Bersaut-sautan.
Silih berganti tiada pernah berhenti.
Bila tak kudengar, mungkin dibelahan dunia lain sedang berkumandang.
.
Kaki malam mulai nampak.
Maghrib menjadi saksi.
Ketika kita ditakdirkan bertemu hanya untuk kembali saling merindu.
Maghrib adalah pertanda pertemuan harus berakhir.
Sekali atau dua kali, kita sempatkan melewati kumandang adzan bersama.
Selebihnya adalah melepas peluk dan bertukar kecup di pipi.
.
Sesekali aku benci pada waktu.
Mengapa ia berjalan begitu cepat bila kita bertemu?
Bahkan peluk pun belum menjadi hangat.
Pula keningmu yang tak sempat aku cium sebelum kau terlelap.
Tak mau kah waktu sedikit bersahabat?
.
Aku menjalani rindu yang lebih panjang daripada jalan ketempatmu.
Bahkan pertemuan kita tak selama Jogja-Jakarta.
Tapi lebih menyenangkan daripada 1000 tawa.
.
Aku ikhlas menjalani rindu.
Hingga saat nanti, aku kan menjadi imam sholat maghrib kita.
***
Gemo Gibran
(Yogyakarta, 17 Juni 2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H