Mohon tunggu...
gedeagussiswadi
gedeagussiswadi Mohon Tunggu... Penulis - Writer, Researcher, Teacher

Nama: Gede Agus Siswadi TTL : Balirejo, 16 Agustus 1997 Hobi : Menulis, membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen

20 Mei 2020   18:58 Diperbarui: 20 Mei 2020   19:02 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IMPIANKU DIRENGGUT COVID-19

Hampir empat tahun sudah aku menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi negeri di Bali. Bayanganku yang segera ingin lulus dan segera diwisuda sudah lama aku nantikan. Hal yang sudah menjadi target bahwa Mei 2020 aku harus sudah diwisuda, dengan mengenakan pakaian kebesaran sebagai seorang mahasiswa serta menyatakan ke orangtua kalau aku sudah sarjana, dan segera ingin mencari pekerjaan. Akan tetapi semua yang aku harapkan hanya menjadi sebuah kenangan yang belum terwujud.

“Hemmm…” Pikirku sejenak ketika mengingat apa yang terjadi saat ini.

“Heiiii…..kenapa kamu melamun….? Ngomong-ngomong kapan nih kamu sidang skripsi ….? tanya seniorku Andre.

“Sidang apaan….!! Aku belum buat apa-apa…proposalku saja masih belum di Acc, semua karena maraknya virus corona, bertemu dosen untuk bimbingan aku belum bisa, kampus di tutup, dan semua dialihkan untuk beraktivitas di rumah, yaaa mau gimana lagi…..?” sahutku dengan nada kesal.

“Yaaa, sabar saja kawan…. Kita harus mengikuti anjuran pemerintah, agar penyebarannya bisa teratasi dengan efektif dan cepat,” hibur Andre sembari memegang pundakku.

“Iyaa…. Tapi sampai kapan…?, gelombang pertama untuk wisuda sudah tidak mungkin aku lalui, “tanyaku cemas.

“Yahh, kita sekarang cuma bisa berdoa saja, agar wabah ini bisa dengan cepat teratasi, dan tentunya kamu harus segera memperbaiki proposalmu, agar ketika nanti kamu bimbingan, kamu tinggal memperbaiki lebih sedikit koreksian dari dosen pembimbingmu,” jawab Andre sembari menasehatiku.

Selama dua minggu itu, aku memaksimalkan segala usaha dan doa. Tak jarang aku terus berkutat dengan rangkaian kalimat untuk sebuah proposal penelitian hingga larut malam, dan bangun dini hari, agar aku segera menyelesaikan tugas dan kewajibanku sebagai mahasiswa semester akhir. Semua itu aku lakukan karena aku tahu, semua ini tentang masa depanku.

Seketika aku merenung, karena kejenuhan berada di rumah, tidak bisa mencari sumber bacaan serta masih kekurangan data untuk melengkapi rancangan penelitianku. Ingin ke luar akan tetapi aku masih mengingat himbauan untuk tidak boleh keluar rumah, aku hanya memikirkan kenapa seolah-olah aku seperti burung dalam sangkar, yang tidak bisa kemana-mana. Aku terus mengikuti informasi perkembangan wabah Covid-19 ini baik di media sosial maupun televisi yang menginformasikan keadaan semakin mencekam karena sudah mulai banyak orang yang sudah positif terjangkit virus yang berbahaya itu.

Aku semakin cemas, ditambah lagi sebagian teman-temanku mengirimkan keberhasilannya yang sudah dinyatakan Acc untuk sidang skripsi, serta SK ujiannya sudah terbit dan akan siap untuk sidang skripsi minggu depan, sedangkan aku jangankan skripsi, bimbingan proposal saja belum.

Keesokan paginya aku nekat untuk menghubungi dosenku serta meminta agar bisa bimbingan, agar aku mengetahui langkahku mau kemana, yang semulanya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Aku memulai obrolan dengan dosenku dengan kata-kata yang sudah berjam-jam aku susun agar dosenku iba dan menaruh simpati padaku. Dua jam setelah itu pesan singkatku melalui whatsApp dibalas oleh beliau “silahkan datang ke rumah dan bawa proposalmu”, dengan menyertakan alamat rumah, sesudah membaca pesan singkat itu, aku bernafas lega dan buru-buru meng-print proposal penelitian untuk skripsiku nanti.

Setelah semuanya siap, aku langsung bertolak ke rumah dosenku sesuai dengan alamat yang diberikan, dan sambil membawa motor aku sambil berdoa.

“Ya Tuhan, semoga langsung di Acc.” Harapanku dalam hati

Aku yakin, apa yang dipikirkan dengan kuat, maka itu akan terjadi. Sesampainya aku di rumah dosenku, aku kembali menghubungi beliau. Dan dosenku ini memang terkenal killer, susah tamat mahasiswanya kalau dibimbing oleh beliau, karena terlalu kritis dan suka mencorat-coret. Bahkan aku dengar-dengar, banyak mahasiswanya yang menangis karena beliau. Aku mulai deg-degan berada di depan rumah beliau.

Aku mendengar telapak kaki yang turun dari tangga (rumahnya ini bertingkat), dan membuka pintu gerbang rumahnya,

 “silahkan masuk,” sapa dosenku yang sambil mengenakan masker hitam dengan membawa cairan disinfektan dan menyemprotkan pintu gerbangnya, yang seakan-akan aku mengajak pasukan virus. Hehehe, tapi ini memang penting untuk perlindungan diri.

Tanpa basa-basi yang terlalu lama, dosenku langsung meminta, “mana proposalmu….?”.

“Oh iya ini pak,” sambil mengambil proposal penelitianku dalam tas.

“Silahkan diperiksa bapak,” pintaku merunduk sambil bernada halus, agar ada rasa kasihannya.

Dengan membawa pulpen hitamnya, dosenku langsung membuat garis-garis yang melintang sana-sini, belum lagi catatan-catatan yang menggantung begitu saja semacam kerusuhan pilpres kemarin. Aku semakin merunduk, bahkan aku berpikir aku harus bergulat untuk bisa membaca tulisan beliau.

“Aihhh pokoknya I Love You bapak,” gumamku sambil menggerak-gerakkan bola mataku.

 “selesaikan dalam waktu tiga hari, dan kita tidak bisa bertemu di kampus karena himbauan pemerintah saat ini, kalau kamu mau silahkan datang saja ke rumah untuk bimbingan”, tegas dosenku sambil menutup pulpennya yang baru saja menerjang proposalku.

“Baik pak, terimakasih pak karena sudah mengizinkan saya untuk datang ke rumah.

Aku pulang dengan membawa segudang coretan. Yahhh, memang lumayan jauh rumah dosenku dengan rumahku, tapi aku tetap lakukan karena memang mendesak bagiku. Sesampainya aku di rumah, aku segera membuka laptopku dan kembali merevisi apa yang sudah menjadi catatan untuk aku kerjakan dan perbaiki.

Tiga hari kemudian, aku kembali mengunjungi rumah dosenku, berharap beliau akan memberikan lampu hijau dan memberikan aku tiga huruf, yaitu Acc untukku. Mana tahu beliau iba kepadaku dengan wajahku yang mulai kusam dan awud-awudan, pupil mata yang sudah mulai menghitam seperti Panda akibat begadang. Siapa tahu juga beliau memberikan dispensasi untukku tidak perlu ujian dan langsung yudisium.

“Hehhehe mustahil !” Tetapi jawaban beliau masih tetap sama, REVISI !, semacam kata revisi itu melekat benar di mulutnya.

Malam itu aku langsung berkutat hendak menyelesaikan proposal penelitianku, hingga aku berharap aku menyelesaikan apa yang menjadi catatan oleh dosen pembimbingku, aku bisa menyelesaikannya dalam satu malam. Yahh, mungkin aku terlalu terobsesi dengan ceritanya Roro Jonggrang ketika itu Bandung Bondowoso bisa menyelesaikan seribu candi dalam waktu semalam karena ingin mempersunting wanita cantik jelita yang bernama Roro Jonggrang tersebut. Hingga akhirnya aku bisa tembus semalam untuk meyelesaikannya apa yang dikoreksi oleh dosen pembimbingku, serta aku putuskan untuk kembali bimbingan agar hari itu juga kata Acc dari dosen pembimbingku yang terkenal killer itu aku peroleh.

Ternyata ekspektasiku tidak sesuai dengan realita yang ada, karena cuaca sedang tidak bersahabat denganku, pagi itu hujannya sangat deras bahkan sampai seharian penuh hujan.

“Busettt, kok hujan yaa?”, tanyaku dalam hati. Padahal aku harus pergi bimbingan sekarang, tapi tidak mungkin juga aku nekat hujan-hujanan ke rumah dosenku, hingga aku putuskan untuk besok pagi aku bimbingan dengan dosen pembimbingku.

Keesokan paginya aku bersemangat untuk bimbingan, karena aku ingin memastikan apakah hari ini aku akan mendapatkan Acc dari dosenku atau malah revisi lagi. Dengan penuh harap aku kembali menghubungi dosenku melalui pesan singkat di whatsApp, hingga akhirnya aku diijinkan lagi untuk datang ke rumah dosenku. Sesampainya aku di rumah beliau, aku langsung memberikan revisian proposalku sesuai dengan apa yang diarahkan. Pembimbingku hening sejenak sembari membuka lembaran demi lembaran proposalku.

“Kamu bisa saja bapak Acc sekarang, tapi tidak memungkinkan juga untuk melakukan penelitian, karena objek penelitian di sekolah, dan sekolah masih tutup”, kata dosenku pedas.

“Terus saya harus bagaimana bapak”….? Tanyaku sambil meminta petunjuk,

“Yaa… kamu harus menunggu sekarang agar wabah virus corona ini cepat segera teratasi dan mulai kembali sekolah, atau kamu kalau mau silahkan ganti judul dengan tidak menggunakan sekolah sebagai objek penelitianmu”, jawab dosenku cetus.

Semua ini karena merebaknya virus corona, apa yang menjadi targetku belum bisa aku gapai. Aku hanya bisa bersabar dan menerima semuanya, karena tidak mungkin lagi aku memutar balik dan merubah judul proposal penelitianku. Aku hanya bisa berdoa semoga wabah ini cepat berlalu, sehingga aku bisa dengan cepat melaksanakan penelitian untuk skripsi tugas akhirku sebagai mahasiswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun