Mohon tunggu...
Gendis Pambayun
Gendis Pambayun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Cuma peramai dunia

Sekedar mengekspresikan suara hati dan berbagi cerita tentang apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Rasaku Mati (Cerita Untuk Anak)

20 Januari 2020   04:30 Diperbarui: 20 Januari 2020   10:53 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Hanung Sapta Ning Pamungkas, panggilanku Unung. Aku anak terakhir dari empat bersaudara, semua saudaraku perempuan. Ayah tinggal dikota, jauh dari kampung nenek dari ibuku. 

Sejak ibuku meninggal keluargaku terpecah. Kakak perempuanku pertama dan kedua kos di kota Semarang, mereka masih kuliah, kakak ketigaku ikut nenek dari ayahku. Sedang aku dititipkan nenek dari ibuku. Jadi, mereka sudah tak bersamaku, aku hanya tinggal dengan nenek dan kakekku.


Sejak kepergian ibuku, aku dititipkan kepada nenek dan kakekku. Aku tidak tahu alasan ayah menitipkanku pada nenek.
Hari-hari kulewati dengan berat. Walaupun nenek dan kakekku sangat menyayangiku, namun aku merasa tersisih dan asing selalu hadir dihatiku. Sering aku menangis sendiri, dengan  memeluk foto ibuku. Aku sungguh sangat merindukannya. Merindukan omelannya, kasihsayangnya dan perhatian-perhatiannya padaku. Ibu yang selalu mensuportku ketika aku merasa tidak percaya diri dengan teman-teman sekolah. Kini semua sudah tidak ada lagi pelukan cinta yang aku harapkan.

Suatu hari aku datang ke rumah ayah, aku berharap ada sambutan hangat atau setidaknya Ia memelukku. namun ternyata tidak, sesampainya aku disana ayah sibuk dengan istrinya yang baru dan kakak nomor dua saat itu sedang di sana pun tidak menghiraukanku. Kakakku saat melihatku menutup pintu kamarnya. Aku terpaku sedih, airmataku membasahi pipi. Nenek memelukku, tetapi tidak mampu mengobati luka hatiku. Aku menangis, ya Allah apa salahku sampai keluargaku tak menganggap Aku ada?


"Aku merasa seperti yatim piatu ya Allah" begitulah keluhku pada Tuhan saat itu.


Aku masih terus menangis di kamar sambil ku peluk foto ibuku.


"Ibu, apakah kepergianmu adalah kesalahanku? bukankah itu takdir dari Tuhan, tapi mengapa ayah dan kakak-kakak marah terhadapku?
Mengapa ayah setega itu bu? Mengapa aku dibiarkan sendiri merindukan kasih sayang ayah?"
tangisku semakin pecah.


Rencana liburan ke rumah ayahku adalah impianku, namun sesampainya dirumah ayah menjadi sangat tidak nyaman, lalu aku mengajak nenek pulang. Kami pulang tanpa diantar ayahku. Tak ada pelukan apalagi kecupan sayang, ucapan kasihsayang atau salam perpisahan pun tidak aku dapatkan.
Ayah sudah melupakanku. Kakakku pun sepertinya enggan bertemu denganku. Di sepanjang perjalanan aku merasakan kesedihan yang sangat. Tidak sanggup lagi bibirku menyunggingkan senyum. Nenek menghiburku dengan penuh sabar, tapi bagiku hanya seperti nyanyian sunyi.
Dalam diamku, batinku merintih.

"Ayah tolong terima aku sebagai anak perempuanmu, aku rindu pelukanmu, ayah. Aku ingin sekali merawatmu di hari tuamu. beri aku kesempatan untuk bisa membuatmu bahagia."
"Ayah, aku disini menunggumu menjemputku pulang, pulang ke rumah kita.
Aku akan selalu menunggumu sampai nanti saatnya tiba.
Aku rindu kalian, ayah, dan kakak-kakak tercintaku" Jeritan batinku itu selalu menghantui. 

Aku seperti hidup dalam ruangku sendiri. Sepi dan gelap.


Liburan telah usai. Aku harus masuk sekolah lagi. Begitu berat langkahku, memasuki gerbang sekolah. Rasanya seperti masuk neraka. Teman-temanku pasti akan membullyku lagi, mereka tidak mengerti betapa sakitnya hatiku saat ucapan-ucapan yang menyudutkanku terlontar.


Seperti hari ini. Mereka pun melakukan hal yang sungguh menyakitkan hatiku. Jadwal piketku adalah hari kamis, saat ini baru hari selasa, tetapi mereka memberiku tugas piket dan membebankan semuanya Padaku.  


"Unung, kamu piket hari ini, kalau kamu gak piket, tasmu kami sita" ujar teman kelasku dengan galaknya.


Belum sempat aku menjawab, beberapa teman kelas sudah merebut tasku dan melempar sapu didepanku. Aku, tanpa mampu menolak mengerjakan semua perintah teman-temanku.
Sering sekali teman-temanku memerlakukanku tidak manusiawi, membuat hatiku semakin sakit. Rasanya aku ingin memporak-porandakan isi dunia ini, agar semua musnah bersama penderitaanku. Tetapi apalah dayaku, tangan mungil ini tak sanggup menjamah apa pun. Bisaku hanya menangis. Memanggil ibuku dalam tangisku yang sering tak berkesudahan. Hingga kadang aku lupa bahwa aku masih di kelas sedang pelajaran, saat-saat seoertinitu aku pun pamit ke ruang UKS untuk menumpahkan airmataku.


Hingga pada suatu hari aku tidak mampu bertahan. Kepalaku sakit sekali, aku pamit pada ketua kelas, saat itu jam pelajaran sedang kosong untuk ke ruang UKS. Aku menangis hingga tertidur, sampai jam sekolah berakhir. Ketika aku terbangun sekolah sudah sepi, aku kembali ke kelas ternyata semua sudah pulang. Aku merasa sangat kesepian dan sendirian. Tak ingin pulang dan rasaku mati, aku menjatuhkan tubuhku hingga tidak kurasakan sakit lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun