Mohon tunggu...
Gede Udiastama M
Gede Udiastama M Mohon Tunggu... Pegawai Hotel -

Pria yang menyukai kata kata: tiada hari tanpa belajar, semua orang adalah guru, semua tempat adalah ruang kelas. Bekerja sebagai Learning & Development Manager di sebuah hotel bintang lima di Bali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dibalik Tewasnya Amokrane dan Seorang Polisi

2 Mei 2016   21:14 Diperbarui: 3 Mei 2016   19:09 3096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi Amokrane sebelum tewas. Sumber: bintang.com


Hari ini, Senin, 2 Mei 2016, Desa Canggu, Bali heboh. Seorang bule yang di cap pembuat onar, tewas didor polisi. Cerita ini bertambah tragis karena sebelum tewas, si Amokrane, begitu dia dikenal, telah menghabisi nyawa seorang polisi. Delapan hujaman pisau menembus tubuh sang penegak keadilan.

Beritanya begitu cepat tersebar. Gambar dan video aksi penembakan sudah di share sosial media. Caption terbanyak yang terpampang adalah amarah.

Amarah!

Amokrane, si bule prancis, sepertinya penuh dengan amarah. Jiwa yang tenang takkan membuat onar dan meresahkan warga.

Warga pun lama-lama jadi ikut marah. Facebook menjadi saksi, begitu banyaknya cacian yang ditujukan pada pria mantan atlet MMA ini. Kemarahan ini pun akhirnya tercatat sebagai sebuah laporan kepada pihak kepolisian.

Menindak-lanjutinya, polisi mendatangi rumah si pria gempal ini. Amarahnya pun tersulut lagi. Dengan singkat dia menghujam sebilah pisau ke badan seorang polisi.

Kesabaran bapak-bapak perwira pun habis, peluru panas secepat kilat menembus otot-otot kekar termasuk tengkorak kepalanya. Amokrane menuju tanah lalu membeku.

Amarah. Ia lah yang berada di balik kisah tragis ini. Ia mengalahkan akal sehat, membutakan nurani. Dengan tewasnya si pembuat onar nan pemarah, sudahkah amarah berakhir? 

Belum! Dia masih hidup, dan tampaknya belum akan menghilang. Tentu bisa dipahami ia kini menyelimuti keluarga polisi yang menjadi korban.

Di sisi lain, amarah pun masih tumbuh di hati mereka yang membenci si bule sejak awal. Makian masih mendominasi kata-kata seakan akan lupa, sebenarnya yang membuat semua ini terjadi adalah amarah.

Jika merasa lebih baik dari si pemarah Amokrane, tidakkah seharusnya bukan amarah yang ditunjukan? Jika mampu menahan diri, amarah teredam, itu baru bisa dibilang ada perbedaan dengan si pemarah Amokrane.

Sudahlah..
Sudahlah..

Amarah selain menyebabkan amarah baru, dua nyawa yang sudah melayang adalah saksi beku, betapa kondisi ini sama sekali tidak lebih baik. Setidaknya untuk mereka yang ditinggalkan bapak polisi.

RIP Bapak Polisi AA Putu Sudi. Tanpa amarah, doa kupanjatkan agar engkau diterima di sisi-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun