Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fakta yang "Tenggelam" dalam Polemik Penenggelaman Kapal

12 Januari 2018   14:33 Diperbarui: 12 Januari 2018   14:38 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Sindonews.com

Dibantu dengan broker, nelayan-nelayan Thailand bisa mendapatkan dokumen-dokumen bodong yang mereka bisa gunakan untuk melaut di Indonesia ataupun kapal-kapal berbendera Indonesia yang telah dilengkapi dengan izin-izin yang dibutuhkan.

Sebelumnya, Bu Susi, dalam pidatonya dalam sebuah rapat, bahkan pernah memperingatkan kepada “veteran, pejabat, dan aparat” untuk tidak lagi coba-coba jadi broker, melobi-lobi dan ngakal-ngakali demi kepentingan pencuri-pencuri kekayaan laut kita. 

Apa ini ada hubungannya dengan pejabat-pejabat yang berkoar-koar tentang penghentian penenggelaman kapal-kapal asing ini? Hanya Tuhan dan Bu Susi yang tahu.

Yang jelas, selama praktik-praktik seperti ini masih tidak bisa dibendung maka niat baik untuk nelayan oleh Pak Luhut ini tidak akan bisa berjalan dengan baik, malah hanya akan mencoreng nama Indonesia dan semakin merendahkan harga diri Indonesia bahkan di Negara-negara tetangga sekalipun. Kalau tetap tidak bisa diatasi, pilihan untuk tetap menenggelamkan kapal-kapal tersebut masih terdengar lebih masuk akal.

Diluar itu semua, permintaan Luhut kepada Susi sebagai menteri untuk tidak lagi berfokus pada aktivitas “penenggelaman” itu ada benarnya. KKP sejatinya masih punya banyak PR yang tidak kalah penting dari fungsinya dalam penegakkan hukum. 

Waktu 3 tahun yang sudah dilewati dengan gemilang itu seharusnya sudah bisa diadopsi oleh penegak-penegak hukum terkait untuk memertahankan kedaulatan Negara Indonesia.

Kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan dan kemaslahatan nelayan harus secepatnya dikejar dan direalisasikan. Pengembangan kapasitas nelayan dan dialog secara intens untuk menemukan praktik perikanan yang bernapaskan Nusantara serta tetap memerhatikan keberlanjutan lingkungan harus dimulai.

Misalkan nelayan-nelayan kita yang sudah sejak lama terjebak dalam budaya perikanan yang menghancurkan seperti penggunaan cantrang dan pukat harus mendapatkan perhatian karena secara historis nelayan-nelayan ini sebenarnya korban dari industrialisasi perikanan yang berazaskan eksploitasi. 

Kalau tidak begitu, ya tidak makan. Memperjuangkan posisi Indonesia di pasar maritim sehingga hasil laut yang ditangkap bisa bernilai tinggi juga harus mulai dipropritaskan oleh Bu Susi dan KKP.

Sekali lagi polemik ini sebenarnya penting untuk menyadarkan kita bahwa sebenarnya sektor perikanan dan maritim Indonesia sedang ada disebuah persimpangan: keruntuhan atau bersinar. Jalesveva Jayamahe!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun