Hubungan antara Sumar dan Guru Dane, merupakan arus utama dari novel ini. Konflik antara mereka digambarkan dari bab ke bab. Perang batin Sumar terhadap Guru Dane disajikan dengan runut oleh Salman.
Sumar yang sedari kecil diasuh oleh Guru Dane menemukan kenyataan yang berbeda saat ia tumbuh dewasa. Antara patuh terhadap Guru Dane sebagai bentuk bakti dan balas budi, berperang dengan kenyataan bahwa ia tidak setuju dengan segala usaha yang dilakukan Guru Dane.
Antara Sumar dan Guru Dane, memiliki pandangan yang berbeda dalam cara membebaskan orang Lombok dari penderitaanya. Guru Dane menawarkan mimpi dan menjual kejayaan masa lalu Selaparang. Ia mengklaim diri sebagai raja Selaparang. Olehnya, jika saatnya telah tiba, ia akan membawa kemakmuran bagi bangsa Sasak seperti pada masa jaya Selaparang dahulu.
Untuk melegitimasi itu, ia diceritakan melakukan perjalanan ke gunung Rinjani untuk menemui Dewi Anjani. Dewi Anjani sendiri bagi orang Lombok adalah sosok astral penguasa tanah Lombok. Setelah melakukan persetubuhan dengan Dewi Anjani. Guru Dane mengklaim dirinya mendapat mahkota dan mengangkat diirinya sebagai raja Selaparang dengan gelar Datu Selaparang Nurlimbu Dusta Pendita Dewa Mas Panji Kimalan.
Beda halnya dengan Sumar, ia yang sedari umur kanak kanak sampai usia dewasa mengikuti Guru Dane, memandang, orang Sasak akan terbebas dari penderitaanya, jika orang Sasak berusaha sendiri. Nasib orang Sasak ditentukan oleh dirinya sendiri. Kesadaran kelas, begitulah kira kira yang dipahami Sumar. Ia tidak setuju dengan mimpi mimpi Guru Dane, terutama persekongkolanya dengan Ketut Kolang.
Pun dengan spiritual, Sumar berbeda dengan Guru Dane. Sumar mengkritik gaya spiritual Guru Dane. Kritik ia tujukan pada sikap Guru Dane yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, terutama birahinya terhadap perempuan. Sumar sendiri, dalam perjalanan spritualnya, memilih jalan sunyi dan dikemudian hari diceritakan menggapai puncak makrifat.
Relasi antara orang Bali dengan Sasak juga digambarkan dengan baik oleh Salman. Tokoh tokoh seperti Lehok (Sasak), Putu Sunarie (Bali) dan Made Sudase (Bali) adalah tokoh tokoh yang menceritakan hubungan itu.
Bagi Salman, akhir perang 1894 tidak memiliki dampak apapun bagi Lehok dan Made Sudase. Dua orang ini adalah gambaran dari kelompok bawah kaum Sasak dan Bali. Di Bali, Made Sudase adalah cerminan dari kelompok Sudra, dan di Sasak, Lehok adalah cerminan kelompok Jajar Karang. Dua kelompok masyarakat bawah ini sebenarnya tidak pernah terlibat konflik. Hanya karena elit elit sajalah, mereka ikut ikutan berperang. Pada masanya, dua kelompok ini, hidup secara berdampingan. Lehok dan Made Sudase adalah pengikut setia Guru Dane.
Perang 1894 justru menguntungkan bagi elit dan bangsawan. Di Sasak, bangsawan menguasai hampir seluruh tanah persawahan. Penggarap tanah bangsawan ini adalah orang yang senasip dengan Lehok. Di Bali, para pedagang lah yang justru mendapat keuntungan dari akhir perang. Dengan keahlian lobi dan suap menyuap pada pejabat Belanda, bersama dengan etnis Tionghoa, etnis Bali tampil sebagai pengendali ekonomi Lombok. Peran pedagang Bali yang sukses dan ahli lobi ini, oleh Salman digambarkan pada tokoh Putu Sunarie.
Made Sudase pada keadaan tertentu, sangat membenci sikap sebagian kelompok Balinya yang menurutnya, sering memanfaatkan keluguan orang Sasak. Kebencian Made Sudase ini, Salman gambarkan pada sebuah moment, saat Made Sudase harus bertarung dengan orang dari kelompoknya sendiri. Ia bertarung dengan Ketut Kolang. Ketut Kolang yang oportunis dan mengkhianati Guru Dane akhirnya tewas di tangan Made Sudase.
Keberadaan Guru Dane yang begitu dihormati oleh kalangan bawah orang Sasak dan Bali, membuat gerah dan resah kelompok yang mendaku diri sebagai bangsawan Sasak. Bagi kelompok ini, Guru Dane telah merusak status quo mereka. Mereka ini, yang sebelum kehadiran Guru Dane, Â bagitu dihormati oleh rakyatnya. Namun, sejak kesohoran Guru Dane merebak di seantero Lombok. Pamor dan pengaruh mereka mulai memudar.