Karya sastra adalah cerminan kehidupan masyarakat atau cermin suatu zaman. Kaidah Itulah yang dapat kita saksikan pada novel Guru Dane karya Salman Faris.
Diterbitkan oleh STKIP Hamzanwadi Press pertama kali pada 2010. Novel ini mengambil setting Lombok tahun 1895 sampai dengan 1920. Novel Guru Dane termasuk babon dengan 25 bab dan 458 halaman.
1895, adalah tahun berakhirnya perang Lombok. Perang Lombok merupakan perang yang mempertemukan kerajaan Mataram dengan Belanda. Sebagai pemenang perang, Belanda berhak atas Lombok, menggantikan Mataram yang sebelumnya berdaulat di tanah Selaparang, sebutan lain dari pulau Lombok.
Pada fase inilah, keadaan Lombok digambarkan dengan apik oleh Salman Faris. Kemiskinan, kelaparan dan keterbelakangan adalah situasi yang disuguhkan dari lembar ke lembar. Peperangan demi peperangan, baik dengan orang luar maupun dengan saudara sendiri adalah penyebab dari semua itu. Konflik yang berkepanjangan telah membuat orang Lombok menjadi manusia dengan mental inferior.
Seperti halnya masyarakat agraris pada umumnya. Orang Lombok pun punya mimpi akan juru selamat. Dalam kondisi tertekan dan berkubang kemiskinan, orang Lombok berharap akan hadirnya tokoh pembebas. Jika di Jawa sana, orang mengenal Ratu Adil dan Satria Piningit. Di Lombok, orang mengenal sosok Guru Dane.
Guru Dane, oleh Salman digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai mimpi membebaskan orang Lombok dari segala belenggu penderitaanya. Berbekal ilmu kebatinan yang didapat dari orang sakti. Guru Dane memposisikan dirinya sebagai Belian, sebutan pada masyarakat Sasak, untuk orang yang punya keahlian mengobati segala jenis penyakit.
Tidak itu saja, Guru Dane juga memproklamirkan dirinya sebagai seorang Guru Spiritual. Pengikutnya pun dari berbagai kalangan dan kelompok. Dari suku Bali sampai dengan Sasak. Dari pemuka masyarakat sampai warga golongan rendah.
Keberadaan Guru Dane sebagai Belian dan Guru Spiritual adalah by desain. Ia bersekongkol dengan Ketut Kolang, seorang Bali yang digambarkan sebagai tokoh berpengaruh dan punya watak oportunis. Melalui pengaruhnya, Guru Dane diciptakan menjadi sosok yang istimewa. Lewat kaki tanganya, kehebatan Guru Dane ia kabarkan setiap saat. Pada mulanya, kehebatan Guru Dane tersebar di kalangan Bali, namun lambat laun, kehebatan Guru Dane juga sampai di telinga orang Sasak.
Rumah Guru Dane, akhirnya tidak pernah sepi dari orang yang datang berobat. Tidak saja berobat, orang dengan berbagai persoalan hidup juga datang menghadap. Ratusan bahkan ribuan orang datang setiap harinya. Guru Dane tidak pernah meminta bayaran, namun, orang yang datang selalu menyelipkan uang atau barang lainya.
Uang dan barang yang diberikan secara suka rela inilah, oleh Guru Dane diberikan ke Ketut Kolang. Rupanya antara Guru Dane dan Ketut Kolang telah terjalin kesepakatan. Kelak jika waktunya telah tiba, Ketut Kolang akan membantu segala keperluan perjuangan Guru Dane.
Dalam kehidupanya, Guru Dane, diceritakan memiliki seorang anak angkat bernama Sumar. Sumar kecil ia temukan di pinggir parit dekat desa Puyung. Orang tua Sumar dulunya seorang pandai besi. Dan diceritakan tewas saat terjadi congah Praya tahun 1891.
Hubungan antara Sumar dan Guru Dane, merupakan arus utama dari novel ini. Konflik antara mereka digambarkan dari bab ke bab. Perang batin Sumar terhadap Guru Dane disajikan dengan runut oleh Salman.
Sumar yang sedari kecil diasuh oleh Guru Dane menemukan kenyataan yang berbeda saat ia tumbuh dewasa. Antara patuh terhadap Guru Dane sebagai bentuk bakti dan balas budi, berperang dengan kenyataan bahwa ia tidak setuju dengan segala usaha yang dilakukan Guru Dane.
Antara Sumar dan Guru Dane, memiliki pandangan yang berbeda dalam cara membebaskan orang Lombok dari penderitaanya. Guru Dane menawarkan mimpi dan menjual kejayaan masa lalu Selaparang. Ia mengklaim diri sebagai raja Selaparang. Olehnya, jika saatnya telah tiba, ia akan membawa kemakmuran bagi bangsa Sasak seperti pada masa jaya Selaparang dahulu.
Untuk melegitimasi itu, ia diceritakan melakukan perjalanan ke gunung Rinjani untuk menemui Dewi Anjani. Dewi Anjani sendiri bagi orang Lombok adalah sosok astral penguasa tanah Lombok. Setelah melakukan persetubuhan dengan Dewi Anjani. Guru Dane mengklaim dirinya mendapat mahkota dan mengangkat diirinya sebagai raja Selaparang dengan gelar Datu Selaparang Nurlimbu Dusta Pendita Dewa Mas Panji Kimalan.
Beda halnya dengan Sumar, ia yang sedari umur kanak kanak sampai usia dewasa mengikuti Guru Dane, memandang, orang Sasak akan terbebas dari penderitaanya, jika orang Sasak berusaha sendiri. Nasib orang Sasak ditentukan oleh dirinya sendiri. Kesadaran kelas, begitulah kira kira yang dipahami Sumar. Ia tidak setuju dengan mimpi mimpi Guru Dane, terutama persekongkolanya dengan Ketut Kolang.
Pun dengan spiritual, Sumar berbeda dengan Guru Dane. Sumar mengkritik gaya spiritual Guru Dane. Kritik ia tujukan pada sikap Guru Dane yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, terutama birahinya terhadap perempuan. Sumar sendiri, dalam perjalanan spritualnya, memilih jalan sunyi dan dikemudian hari diceritakan menggapai puncak makrifat.
Relasi antara orang Bali dengan Sasak juga digambarkan dengan baik oleh Salman. Tokoh tokoh seperti Lehok (Sasak), Putu Sunarie (Bali) dan Made Sudase (Bali) adalah tokoh tokoh yang menceritakan hubungan itu.
Bagi Salman, akhir perang 1894 tidak memiliki dampak apapun bagi Lehok dan Made Sudase. Dua orang ini adalah gambaran dari kelompok bawah kaum Sasak dan Bali. Di Bali, Made Sudase adalah cerminan dari kelompok Sudra, dan di Sasak, Lehok adalah cerminan kelompok Jajar Karang. Dua kelompok masyarakat bawah ini sebenarnya tidak pernah terlibat konflik. Hanya karena elit elit sajalah, mereka ikut ikutan berperang. Pada masanya, dua kelompok ini, hidup secara berdampingan. Lehok dan Made Sudase adalah pengikut setia Guru Dane.
Perang 1894 justru menguntungkan bagi elit dan bangsawan. Di Sasak, bangsawan menguasai hampir seluruh tanah persawahan. Penggarap tanah bangsawan ini adalah orang yang senasip dengan Lehok. Di Bali, para pedagang lah yang justru mendapat keuntungan dari akhir perang. Dengan keahlian lobi dan suap menyuap pada pejabat Belanda, bersama dengan etnis Tionghoa, etnis Bali tampil sebagai pengendali ekonomi Lombok. Peran pedagang Bali yang sukses dan ahli lobi ini, oleh Salman digambarkan pada tokoh Putu Sunarie.
Made Sudase pada keadaan tertentu, sangat membenci sikap sebagian kelompok Balinya yang menurutnya, sering memanfaatkan keluguan orang Sasak. Kebencian Made Sudase ini, Salman gambarkan pada sebuah moment, saat Made Sudase harus bertarung dengan orang dari kelompoknya sendiri. Ia bertarung dengan Ketut Kolang. Ketut Kolang yang oportunis dan mengkhianati Guru Dane akhirnya tewas di tangan Made Sudase.
Keberadaan Guru Dane yang begitu dihormati oleh kalangan bawah orang Sasak dan Bali, membuat gerah dan resah kelompok yang mendaku diri sebagai bangsawan Sasak. Bagi kelompok ini, Guru Dane telah merusak status quo mereka. Mereka ini, yang sebelum kehadiran Guru Dane, Â bagitu dihormati oleh rakyatnya. Namun, sejak kesohoran Guru Dane merebak di seantero Lombok. Pamor dan pengaruh mereka mulai memudar.
Atas dasar itulah, para bangsawan Sasak ini berupaya menjegal setiap langkah yang dilakukan Guru Dane. Dengan relasi mereka yang dekat dengan pejabat Belanda. Kelompok ini mengabarkan pada Belanda, bahwa Guru Dane sedang membangun kekuatan untuk melawan pemerintahan Belanda.
Belanda pun merespon dengan menangkap dan memenjarakan Guru Dane. Tercatat dua kali Guru Dane ditangkap dan dipenjarakan.
Guru Dane, dalam realitas sejarah adalah tokoh nyata yang pernah hidup di gumi Lombok. Kisah hidupnya, pernah disinggung oleh Van Der Kraan dalam Lombok, Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940.
Kraan menulis, Guru Dane adalah tokoh yang lahir pada sekitar tahun 1870 dan disebut berasal dari Kuripan. Lebih jauh, Kraan menggambarkan, gerakan Guru Dane sebagai sebuah gerakan Datu Datuan. Ia menyamakan gerakan Guru Dane ini dengan gerakan Datu Datuan lainya.
Ada tiga gerakan Datu Datuan yang menurut Kraan, bercorak sama dengan gerakan Datu Datuanya Guru Dane.
Pertama, di tahun 1910, seorang Sudra di Cakranegara mengabarkan ke seluruh rakyat Lombok, bahwa putra mahkota Mataram, Anak Agung Ketut Karangasem, telah hidup kembali, ia menjelma menjadi burung Garuda. Dan bersama sama dengan rakyat Sakra dan Praya, Ketut akan membebaskan rakyat Selaparang dari penjajahan Kompeni/Belanda.
Kedua, pada 1920, di Sakra, seorang perempuan yang mengaku sebagai Dewi Anjani, telah menjanjikan rakyat Sasak, setelah ia resmi dinobatkan menjadi Ratu. Ia akan mengembalikan kejayaan Selaparang dan mengusir Belanda dari tanah Lombok.
Ketiga, pada 1927, di Jonggat, seorang petani bernama Amaq Sumikir, memproklamirkan dirinya sebagai Jayeng Rana. Dengan senjata saktinya yang bernama pelor emas (mimis mas), ia berjanji akan mengusir Belanda dari gumi Lombok.
Pada penangkapan Guru Dane yang kedua di desa Anjani. Guru Dane dikabarkan tertembak di kakinya. Ia diseret di sepanjang jalan. Di Cakranegara ia akhirnya ditawan dan dipenjara.
Pada persidanganya yang terbuka untuk umum. Sumar tampil sebagai saksi kunci. Semua pertanyaan hakim ia jawab dengan baik. Guru Dane akhirnya dijatuhi hukuman bersalah. Ia harus diasingkan ke luar Lombok.
Pada Januari 1918, sebuah kapal uap mengantarkan Guru Dane ke pengasinganya. Buleleng adalah daerah yang diputuskan sebagai tempat untuk mengasingkan Guru Dane.
Pengasingan Guru Dane adalah kemenangan bangsawan Sasak. Kelompok ini, kini bebas melanjutkan status quonya. Tidak ada lagi yang mengganggu pengaruh dan kehormatan mereka. Guru Dane sang pembawa mimpi kebebasan tidak ada kabar beritanya.
Bagi para pencinta sejarah Lombok, novel ini sudah sepatutnya dibaca. Selain sebagai penambah kekayaan khasanah berpikir tentang sejarah Lombok. Lewat novel ini, kita juga punya sudut pandang lain dalam memandang Lombok pada masa lampau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H