Mohon tunggu...
gemogibran
gemogibran Mohon Tunggu... Penulis - Pendengar dan Penanya

Pecinta musik. Mencintai tulis-menulis. Mari bermain dengan imajinasi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maghrib

17 Juni 2023   18:32 Diperbarui: 17 Juni 2023   18:58 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bersaut-sautan.

Silih berganti tiada pernah berhenti.

Bila tak kudengar, mungkin dibelahan dunia lain sedang berkumandang.

.

Kaki malam mulai nampak.

Maghrib menjadi saksi.

Ketika kita ditakdirkan bertemu hanya untuk kembali saling merindu.

Maghrib adalah pertanda pertemuan harus berakhir.

Sekali atau dua kali, kita sempatkan melewati kumandang adzan bersama.

Selebihnya adalah melepas peluk dan bertukar kecup di pipi.

.

Sesekali aku benci pada waktu.

Mengapa ia berjalan begitu cepat bila kita bertemu?

Bahkan peluk pun belum menjadi hangat.

Pula keningmu yang tak sempat aku cium sebelum kau terlelap.

Tak mau kah waktu sedikit bersahabat?

.

Aku menjalani rindu yang lebih panjang daripada jalan ketempatmu.

Bahkan pertemuan kita tak selama Jogja-Jakarta.

Tapi lebih menyenangkan daripada 1000 tawa.

.

Aku ikhlas menjalani rindu.

Hingga saat nanti, aku kan menjadi imam sholat maghrib kita.

***

Gemo Gibran

(Yogyakarta, 17 Juni 2023)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun