Gitar terpetik merdu ditelingaku.
Melodi samar terdengar tanpa terlihat gitarnya.
Menyelinap lembut dari telinga menuju hati.
Samar namun mengaburkan mesin yang menderu kencang.
Pula suara klakson atau peluit tukang parkir.
.
Dari atas menuju Kota Lama.
Aspal menjadi karpet merah.
Lampu-lampu di pinggir jalan terlihat terbang bak kunang-kunang,
seolah tepuk tangan melihat sepasang yang mesra menunggangi roda dua.
Tak perlu kaca spion, aku tahu kau sedang tersenyum.
Dari pelukan dan kepala yang kau sandarkan dibahuku.
Menuju Kota Lama dan perjalanan yang cukup lama.
Semakin lama pula aku dihangatkan pelukanmu.
.
Kota Lama yang tua.
Belanda di sana, Belanda di sini dalam bentuk yang kokoh.
Lalu ada wanitaku, penghuni asli kota ini.
Wanita yang ayu khas Melayu.
Kota Lama yang tua, dengan aksen modern dibeberapa sisi.
Kafe-kafe kekinian tersebar dengan harganya yang mahal.
Lalu ada wanitaku, yang tumbuh di kota ini.
Wanitaku yang ayunya tetap asri, seperti pada awal aku mengenal.
.
Kita kurang kerjaan.
Hanya memutari Kota Lama; tak berhenti.
Cukup menikmati arsitektur yang indah dengan tubuh bergetar melewati konblok yang tak rata.
Seperti berada di masa kependudukan Belanda, kita memadu kasih di atas sepeda kumbang, berboncengan mesra sembari menyapa tuan dan nyonya Belanda yang berpakaian mewah.
.
Ingin aku menciummu di Kota Lama.
Namun tertahan oleh kenyataan bahwa wajahmu belum saatnya aku sentuh.
Ini Kota Lama, yang lama-lama akan menjadi kian tua.
Seperti dirimu, yang lama-lama semakin buatku jatuh cinta.
***
(Gemo Gibran)
Yogyakarta, 3 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H