Mohon tunggu...
GenBI Universitas Diponegoro
GenBI Universitas Diponegoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Generasi Baru Indonesia Komisariat Universitas Diponegoro

Komunitas Penerima Beasiswa Bank Indonesia Komisariat Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengarungi Arus Perubahan: Kenaikan Tarif 12% sebagai Pilar Penguatan Ekonomi dan Keberlanjutan Fiskal

25 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 25 Januari 2025   19:55 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Persentase Kontribusi Berbagai Jenis Pajak. Sumber: Organisation for Economic Co-operation and Development (2019)

PENDAHULUAN

Bagi negara, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan (Nariswari, et al., 2024). Pengenaan pajak memiliki peran yang signifikan dalam mengatur keuangan suatu negara, termasuk di Indonesia. Bahkan, pajak menjadi sumber utama pendapatan bagi Indonesia. Sebagai contoh, pada tahun 2022, penerimaan pajak menyumbang sebesar Rp 1.256 triliun dari total pendapatan negara sebesar Rp 2.626,4 triliun (Nariswari, et al., 2024). Pada tahun-tahun berikutnya, pendapatan negara dari sektor pajak juga menjadi kontributor tertinggi khususnya pada tahun 2024 sebagaimana data berikut ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kontribusi pajak dalam menghasilkan pendapatan yang mendukung fungsi-fungsi pemerintah dan program-program pembangunan.

Setiap negara di seluruh dunia pendapatannya sebagian besar dari penerimaan pajak termasuk di Indonesia sebagaimana temuan data dukung pada Gambar 1 yang dimana penerimaan pajak menjadi sumber pendapatan negara utama sebesar 68%. Sedangkan penerimaan dari non pajak biasanya hanya merupakan pendapatan tambahan. Oleh karena itu, fungsi pajak sangat penting dalam memenuhi kebutuhan anggaran pengeluaran dari suatu negara. Apabila pendapatan pajak dari suatu negara mengalami permasalahan, atau tidak dapat mencapai target yang sudah ditentukan, maka secara otomatis negara tersebut juga tidak akan dapat membiayai semua pengeluarannya secara normal.

Pajak merupakan fakta kehidupan universal, yang berdampak signifikan terhadap lanskap keuangan berbagai negara di seluruh dunia. Tarif pajak umumnya merupakan persentase pendapatan atau laba yang wajib dibayarkan oleh individu dan bisnis kepada pemerintah dalam bentuk pajak. Tiga jenis utama perpajakan adalah: (1) Pajak Penghasilan Pribadi; (2) Pajak Perusahaan; dan (3) Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah alat pendapatan paling dominan di dunia. PPN telah diberlakukan tepatnya dimulai pada tahun 1800-an, dan telah diadopsi oleh lebih dari 150 negara dan menyumbang sekitar 20% pendapatan pajak dunia (Rochmah et al., 2024).

Berdasarkan Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dikeluarkan pada tahun 2019, menunjukkan bahwa kontribusi rata-rata berbagai jenis pajak terhadap penerimaan pajak keseluruhan negara-negara anggota OECD:

Gambar 2. Persentase Kontribusi Berbagai Jenis Pajak. Sumber: Organisation for Economic Co-operation and Development (2019)
Gambar 2. Persentase Kontribusi Berbagai Jenis Pajak. Sumber: Organisation for Economic Co-operation and Development (2019)

Data ini menunjukkan bahwa peranan dari Pajak Pertambahan Nilai terhadap total penerimaan pajak sangat besar. Lebih dari 20% dari penerimaan pajak berasal dari Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pemungutan pajak terhadap tiap transaksi/perdagangan jual beli produk/jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi, badan usaha maupun pemerintah. Istilah PPN dalam Bahasa Inggris dikenal dengan Goods and Services Tax (GST) atau Value Added Tax (VAT). Pajak ini bersifat tidak langsung, objektif dan non-kumulatif (Yusuf, 2021; Ribhan & Yusuf, 2016). Maksudnya, pajak tersebut dibayarkan secara langsung oleh pedagang, melainkan dibayarkan oleh konsumen (Anggarini et al., 2021; Putri & Ghazali, 2021). Sehingga, dikatakan tidak langsung karena konsumen tidak membayar secara langsung ke pemerintah (Putri, 2021).

Di Indonesia, PPN sendiri diperkenalkan pada tahun 1947 dengan nama Pajak Pembangunan I. Maulida (2018) dalam Novianto et al. (2023) menjelaskan, kemudian pada tahun 1950 berlaku Pajak Peredaran dengan tarif 2,5%. Kemudian cikal bakal PPN modern baru dimulai pada tahun 1951. Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 sttd Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 dengan nama Pajak Penjualan, PPN saat itu dinamakan dengan Pajak Penjualan (Sukardji, 2009 dalam Novianto et al. 2023). Selama kurang lebih tiga puluh tahun Pajak Penjualan telah memberikan kontribusi yang sangat penting atas konsumsi di Indonesia. Dengan adanya reformasi perpajakan pada tahun 1983, lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang menjadi dasar pemungutan PPN dengan tarif 10%

Hingga artikel ini ditulis, Indonesia menetapkan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, yang sebelumnya tarif PPN senilai 11% per 1 April 2022. Kenaikan PPN menjadi 11% disebabkan adanya pandemi covid-19 yang membuat belanja negara membengkak dan perekonomian negara menurun yang tidak dibarengi dengan sumber penerimaan negara yang meningkat. Sehingga mengharuskan negara untuk menaikkan tarif PPN. Pada awalnya, Tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 10% sebagaimana diatur dalam UU PPN No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Namun dengan naiknya PPN menjadi 12%, Pemerintah Indonesia telah membuat regulasi terbaru terkait tarif PPN 12% yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). PPN 12% di Indonesia merupakan tarif PPN yang relatif rendah dari rata-rata tarif PPN di dunia yang sebesar 15,4%.

Dampak kebijakan menaikkan tarif PPN masih menimbulkan pro kontra di antara studi-studi terdahulu. Sebagian studi menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Erero, 2015; Bhattarai,2020; Nikus, 2021; Adejare dan Akande, 2017; Hassan, 2015; Nguyen, 2019; Jalata, 2014; dan Ayoub dan Mukherjee, 2019). Namun sebagian yang lain menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Sajadifar et al., 2012; Ross et al., 2019; Bhattarai et al., 2019; Semenova, 2020). Oleh karena itu, penting untuk melakukan analisis bagaimana dampak penetapan kenaikan PPN tersebut terhadap perekonomian secara keseluruhan. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada berbagai sektor kehidupan khususnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan PPN merupakan salah satu jenis pajak yang penting dan sering dikenakan terhadap transaksi jual beli barang dan jasa di Indonesia (Nariswari, et al., 2024). 

Regulasi Kenaikan PPN 12%

Regulasi mengenai penerapan kenaikan PPN 12% tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang memberikan aturan mengenai dasar penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025 tersebut, dijelaskan bahwa PMK 131 Tahun 2024 merupakan PMK tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean.

Penerbitan PMK 131/2024 dilakukan untuk merealisasikan penerapan tarif PPN yang adil, yang diwujudkan dalam bentuk penggunaan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak untuk barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 8A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah mengalami perubahan beberapa kali, yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Dalam Pasal 2 (dua) ayat (2) PMK 131/2024 menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% (dua belas persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor. Sementara itu, pada Pasal 2 (3) tertulis bahwa Barang Kena Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Berdasarkan PMK 131/2024 dapat digarisbawahi bahwa pengenaan PPN 12% hanya diaplikasikan terhadap barang-barang yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), berupa kendaraan bermotor, kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, kondominium, town house, apartemen, dan sejenisnya yang memiliki harga jual Rp30 miliar atau lebih. Selanjutnya, kelompok balon udara dan pesawat udara tanpa tenaga penggerak dan peluru senjata api, kecuali untuk keperluan negara. Kemudian terdapat kelompok pesawat udara selain yang dikenai tarif PPnBM 40%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga seperti helikopter, serta kelompok senjata api seperti senjata artileri, revolver, dan pistol, kecuali untuk keperluan negara. Terakhir adalah kelompok kapal pesiar mewah yang bukan digunakan untuk keperluan negara atau angkutan umum seperti kapal pesiar, kapal ekskursi, dan yacht.

Tinjauan Kenaikan Tarif PPN di Masa Lalu

Kenaikan PPN bukanlah hal baru di Indonesia. Pada April 2022 lalu, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7 Tahun 2021, Pemerintah Indonesia pernah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan menjaga stabilitas fiskal. Pada awalnya, peningkatan PPN ini sempat menimbulkan kekhawatiran  akan penurunan daya beli masyarakat, utamanya di sektor yang sensitif terhadap harga. Namun, perubahan tarif ini juga memiliki dampak yang signifikan terhadap profitabilitas perusahaan, terutama di sektor kosmetik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Muliani Mangngalla menganalisis implikasi kebijakan peningkatan tarif PPN tersebut terhadap profitabilitas perusahaan kosmetik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif komparatif dan mencakup enam perusahaan, yaitu PT Akasha Wira International Tbk, PT Martina Berto Tbk, PT Kino indonesia Tbk, PT Mustika Ratu Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk, dan PT Victoria Care Indonesia Tbk. Melalui teknik purposive sampling, hasil menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN meningkatkan penjualan dan laba kotor semua perusahaan, tetapi 33% dari perusahaan tersebut mengalami penurunan laba bersih setelah pajak, bahkan mengalami kerugian (Mangngalla, 2024).

Kenaikan tarif PPN dapat menyebabkan perusahaan menaikkan harga jual produk untuk mengimbangi pajak tambahan, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya beli konsumen dan menurunkan volume penjualan. Jika perusahaan tidak sepenuhnya meneruskan kenaikan PPN kepada konsumen dan menyerap sebagian dari kenaikan biaya tersebut, margin keuntungan kotor dapat tertekan. Penurunan Gross Profit Margin (GPM) menunjukkan bahwa dampak kenaikan PPN mungkin telah mengurangi efektivitas perusahaan dalam mengelola biaya dan mempertahankan profitabilitas.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN dapat mempengaruhi daya beli konsumen. Sebagai contoh, penelitian Hidayat et al. (2023) menemukan bahwa 59% dari perusahaan sektor industri makanan dan minuman mengalami penurunan penjualan setelah kenaikan tarif PPN. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga barang akibat peningkatan tarif PPN dapat mengurangi daya beli konsumen, yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan konsumen untuk berbelanja.

Analisis Data dari Negara-Negara dengan PPN Tinggi sebagai Pembanding

Adapun Pengenaan tarif PPN di Indonesia masih di angka normal jika dibandingkan negara lain. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) menunjukkan Tarif PPN yang dikenakan sebesar 12% di Indonesia masih dibawah Tarif PPN Rata-Rata Dunia sebesar 15,4% pada 127 negara dengan rincian sebagai berikut:

Sumber: IBDF Tax Research Platform 2024, Telah diolah kembali
Sumber: IBDF Tax Research Platform 2024, Telah diolah kembali
Rata-rata tarif PPN dari 127 negara di dunia adalah 15,4% (lima belas koma empat persen), sedangkan untuk Asia berada di angka sekitas 12% (dua belas persen), dengan demikian dapat disimpulkan, tarif PPN Indonesia berada di bawah rata-rata tarif global dan namun berada pada rata-rata tarif PPN Asia. Khusus untuk negara-negara Asean, tarif PPN memiliki rentang antara 0%-12% dengan rata-rata 7,72%. Tarif PPN yang variatif dengan kondisi perekonomian suatu negara di kawasan Asia Tenggara yang lebih variatif tentunya tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menaikkan tarif PPN. 

Gambar 3. Tarif PPN Negara-Negara Asean           Sumber: PricewaterhouseCoopers (PwC) (2025)
Gambar 3. Tarif PPN Negara-Negara Asean           Sumber: PricewaterhouseCoopers (PwC) (2025)

Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC) per 2024, tarif PPN di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di antara negara-negara di ASEAN. Selain Indonesia, Filipina juga tercatat memiliki besaran tarif PPN 12%. Selain itu ada Singapura dengan tarif pajak barang dan jasa (Goods and Services Tax/GST) 9%. Beberapa negara lain di ASEAN justru tercatat memiliki tarif PPN yang kecil. Timor Leste contohnya, negara tersebut hanya mematuk pajak barang-barang impor dengan tarif 2,5% dan di bidang jasa dengan tarif PPN sebesar 5%. Sementara, Myanmar malahan tidak menerapkan PPN. Selain itu ada Thailand yang tercatat menurunkan tarif PPN menjadi 7% dari 10% sebelumnya. Besaran tarif PPN Indonesia juga tidak hanya menjadi salah satu yang terbesar di ASEAN, hasil komparasi dengan berbagai negara di Asia menemukan tarif PPN 12% juga lebih tinggi dari beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang hanya mematuk besaran tarif PPN 10%, Australia dengan 10%, Swiss dengan 7,7% dan Kanada dengan 5%. 

Perkiraan Dampak PPN 12% Terhadap APBN

Kenaikan PPN sebesar 1% diperkirakan akan memberikan tambahan penerimaan negara yang signifikan, mengingat bahwa PPN merupakan salah satu kontributor utama dalam pendapatan pajak. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak, penerimaan PPN pada tahun sebelumnya mencapai sekitar Rp700 triliun. Kenaikan tarif sebesar 1% dapat menambah penerimaan sebesar 1/11 dari penerimaan PPN sebelumnya. Akan tetapi, proyeksi ini bisa saja tidak sesuai yang diharapkan apabila kenaikan PPN mempengaruhi daya beli masyarakat dan penghindaran pajak oleh masyarakat. Pajak merupakan penyumbang terbesar yaitu 70% terhadap APBN. Penerimaan PPN menyumbang 40% dari total penerimaan pajak. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini tentunya berdampak pada peningkatan penerimaan negara. Kenaikan PPN dapat membantu mengurangi defisit anggaran jika penerimaan tambahan digunakan secara optimal. Pada APBN, penambahan penerimaan negara ini dapat dialokasikan untuk pembayaran utang negara dan investasi pada sektor produktif seperti infrastruktur dan pendidikan. Namun, efektivitas pengurangan defisit sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola belanja negara.

Kesimpulan

PPN merupakan salah satu komponen utama dalam pembiayaan pengeluaran negara, mencakup pengeluaran rutin maupun pembangunan. Di tengah tantangan perekonomian, seperti perlambatan pertumbuhan, membengkaknya belanja negara, dan minimnya peningkatan penerimaan, kenaikan tarif PPN menjadi 12% menjadi langkah strategis yang diambil pemerintah. Kebijakan ini berpotensi besar meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga membawa tantangan yang perlu dikelola secara hati-hati, termasuk dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan tingkat inflasi.

Penerapan tarif baru ini terutama menyasar barang dan jasa tertentu, yaitu barang mewah yang juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kebijakan ini mempertimbangkan pengalaman kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, yang berhasil meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, meskipun memberikan tekanan pada profitabilitas perusahaan dan daya beli masyarakat.

Secara perbandingan internasional, tarif PPN 12% di Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia, namun sejajar dengan rata-rata tarif di kawasan Asia. Pengalaman negara-negara dengan tarif PPN tinggi menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan semacam ini sangat bergantung pada efisiensi administrasi perpajakan, transparansi dalam pelaksanaan, serta adanya program perlindungan sosial yang efektif untuk memitigasi dampak negatifnya terhadap masyarakat.

Dengan demikian, keberhasilan implementasi kebijakan kenaikan PPN 12% akan sangat ditentukan oleh pengelolaan yang cermat, komunikasi yang jelas dan edukatif kepada masyarakat, serta penguatan sistem perpajakan secara keseluruhan. Jika diterapkan dengan strategi yang tepat, kebijakan ini tidak hanya dapat meningkatkan pendapatan negara tetapi juga menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan kesejahteraan masyarakat.

Daftar Referensi

Adejare, A. T. dan S. S. Akande. 2017. The Impact of Value Added Tax on Private Investment in Nigeria. Account and Financial Management Journal 2(4): 644-651. https://doi.org/10.18535/afmj/v2i4.03

Anggarini, D. R., Putri, A. D., & Lina, L. F. (2021). Literasi Keuangan untuk Generasi Z di MAN 1 Pesawaran. 1(1), 147–152. https://jamsi.jurnal-id.com/index.php/jamsi/article/view/42

Ayoub, Z. dan S. Mukherjee. 2019. Value Added Tax and Economic Growth: An Empirical Study of China Perspective. Signifikan: Jurnal Ilmu Ekonomi 8(2): 235–242. https://doi.org/10.15408/sjie.v8i2.10155.

Bhattarai, K. 2020. Impacts of GST Reforms on Efficiency, Growth and Redistri-bution of Income in India: a Dynamic CGE Analysis. Journal of Development Economics and Finance 1(1): 93–133. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3782402

Bhattarai, K., D. T. K. Nguyen, dan C. Van Nguyen. 2019. Impacts of Direct and Indirect Tax Reforms in Vietnam: a CGE Analysis. Economies 7(2). https://doi.org/10.3390/economies7020050

Direktorat Jenderal Pajak. (2024). Laporan Tahunan Pajak 2023. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Erero, J. L. 2015. Effects of Increases in Value Added Tax: a Dynamic CGE Approach Effects of Increases in Value Added Tax: a Dynamic CGE Approach. ERSA Working Paper 558, November. https://ideas.repec.org/p/rza/wpaper/558.html

Hassan, B. 2015. The Role of Value Added Tax in the Economic Growth of Pakistan. International Journal of Public Policy 11(4–5): 204–218. https://doi.org/10.1504/IJPP.2015.070554.

Hidayat, M., Afifah, J., Firdaus, F., Sari, W. N., Hairunnisah, A. I., & Purwaningrum, A. H. (2023). Analisis Penjualan, Laba Bruto Dan Gross Profit Margin Setelah Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Pada Idustri Makanan Dan Minuman. DIMENSI, 12(2), 529-542.

Jalata, D. 2014. The Role of Value Added Tax on Economic Growth of Ethiopia. Science, Technology and Arts Research Journal 3(1): 156-161. https://doi.org/ 10.4314/star.v3i1.26

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2025, January 3). Presiden Prabowo Subianto Tegaskan Pemberlakuan PPN 12% Hanya Dikenakan Terhadap Barang dan Jasa Mewah. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Retrieved January 13, 2025, from https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/6122/presiden-prabowo-subianto-tegaskan-pemberlakuan-ppn-12-hanya-dikenakan-terhadap-barang-dan-jasa-mewah

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). APBN Kita: Analisis Pendapatan dan Belanja Negara 2024. Jakarta: Kemenkeu.

Nariswari et al., (2024). Manajemen Perpajakan: Analisis Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia (Kajian Literatur). Jurnal EMT KITA: 8(3) 854-863. https://lembagakita.org/journal/index.php/emt/article/view/2607/2030

Nguyen, H. H. 2019. Impact of Direct Tax and Indirect Tax on Economic Growth in Vietnam. Journal Of Asian Finance, Economics and Business6(4): 129–137. https://doi.org/10.13106/jafeb.2019.vol6.no4.129

Nikus, T. A. 2021. Economy-wide Impact of Tax Reform in Ethiopia: a Recursive Dynamic General Equilibrium Model. Journal of Accounting and Taxation 13(2): 78-88. https://academicjournals.org/journal/JAT/article-full-text-pdf/CE8A1C766446

Novianto et al., (2023). Menelaah Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan nilai ditinjau dari asas keadilan. Jurnalku. 3(2) 187-195. https://jurnalku.org/index.php/jurnalku/article/view/454/370

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

Putri, A. D. (2021). Maksimalisasi Media Sosial untuk Meningkatkan Pendapatan dan Pengembangan Diri Generasi Z di MAN 1 Pesawaran. Journal of Social Sciences and Technology for Community https://doi.org/10.33365/jsstcs.v2i2.1180

Putri, A. D., & Ghazali, A. (2021). Analysis Of Company Capability Using 7s Mckinsey Framework To Support Corporate Succession (Case Study : Pt X Indonesia). 11(1), 45–53. https://doi.org/10.22219/mb.v11i1.

Ribhan, R., & Yusuf, N. (2016). Pengaruh Moral Kognitif Pada Kinerja Keperilakuan Dan Kinerja Hasil Tenaga Penjualan. Jurnal Manajemen Teori Dan Terapan. Journal of Theory and Applied 6(1), 67–78. https://doi.org/10.20473/jmtt.v6i1.2660 Management,

Rochmah et al., (2024). Komparasi Sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Antara negara Estonia dengan indonesia. Jurnal Nova idea 1(2) 1-13. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/nova_idea/article/download/47985/32622

Roos, E. L., J. M. Horridge, J. H. Van Heerden, P. D. Adams, H. R. Bohlmann, K. K.Kobe, dan B.Vumbukani-Lepolesa. 2019. National and Regional Impacts of an Increase in Value-Added Tax: A CGE Analysis for South Africa. South African Journal of Economics 88(1): 90–120. https://doi.org/10.1111/saje.12240.

Sajadifar, S. H., N. Khiabani, dan A.Arakelyan. 2012. A Computable General Equilibrium Model for Evaluating the Effects of Value-added Tax Reform in Iran. World Applied Sciences Journal 18(7): 918–924. https://doi.org/10.5829/idosi. wasj. 2012. 18.07.1772.

Semenova, G. 2020. Impact of Vat Raise on Russian Economy. E3S Web of Conferences 210: 1–7. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202021013028

Supriyadi, E. (2023). "Pengaruh Kenaikan PPN terhadap Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia." Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 12(3), 45-57.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Yusuf, N. (2021). The Effect of Online Tutoring Applications on Student Learning Outcomes during the COVID-19 Pandemic. Italienisch, 11(2), 81–88. http://www.italienisch.nl/index.php/VerlagSauerlander/article/view/100

Zulfiani, A., Arif, M., & Rambe, R. F. (2021). Analisis penerapan tax planning pajak pertambahan nilai (PPN) terutang pada CV Arya. Jurnal Akuntansi Audit dan Perpajakan Indonesia. Retrieved April 1, 2024. https://doi.org/10.32696/jaapi.v2i2.935.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun