Mohon tunggu...
G.B. Suprayoga
G.B. Suprayoga Mohon Tunggu... Ilmuwan - A PhD in spatial and transport planning; an engineer in highway construction; interested in enhancing sustainable road transport; cycling to work daily

Writing for learning and exploring

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Tangan-Tangan yang Bersembunyi", Refleksi Satu Dekade Pembangunan Infrastruktur

11 Februari 2024   08:00 Diperbarui: 11 Februari 2024   08:08 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kalanya, pembangunan tidak mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan secara cermat. Degradasi lingkungan yang pesat menyulitkan pemulihan adan tidak memungkinkan kembalinya kondisi ekosistem. Konflik sosial yang terjadi karena pemindahan paksa komunitas menjadi biaya sosial yang akan ditanggungkan melintasi generasi. Menurunnya aktivitas ekonomi pada wilayah lain karena pembangunan jalan baru menciptakan kesenjangan dan ketidakpuasan.

Sebagian proyek mengalami pembengkakan biaya mencapai lebih dari 15% dari taksiran awal. Sebagai contoh kereta cepat Jakarta-Bandung mengalami pembengkakan biaya 16,7% atau sekitar Rp. 18 triliun. 

Proyek infrastruktur juga menyebabkan hubungan relasional yang rumit antara pelaksana dan pemasok material, yang berkontribusi terhadap kesinambungan pembangunan. Pengembalian investasi melalui melalui subsidi pada saat proyek sudah selesai menunjukkan perencanaan awal yang tidak matang. Ambisi politik atau ketidaktahuan yang disengaja bisa berdampak terhadap citra kepemimpinan dan birokrasi yang dianggap tidak cakap.

Merefleksikan Pembangunan Infrastruktur: Perlunya Timbangan Teknokratis dan Psikologis Politik

Tulisan ini tidak ditujukan untuk secara komprehensif menemukan kesalahan perencanaan pembangunan di Indonesia. Meskipun kesalahan tersebut ada dan dapat dicari, perbaikannya belum tentu membuahkan hasil dari aspek teknokratis yang dapat dipelajari dengan cepat oleh para insiyur dan perencana. Perilaku pengambil keputusan atau politisi yang menjadikan “tangan-tangan yang bersembunyi” mengambil peran dominan bisa jadi adalah persoalan utama untuk dipecahkan.

Pertama, intuisi yang digunakan pengambil keputusan tidak dapat mendahului rasio. Setiap keputusan publik membutuhkan masukan dari berbagai perspektif dan terdapat upaya untuk meminimalkan bias kepentingan, termasuk ambisi politik, apabila sumber daya dan kepentingan yang lebih besar dipertaruhkan. Pertimbangan yang lebih rasional akan meredam penggunaan intuisi yang berlebihan. Menjalankan proyek pembangunan bukan masalah berani atau tidak melainkan kematangan dalam nalar atau rasio melebihi keinginan atau ambisi.

Kedua, cepat atau lambat ambisi para pengambil keputusan akan berhadapan dengan realitas konteks kapan dan di mana pembangunan berlangsung. Sumber daya yang dapat dimobilisasi seringkali terbatas, seperti anggaran publik dan sumber daya manusia terampil atau ahli. Tanpa mempertimbangkan biaya kesempatan untuk mengerjakan berbagai proyek, maka proyek yang sebetulnya memiliki nilai manfaat yang besar akan dengan mudah dikesampingkan karena tujuan diarahkan untuk meningkatkan profil politik.

Ketiga, informasi yang dimiliki untuk mengambil keputusan atas suatu proyek umumnya tidak lengkap. Kualitas informasi pun menjadi hambatan untuk menjamin akurasi apakah proyek dapat berjalan sesuai dengan rencana biaya dan waktu serta mendapatkan manfaat yang diharapkan. Manusia diberikan dua sistem berpikir. Kesatu adalah yang menyebabkan ia dapat berpikir dengan efisien (disebut sistem 1) dengan ciri tanpa pikir panjang serta untuk pertahanan akan bahaya. Sistem kedua adalah sistem berpikir reflektif untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan implikasi secara matang. Urusan publik seharusnya mendasarkan pada sistem kedua untuk menghindari bias, stereotip, atau keputusan yang didasarkan ketidaktahuan (ignorance).

Secara psikologis, bias optimisme adalah kondisi psikologis yang dialami oleh siapa saja. Menyadari keberadaan bias ini adalah langkah awal untuk tidak mudah terjebak dalam proyek yang akan menghabiskan sumber daya yang sangat besar bagi generasi-generasi mendatang. Dekade pembangunan infrastruktur di Indonesia menunjukkan bagaimana “tangan-tangan yang bersembunyi” telah mengambil sebagian masa depan sosial dan lingkungan, dengan manfaat ekonomi yang masih diperdebatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun