair, es di Antartika akan lenyap, hingga tenggelamnya kota kota di dataran rendah. 

Namun itu belum seluruh cerita. Elizabeth Korbet juga memaparkan, pelepasan zat emisi dan karbon dalam skala masif juga menyebabkan peningkatan kadar asam dalam lautan, karena lautan menyerap zat karbon, untuk kemudia menetralisirnya. 

Namun jumlah karbon yang bisa diserap oleh lautan pun juga ada batasnya. Semakin meningkat kadar asam di lautan, akan semakin sulit ditinggali oleh makhluk hidup : terumbu karang akan rusak dan berhenti tumbuh serta ikan-ikan pun akan sulit hidup, mengingat terumbu karang adalah tempat tinggal bagi banyak biota laut lainnya.

Dengan segala hal di atas, para ahli memperkirakan, bila kecenderungan ini tetap bertahan, diperkirakan pada tahun 2050, lima belas hinggga dua puluh persen spesies di dunia akan punah. 

Bahkan, angka tersebut bisa semakin bertambah. Ironinya lagi, kepunahan ini bukan hanya mengorbankan hewan dan tumbuhan saja. Pada akhirnya, manusia yang awalnya pelaku pun, juga akan menjadi korban dari kepunahan masal kali ini.

Well, sebenarnya setiap manusia memang memiliki fitrah untuk bertahan hidup dan melestarikan keturunan. Fitrah yang sama yang juga dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Namun, acapkali manusia kelewat rakus dan egois ketika bersinggungan dengan kepuasan perut dan kenyamanan diri sendiri. Hal inilah yang perlu kita hentikan, atau setidaknya kita minimalisir.

" Jangan khawatir, selama kita tetap menjelajah, manusia akan tetap bertahan" tutur penulis buku ini di epilognya. Dewasa ini, masyarakat dunia semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Pun dengan beberapa kampanye cinta lingkungan yang semakin digalakkan : pengurangan penggunaan plastik, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi untuk menekan emisi, program suaka flora dan fauna yang digagas oleh WWF dan lembaga lainnya. 

Pembahasan tentang lingkungan hidup juga menjadi topik tahunan yang dibicarakan dalam sidang antara negara-negara dunia. Menghasilkan beberapa keputusan solutif dan berujung pada aksi nyata

Dan pada akhirnya, kita harus percaya. Jalan itu masih ada, selama kita tetap mengusahakannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun