Polemik penenggalaman kapal yang santer diberitakan beberapa hari ini, "digoreng-goreng" bak koki oleh para awak media untuk kemudian disuguhkan kepada para pembaca Indonesia yang haus akan konflik dan kontroversi.
Isunya dikemas layaknya drama infotainment: Luhut meminta penenggelaman dihentikan, Susi menolak atas alasan konstitusi, JK mendukung Luhut. dan Pakde Jokowi yang bijaksana menengahi. Terakhir kali anggota DPR malah ikut-ikutan nimbrung.
Bukan hanya pejabat-pejabat yang terkesan gaduh. Masyarakat juga tidak mau kalah. Ada yang pro-Luhut yang setuju dengan alasan ekonomis dan ketidakmubadziran, ada yang Pro-Susi dengan argument kedaulatan dan harga diri bangsa.
Ada yang minta Susi dicabut, ada yang minta Luhut ditenggelamkan. Awak media tidak luput dari fenomena ini, langsung menggoreng lagi isu dengan sudut pandang opini masyarakat.
Isu ini berakhir dengan mengambil kubu. Kubu Susi atau Kubu Luhut. Haruskah begitu?
Berita-berita yang disiarkan hanya menonjolkan konflik individu tapi tidak dikupas mengapa konflik itu bisa terjadi dan apa dasarnya. Apakah Susi dan Luhut berbicara dalam bahasa yang sama, framework yang sama? Pembahasan-pembahasan ini yang luput disingkap, sehingga kita tidak dapat melihat inti dari permasalahannya secara menyeluruh.
Permasalahan sektor perikanan Indonesia
Bila kita perhatikan lebih seksama pada pernyataan-pernyataan yang dilontarkan terkait dengan isu ini kita bisa menemukan beberapa hal yang mengganjal dan mungkin dapat mengindikasikan permasalahan-permasalahan sektor perikanan serta maritim di Indonesia.
Pertama, kapal-kapal yang ditenggelamkan adalah kapal asing yang secara ilegal memasuki wilayah perairan Indonesia untuk mengambil sumber daya laut kita. Menurut Luhut, seharusnya kapal-kapal ini bisa dimanfaatkan untuk diberikan ke nelayan sehingga mereka bisa melaut dan meningkatkan ekspor perikanan Indonesia.
Bukankah janggal bila kapal-kapal asing yang digunakan secara ilegal untuk mengambil ikan di wilayah orang lain apakah mungkin dengan niatan seperti itu kapal-kapal dan teknologi penangkapan ikan yang menyertainya itu mempertimbangkan keberlanjutan laut Indonesia?
Apakah secara implisit Luhut menganggap bahwa tidak apa menggunakan segala cara selama ekspor perikanan Indonesia meningkat?
Kapal-kapal yang pernah ditenggelamkan oleh Susi selama ini adalah kapal-kapal besar berukuran lebih dari 30 GT dan tidak sedikit diantaranya masih menggunakan alat penangkapan ikan yang membahayakan berbagai spesies laut seperti pukat dan bahkan bahan peledak.
Kedua, pernyataan tersebut seakan menyiratkan nelayan di Indonesia begitu defisit sarana seperti kapal. Padahal, ribuan kapal-kapal nelayan yang berukuran 6-30 GT menganggur dan tidak bisa melaut karena masalah tentang izin, bahan bakar, serta modal melaut yang tidak mencukupi.
Misalnya, pada bulan April 2017 kemarin, diberitakan sekitar 100 unit lebih kapal menganggur di Indramayu karena tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).
Pengurusan SIPI yang cukup lama menjadi salah satu alasan hingga saat ini banyak nelayan yang tidak bisa melaut. Lamanya proses pembuatan SIPI tak lepas dari prosedur yang harus dilaksanakan di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta. Padahal, jumlah petugas di KKP yang melayani pembuatan SIPI tidak sebanding dengan jumlah kapal yang ada di seluruh Indonesia.
Faktor kelangkaan bahan bakar juga masih menjadi alasan utama bagi nelayan-nelayan Indonesia untuk tidak melayarkan perahunya. Selain kuantitas, harga BBM juga menjadi masalah pelik untuk para nelayan-nelayan kecil yang mencari penghidupan di laut.
Dengan kondisi cuaca yang membahayakan dan masih maraknya praktek illegal fishing, biaya yang dikeluarkan untuk melaut menjadi sungguh tak masuk akal. Ribuan perahu dan kapal-kapal juga enggan digunakan karena pertimbangan ini.
Begitu banyaknya kapal-kapal ikan kita yang tidak melaut, kita masih butuh kapal lagi Pak Luhut?
Menurut Pak Luhut, kapal-kapal ini daripada ditenggelamkan, bisa diberikan kepada nelayan atau koperasi nelayan untuk digunakan melaut, nelayan manakah yang dimaksudkan oleh Pak Luhut?
Atau seberapa yakin Pak Luhut kapal yang diberikannya akan digunakan melaut oleh orang-orang Indonesia sendiri dan bukannya dijual lagi ke empunya kapal yang kemudian akan digunakan lagi untuk mencuri ikan di lautan kita, seperti lingkaran setan.
Kenyataanya, praktek-praktek kotor kapal penangkap ikan berbendara Merah Putih yang ternyata milik pengusaha asing bukanlah hal yang baru. Tahun 2014 Majalah Tempo pernah menayangkan laporan investigasi tentang kasus ini banyak menemukan kapal-kapal “siluman” seperti itu. Di atas kertas, mereka kapal Indonesia, tapi pemilik sesungguhnya ada di Thailand, Cina, Taiwan, atau Philipina.
Ketua Asosiasi Perikanan Provinsi Songkhla, Praporn Ekouru yang sempat diwawancarai wartawan Tempo juga mengakui bahwa praktek-praktek seperti itu lazim dilakukan oleh nelayan-nelayan asing (dalam hal ini Thailand).
Dibantu dengan broker, nelayan-nelayan Thailand bisa mendapatkan dokumen-dokumen bodong yang mereka bisa gunakan untuk melaut di Indonesia ataupun kapal-kapal berbendera Indonesia yang telah dilengkapi dengan izin-izin yang dibutuhkan.
Sebelumnya, Bu Susi, dalam pidatonya dalam sebuah rapat, bahkan pernah memperingatkan kepada “veteran, pejabat, dan aparat” untuk tidak lagi coba-coba jadi broker, melobi-lobi dan ngakal-ngakali demi kepentingan pencuri-pencuri kekayaan laut kita.
Apa ini ada hubungannya dengan pejabat-pejabat yang berkoar-koar tentang penghentian penenggelaman kapal-kapal asing ini? Hanya Tuhan dan Bu Susi yang tahu.
Yang jelas, selama praktik-praktik seperti ini masih tidak bisa dibendung maka niat baik untuk nelayan oleh Pak Luhut ini tidak akan bisa berjalan dengan baik, malah hanya akan mencoreng nama Indonesia dan semakin merendahkan harga diri Indonesia bahkan di Negara-negara tetangga sekalipun. Kalau tetap tidak bisa diatasi, pilihan untuk tetap menenggelamkan kapal-kapal tersebut masih terdengar lebih masuk akal.
Diluar itu semua, permintaan Luhut kepada Susi sebagai menteri untuk tidak lagi berfokus pada aktivitas “penenggelaman” itu ada benarnya. KKP sejatinya masih punya banyak PR yang tidak kalah penting dari fungsinya dalam penegakkan hukum.
Waktu 3 tahun yang sudah dilewati dengan gemilang itu seharusnya sudah bisa diadopsi oleh penegak-penegak hukum terkait untuk memertahankan kedaulatan Negara Indonesia.
Kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan dan kemaslahatan nelayan harus secepatnya dikejar dan direalisasikan. Pengembangan kapasitas nelayan dan dialog secara intens untuk menemukan praktik perikanan yang bernapaskan Nusantara serta tetap memerhatikan keberlanjutan lingkungan harus dimulai.
Misalkan nelayan-nelayan kita yang sudah sejak lama terjebak dalam budaya perikanan yang menghancurkan seperti penggunaan cantrang dan pukat harus mendapatkan perhatian karena secara historis nelayan-nelayan ini sebenarnya korban dari industrialisasi perikanan yang berazaskan eksploitasi.
Kalau tidak begitu, ya tidak makan. Memperjuangkan posisi Indonesia di pasar maritim sehingga hasil laut yang ditangkap bisa bernilai tinggi juga harus mulai dipropritaskan oleh Bu Susi dan KKP.
Sekali lagi polemik ini sebenarnya penting untuk menyadarkan kita bahwa sebenarnya sektor perikanan dan maritim Indonesia sedang ada disebuah persimpangan: keruntuhan atau bersinar. Jalesveva Jayamahe!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H