Mohon tunggu...
Geok Mengwan
Geok Mengwan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Senang belajar hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasepuhan Ciptagelar: Tradisi dan Modernisasi Berjalan Beriringan

28 April 2020   14:15 Diperbarui: 28 April 2020   14:26 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasepuhan Ciptagelar, sebuah kampung adat yang letaknya berada di tiga kabupaten; Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Bogor. Kampung ini terkenal akan tradisi dan budayanya yang kental. Salah satu tradisi Kasepuhan Ciptagelar yang terkenal adalah Upacara Seren Taun. 

Kehangatan dan keramahan masyarakatnya menjadikan wisatawan yang berkunjung betah dan memiliki kenangan yang membekas. Kehidupan yang menyatu dengan alam serta tunduk pada tradisi bukan berarti Ciptagelar menolak mentah-mentah perkembangan zaman.

Dipimpin oleh Seorang “Abah"

Abah Ugi. Sumber: Sukabumi Culture
Abah Ugi. Sumber: Sukabumi Culture
Bagi masyarakat Ciptagelar, pemimpin adalah simbol relasi yang terkait erat dengan pelaksanaan tradisi yang ada. Pemimpinlah yang menentukan waktu untuk melaksanakan ritual-ritual adat setelah memperoleh restu dari para leluhur, termasuk penentuan masa tanam padi hingga selesainya keseluruhan siklus. 

Pemimpin dipercaya mampu berhubungan secara alam transendetal, termasuk berhubungan dengan leluhur, ia menjalankan segala sesuatunya berasal dari restu semesta.

Adalah Ugi Sugriana Rakasiwi atau oleh masyarakat sekitar lebih akrab disapa Abah Ugi, lelaki 34 tahun yang dipercaya memimpin Kasepuhan Ciptagelar. 

Abah Ugi menjadi pemimpin sejak kepergian ayahnya, Abah Encup Sucipta (Abah Anom) pada 2007. Pemimpin bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diturunkan secara garis keturunan. Berdasarkan silsilah, Ugi adalah pemimpin kesebelas masyarakat Kampung Adat Ciptagelar.

Mengagungkan Padi

 

Tradisi Seren Taun. Sumber: pesona.travel
Tradisi Seren Taun. Sumber: pesona.travel
Padi bagi sebagian orang mungkin hanya sekadar bahan makanan pokok tetapi bagi masyarakat Ciptagelar, padi lebih berharga dari itu. Dalam sisi filosofis masyarakat adat Ciptagelar, seluruh sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. 

Sejak padi ditanam hingga padi dipanen terdapat berbagai macam ritual yang dilakukan yaitu Ngaseuk, Sapang Jadian Pare, Selamatan Pare Ngidam, Mapag Pare Beukah, Upacara Sawenan, Syukuran Mipit Pare, Nganjaran/Ngabukti dan Ponggokan dan diakhiri dengan Seren Taun sebagai wujud syukur terhadap anugerah alam.

Bagi masyarakat Ciptagelar, padi diibaratkan sebagai dewi yang bernama Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Saking berartinya nilai padi bagi mereka, padi yang dihasilkan dari kampung ini tidak pernah dijual. Selain itu, panen yang dilakukan pun hanya dilakukan setahun sekali dengan alasan bahwa tanah harus diistirahatkan. 

Setelah dipanen, padi akan disimpan di sebuah lumbung yang berbentuk rumah yang disebut leuit. Hampir seluruh kepala keluarga di Ciptagelar memiliki leuit masing-masing.

Tradisi dan Budaya

Dogdog Lojor. Sumber: Disparbud Jabar
Dogdog Lojor. Sumber: Disparbud Jabar
Seperti yang telah disebutkan bahwa begitu banyak ritual yang dilakukan oleh masyarakat Ciptagelar sebagai bentuk syukur atas hasil alam berupa padi. Hal ini telah dilakukan oleh masyarakat Ciptagelar sejak 644 tahun yang lalu (1368 M). 

Dalam ritual tersebut, setidaknya terdapat 32 rangkaian kegiatan adat selama satu siklus masa tanam padi. Pada puncak ritual, yakni Seren Taun akan ada berbagai hiburan kesenian tradisional yang ditampilkan yaitu Angklung Dogdog Lojor, Laisan, Topeng Kolot, Tari Jipeng, dan Wayang. Fakta unik dari pertunjukkan wayang yaitu dilakukan sehari semalam suntuk tanpa istirahat.

Tidak Menolak Modernisasi, Justru Menjadi Berkembang dengan Teknologi

Tempat mengudaranya CIGA TV dan RSC FM. Sumber: AyoBandung.com
Tempat mengudaranya CIGA TV dan RSC FM. Sumber: AyoBandung.com
Hal ini tidak terlepas dari peran sang pemimpin kasepuhan, Abah Ugi. Dengan latar belakang pernah berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung, Abah Ugi memberikan kontribusi nyata dari apa yang pernah ia pelajari – meski tidak sampai mendapat gelar sarjana. Ia yang telah membuat listrik mengalir ke rumah-rumah warga dengan bantuan pembangkit listrik tenaga air berbekal pengetahuannya tentang elektronika arus lemah.

Tidak berhenti hanya pada ketersediaan listrik, terdapat stasiun TV komunitas dengan nama CIGA TV dibuat dengan frekuensi VHF 162 MHz yang dapat dinikmati oleh masyarakat Ciptagelar. CIPTAGELAR FM pun diciptakan dan mengudara dari Kasepuhan Ciptagelar. 

Selain itu karena atas peran Abah Ugi pula akhirnya masyarakat Ciptagelar bisa merasakan kecanggihan telepon seluler dan akses internet  dengan mengizinkan dibangunnya satu provider seluler untuk mendirikan pemancar di kawasan Ciptagelar. Hal ini menjadi angin segar bagi stereotipe bahwa kampung adat pasti hidup jauh dari sentuhan teknologi.

Kampung Ciptagelar menjadi bukti bahwa modernisasi dan tradisi dapat berjalan beriringan. Semoga kelestarian tradisi yang dimiliki Indonesia selalu terjaga dan mencontek dari Kasepuhan Ciptagelar, bahwa teknologi hadir bukan untuk memudarkan budaya tapi membantu memperkenalkan pada dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun