Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Kearifan dari Tokoh Punakawan

4 Januari 2018   15:48 Diperbarui: 4 Januari 2018   15:54 1814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: rebanas.com

Sangut menggambarkan pribadi yang "tahu dirinya tidak tahu". Dia tidak paham, namun bersikap menerima ketidakpahamannya, mengakui kelebihan orang lain, penuh pertimbangan. Sikap ini sering kali diremehkan dan mau tidak mau mengikuti arus.

Delem menggambarkan pribadi yang "tidak tahu dirinya tidak tahu". Dia tidak tahu tapi merasa tahu, dia tidak tahu tapi tidak menerima pengetahuan orang lain, angkuh dan congkak di depan orang-orang, dan dia tidak bisa mengukur diri. Percaya diri di tengah ketakpahaman.

Kita sebagai manusia adalah pertarungan abadi antara keempat Punakawan tersebut. Seiring dengan pertarungan, sering kali berubah jadi olok-olok karena sifat-sifat tersebut senantiasa ada pada diri, tapi hidup kita sering tak sadarkan diri. Maka dalam lakon pewayangan, biasanya keempat tokoh ini muncul pada sela-sela pertunjukan dengan guyon. 

Selain karena fungsi pencair suasana (karena seringkali pesan yang dikemas dalam cerita wayang masih mengikuti karakter sastra lama yang puitik dan tidak gamblang sehingga terkesan sangat serius dan berat), menurut saya kenapa punakawan selalu ditampilkan dalam pribadi yang guyon karena dari asalnya sendiri adalah manifestasi dari Yang Dijunjung (Dewa) dan sekaligus Yang Menjunjung (abdi) karakter punakawan senantiasa adalah humor. Pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah dicerna oleh penonton dari kalangan masyarakat umur karena ringan dan renyah.

Dari para punakawan ini, sadar atau tak sadar, kita sebagai pribadi dapat memetik sikap: Kita memilih berperan seperti siapa? 

Setidaknya kita akan malu bercermin pada Delem, yg selalu pongah dalam ketidaktahuannya. Minimal kita bisa merenung, kalau tidak tahu sebaiknya kita "tahu kalau kita tidak tahu", ini sikap Sangut. Idealnya kita seperti Tualen, sekalipun ia paham dan tahu, dia tidak bersikap absolut atau "tidak tahu dirinya tahu"; di sini seseorang dituntut menjadi arif sebab kenyataan dan kebenaran tidak berwujud tunggal, maka "selalu ada yang mungkin". 

Dalam dunia pewayangan, dari kaca mata para punakawan, dunia perasaan dan kemanusiaan diteliti dan dilihat dalam banyak perspektif. Delem selalu jadi tertawaan sebab Delem bersikap paling tahu di tengah ketidaktahuannya. Merdah yang "tahu dirinya tahu", percaya diri dan berpengetahuan luas cenderung tergoda memaksakan sikap dan pikirannya.

Dari Merdah kita bisa belajar bahwa sekalipun pemikiran kita yang benar, yang benar-benar lurus, kalau dipaksakan ke orang lain, cara memaksa ini yang mengundang perdebatan. Cara Merdah yg paling tahu membuat dia terpancing arogan. 

Dari Merdah kita diajak belajar bahwa kebenaran harus dijalankan dengan cara-cara yang benar. Cara-cara benar itu ada pada Tualen, yang penuh kearifan membabarkan kebenaran, tanpa paksaan, tanpa menggurui, penuh kesantunan dan kesederhanaan. Secara kontemplatif.

Kebenaran menjadi mentah dan tampak dangkal jika disampaikan dengan tutur keras dan perilaku bermusuhan. Kebenaran menjadi sempurna dalam kesederhanaan tutur, kemuliaan hati, santunan, dan kesahajaan sikap. Bukan Merdah tapi Tualen.

Referensi: 1, 2, 3 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun