Namun, nyatanya si anak tidak pernah saya tekan harus juara. Semester lalu, dia bangga sekali mendapat rangking 6. Reaksi saya? Tentu saja senang. Melihatnya punya rasa percaya diri dan adalah ketua kelas yang dicintai teman-temannya, bagi saya ini merupakan prestasi yang sebenarnya.
Lagi lagi, itu tidak terjadi. Rasa takut hanya akan membuatnya menjauh. Kalau sudah begini, akan sulit mengarahkannya. Saya lebih memilih membuatnya nyaman ada di dekat saya. Selain ada kemelekatan (engagement), saya percaya rasa hormat akan mudah didapatkan.
Saya lebih memilih dia tumbuh menjadi pribadi yang penuh kasih sayang. Saya yakin, suatu saat nanti dunia ini lebih membutuhkan orang baik yang mengasihi sesama daripada orang pintar dan hebat.
Sebagai orang tua, sering kali kita ingin anak kita begini, ingin mereka begitu. Kita berpikir, adalah sebuah hak untuk menentukan bagaimana anak-anak harus menjalankan hidup mereka. Kita berpikir, kita sepenuhnya punya hak terhadap anak-anak kita. Apalagi mengingat bagaimana kita membesarkannya, penuh pengorbanan dan mungkin air mata. Kondisi tidak selalu sempurna.Â
Namun...
Bukankah anak adalah titipan? Dan bukankah apapun yang dititipkan mesti wajib dijaga? Sekali lagi wajib dijaga. Adalah kewajiban (bukan hak) kita untuk menjaganya, memastikannya tumbuh seperti apa yang sudah ditentukan oleh Beliau yang menitipkannya pada kita.
Dan, anak saya ini, dia boleh tumbuh seperti apa yang Beliau sudah tentukan. Dia bebas tumbuh sesuai minat dan bakatnya. Dia bebas menentukan pilihan hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H