Analisis Data dari Negara-Negara dengan PPN Tinggi sebagai Pembanding
Adapun Pengenaan tarif PPN di Indonesia masih di angka normal jika dibandingkan negara lain. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) menunjukkan Tarif PPN yang dikenakan sebesar 12% di Indonesia masih dibawah Tarif PPN Rata-Rata Dunia sebesar 15,4% pada 127 negara dengan rincian sebagai berikut:
Rata-rata tarif PPN dari 127 negara di dunia adalah 15,4% (lima belas koma empat persen), sedangkan untuk Asia berada di angka sekitas 12% (dua belas persen), dengan demikian dapat disimpulkan, tarif PPN Indonesia berada di bawah rata-rata tarif global dan namun berada pada rata-rata tarif PPN Asia. Khusus untuk negara-negara Asean, tarif PPN memiliki rentang antara 0%-12% dengan rata-rata 7,72%. Tarif PPN yang variatif dengan kondisi perekonomian suatu negara di kawasan Asia Tenggara yang lebih variatif tentunya tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menaikkan tarif PPN.Â
Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC) per 2024, tarif PPN di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di antara negara-negara di ASEAN. Selain Indonesia, Filipina juga tercatat memiliki besaran tarif PPN 12%. Selain itu ada Singapura dengan tarif pajak barang dan jasa (Goods and Services Tax/GST) 9%. Beberapa negara lain di ASEAN justru tercatat memiliki tarif PPN yang kecil. Timor Leste contohnya, negara tersebut hanya mematuk pajak barang-barang impor dengan tarif 2,5% dan di bidang jasa dengan tarif PPN sebesar 5%. Sementara, Myanmar malahan tidak menerapkan PPN. Selain itu ada Thailand yang tercatat menurunkan tarif PPN menjadi 7% dari 10% sebelumnya. Besaran tarif PPN Indonesia juga tidak hanya menjadi salah satu yang terbesar di ASEAN, hasil komparasi dengan berbagai negara di Asia menemukan tarif PPN 12% juga lebih tinggi dari beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang hanya mematuk besaran tarif PPN 10%, Australia dengan 10%, Swiss dengan 7,7% dan Kanada dengan 5%.Â
Perkiraan Dampak PPN 12% Terhadap APBN
Kenaikan PPN sebesar 1% diperkirakan akan memberikan tambahan penerimaan negara yang signifikan, mengingat bahwa PPN merupakan salah satu kontributor utama dalam pendapatan pajak. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak, penerimaan PPN pada tahun sebelumnya mencapai sekitar Rp700 triliun. Kenaikan tarif sebesar 1% dapat menambah penerimaan sebesar 1/11 dari penerimaan PPN sebelumnya. Akan tetapi, proyeksi ini bisa saja tidak sesuai yang diharapkan apabila kenaikan PPN mempengaruhi daya beli masyarakat dan penghindaran pajak oleh masyarakat. Pajak merupakan penyumbang terbesar yaitu 70% terhadap APBN. Penerimaan PPN menyumbang 40% dari total penerimaan pajak. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini tentunya berdampak pada peningkatan penerimaan negara. Kenaikan PPN dapat membantu mengurangi defisit anggaran jika penerimaan tambahan digunakan secara optimal. Pada APBN, penambahan penerimaan negara ini dapat dialokasikan untuk pembayaran utang negara dan investasi pada sektor produktif seperti infrastruktur dan pendidikan. Namun, efektivitas pengurangan defisit sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola belanja negara.
Kesimpulan
PPN merupakan salah satu komponen utama dalam pembiayaan pengeluaran negara, mencakup pengeluaran rutin maupun pembangunan. Di tengah tantangan perekonomian, seperti perlambatan pertumbuhan, membengkaknya belanja negara, dan minimnya peningkatan penerimaan, kenaikan tarif PPN menjadi 12% menjadi langkah strategis yang diambil pemerintah. Kebijakan ini berpotensi besar meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga membawa tantangan yang perlu dikelola secara hati-hati, termasuk dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan tingkat inflasi.
Penerapan tarif baru ini terutama menyasar barang dan jasa tertentu, yaitu barang mewah yang juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kebijakan ini mempertimbangkan pengalaman kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, yang berhasil meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, meskipun memberikan tekanan pada profitabilitas perusahaan dan daya beli masyarakat.
Secara perbandingan internasional, tarif PPN 12% di Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia, namun sejajar dengan rata-rata tarif di kawasan Asia. Pengalaman negara-negara dengan tarif PPN tinggi menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan semacam ini sangat bergantung pada efisiensi administrasi perpajakan, transparansi dalam pelaksanaan, serta adanya program perlindungan sosial yang efektif untuk memitigasi dampak negatifnya terhadap masyarakat.