Saya memang hanya diam mendengarnya, sambil memandang seonggok gundukan unyu berusia tiga bulan berkelamin perempuan tapi berbentuk mirip logo Michelin yang angler tidur sehabis disusui.
Saya memang telat masuk ke ranah “itu”, wilayah dimana semua orang sudah menikah dan beranak-pinak. Saya cuma pernah mengurusi dan mengasuh anjing tanpa pernah melahirkan satupun. Makanya saya nggak tahu susahnya menyusui bayi dan betapa menantangnya mendidik mahluk berlabel manusia. Tapi sepanjang hayat dikandung badan, saya adalah anak. Saya tahu rasanya jadi anak dan punya orangtua.
Saya merasakan kok gimana ibu saya juga nggak punya kehidupannya sendiri. Sejauh yang bisa saya ingat, perempuan paruh baya itu selalu dipanggil “Mamanya Icha” (adik saya, karena saya hampir nggak dikenal di lingkungan tetangga saking sangat jarang pulang) atau “Bu Bambang” dalam organisasi RW. Di lingkungan keluarga besar, Budhe, Pakdhe dan Mbah saya memanggilnya dengan “Nita” dan teman-teman sekolahnya dulu memanggilnya “Yuni”. Tapi seberapa sering sih dia dengar namanya sendiri dalam kesibukannya sebagai emak-emak yang harus mengurusi rumah dan seisinya?
Suatu hari lingkungan kami bikin radio komunitas dan ibu saya siaran, mengasuh acara keroncong di terik siang dengan “nama udara” Bu Anggi. Sejak itulah saya menyebutnya demikian, hanya untuk mengingatkan alam bawah sadar saya bahwa ibu saya punya identitas sendiri.
Lalu Bu Anggi saya curhati tentang para Mahmud Abas teman-teman saya itu. Untuk mengurus anak, menurutnya, sejak bayi pun dia sudah akan belajar pintar jika ibunya juga pintar. Berceritalah dia tentang hari-hari saya yang terbiasa tidur ditemani album Beatles, Rolling Stones dan ABBA agar selalu nyenyak dalam kondisi seberisik apapun karena dia harus beberes sendirian tanpa pembantu. Atau sebelum bepergian mengajak saya jongkok di toilet sampai pipis supaya dia sendiri nggak repot jika saya ngompol. Atau mendisiplinkan saya supaya duduk tenang ketika makan agar dia tak kerepotan membuntuti saya yang sibuk bermain.
Tapi ibu saya bukan ibu-ibu urban zaman sekarang. Manual parenting dia dapatkan sendiri mengikuti insting, tanpa Google maupun buku, atau support group berupa mailing list. Bantuan menyusui pun hanya kepala Babab yang dia bejek kuat-kuat menahan sakitnya gerusan lidah saya bayi (kemudian adik) pada putingnya. Sangat berbeda dengan teman-teman sepenongkrongan saya yang tadinya bekerja di agency besar atau ngantor di seputaran Kuningan lalu hidup mereka berubah setelah melahirkan. Buat yang ekonominya berlebih mungkin lebih dimudahkan, tinggal sewa pembantu atau pengasuh. Atau Papah Muda Siaga, pasangannya, bisa diberdayakan untuk gantian begadang nyusuin dedek pakai botol berisi susu hasil “memerah” ibu.
Saya sendiri nggak punya solusi untuk masalah ini. Lha wong saya, jangankan beranak-pinak, pacar aja nggak punya. (Iya, masalah terbesar di alam semesta ini harus terus didengung-dengungkan dalam blog, sekalian woro-woro cari pacar) Saya cuma minta, to dear society, have mercy on them, those Mahmud Abas the Urban Mommas. Di tangan mama-mama baru ini generasi penerus kalian dibesarkan dan dididik. Di tangan mereka, para ibu urban yang berusaha keras mendampingi anak-anak mereka melalui Golden Age, Indonesia bisa berharap nasibnya nggak blangsak-blangsak amat. Jadi ibu itu susah sekali, profesi 24/7 tanpa libur yang sering dikira magabut ongkang-ongkang kaki dan dituduh ngabisin duit suami, padahal nggak pernah ada appraisal maupun promosi, apalagi sekadar ucapan terima kasih. In the end, setelah mereka lelah mengurus anak-anak tambatan hati dan tujuan hidup, mereka juga harus melepas ikhlas menjalani hidup sendiri. It sucks, big time.
The least you can do, dear society, is to love them, listen to them. Help them by not judging.
Dedicated to all new mothers all over the world. You RAWK!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H