Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmu
Adalah panah yang meluncur…
- Kahlil Gibran
Waktu ngetik ini saya sedang kenyang jiwa-raga. Pagi saya terbuat dari tidur nyenyak semalam, nasi goreng bikinan Bu Anggi berbasuh teh manis panas buatan Babab. Sebagai anak jarang pulang dan (keukeuh) tinggal sendiri, hal-hal seperti itu yang terkadang bikin melankolor di kamar kos. Apalagi kalau sedang sakit. Beuh!
Saya termasuk anak beruntung memiliki orangtua demokratis yang masih mau mendengar dan nggak ngotot jadi yang maha benar. Sebangkotan ini pun ibu saya nggak sungkan mengelus kepala, memeluk atau mencium pipi anak-anaknya dan bilang “Ibu sayang kamu”. Seumur-umur saya dan adik jadi anaknya pun kami nggak pernah ditegur dengan keras. Ya paling langsung dihajar sih kalau kelewat bandel. Tapi itu masa laluuu…
Iya, saya memang sedang melankolor. Berapa hari sebelumnya seorang Mahmud Abas (mamah muda anak baru satu) mengeluh pada saya.
“Aku kok berasanya kayak ibu paling jahat sedunia lho, kalo cerita ke milis. Ya namanya jadi ibu kan kadang suka stress anak nggak pup beberapa hari, kerjaan freelance keteteran, air susu nggak keluar, atau pengen jalan-jalan dan main. Responnya seragam: hambok kamu itu jalaninnya ikhlas… Emangnya jadi ibu tuh nggak boleh punya kehidupan sendiri ya?”