Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dan Generasi Milenial

29 Desember 2017   22:01 Diperbarui: 29 Desember 2017   22:22 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: prokal.co/webkalbar

Pancasila itu yang penting diingat itu apanya? namanya, amalannya, atau mungkin keduanya?

Siang ini kebetulan lembaga saya diundang unduk menghadiri sebuah diskusi yang menurut saya pribadi sungguh aneh diadakan mendekati Tahun Baru. Bukan diskusi tentang kembang api apa yang harus dibeli atau terompet jenis apa yang lagi digandrungi, bukan. Tapi diskusi tentang Pancasila dan Generasi Milenial. Pancasila di akhir tahun, yak mantap.

Walaupun nggak aktif-aktif banget di medsos dan nggak juga punya akun youtube-yo-watsap-mafren, saya yang mengaku generasi milenial ini mau nggak mau merasa terpanggil (selain memang ditugaskan oleh lembaga sih). Undangan ini datang dari UKP Pancasila, Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. UKP ini konon katanya adalah unit yang berada langsung di bawah Presiden Pakde Jokowi yang fungsinya untuk menggelorakan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa, sungguh sangar.

Sesampainya di hotel tempat penyelenggaraan diskusi, kami (peserta diskusi) langsung disuguhi makan siang. Di restauran tersebut saya lihat sudah cukup ramai om-om yang berkumpul sambil berdiskusi, nggak kaget sih, siapa lagi coba yang mau menghabiskan hari-hari menjelang tahun baru untuk berkumpul dan kepoin tentang Pancasila kecuali Om-om dan saya. 

Selain menemukan sekumpulan kudapan ringan, saya juga menemukan teman saya (satu lembaga) yang sudah duluan hadir di TKP. Teman saya ini perempuan. Kenapa harus disebutkan, karena begitulah permintaan mereka yang anehnya sangat spesifik, pengen ada peserta perempuanya. Teman saya ini ternyata sedang ngobrol dengan dua orang yang ternyata masih muda dan juga perempuan. 

Saya memilih menikmati sesi makan siang itu bersama mereka, daripada sama om-om kan? Usut punya usut, ternyata diskusi ini bukan yang pertama kali dilaksanakan. Diskusi serupa sebelumnya dilaksanakan di kota Bogor. Dan menurut penuturan salah satu teman perempuan yang baru berkenalan tadi ini, Lulu namanya, ternyata pesertanya laki-laki semua. Ini mungkin yang jadi alasan kenapa permintaanya begitu spesifik.

Setelah habis dua mangkok es campur, kami langsung merapat ke ruangan diskusi. Ternyata nggak seperti yang saya duga, peserta diskusi selain om-om tadi, sebagian besarnya malah anak muda. Tapi memang sih, jadi sesuai dengan tema diskusi kali ini.

Diskusi ini dipimpin oleh Om Hawe Setiawan, budayawan dan kolumnis asal Bandung, yang ternyata cukup lucu. Nggak mengira juga ternyata Pancasila bisa dibahas dengan lucu. 

Banyak hal menarik yang dibahas dalam diskusi ini, yang pertama adalah seberapapun usaha om-om menjadi lucu tetap nggak jauh-jauh dari jokes "bapak-bapak", kedua ternyata ada kekhawatiran besar bahwa generasi milenial ini suatu saat nanti bisa-bisa nggak ngeh bahwa bangsa Indonesia ini punya Pancasila sebagai ideologinya. 

Obrolan pertama dibuka oleh Teh Ane dan Kang Baban yang dua-duanya berprofesi sebagai jurnalis. Inti dari obrolan mereka adalah ternyata generasi milenial, dengan minimnya pengetahuan tentang Pancasila dan butir-butirnya (yang baru saya tahu ada 36 kemudian menjadi 45 dan informasi terbaru adalah 25 butir), lewat gerakan-gerakan telah secara tidak disadari telah mengamalkan sila-sila yang terkandung di dalamnya.

Kemudian, obrolan dilanjutkan oleh dua anak SMA super keren yang-maaf- saya lupa namanya, salah satu poin obrolannya adalah menyinggung hashtag "Saya Indonesia, Saya Pancasila" yang sempat viral tapi meragukan apakah netijen-netijen milenial benar-benar paham dengan apa yang mereka klaim.

Ada juga Lulu, yang ternyata mamah muda, mengedepankan pentingnya penanaman Pancasila dari keluarga. Lulu menekankan bahwa yang perlu diedukasi itu nggak cuman anak-anak dan remaja generasi milenial, tapi juga emak-bapak nya. Selain itu pendidikan Pancasila jaman sekarangsudah nggak bisa lagi hanya melalui teori-teori di ruang kelas, namun perlu juga ruang untuk praktik. 

Saya dan teman yang sehari-hari berkecimpung di masalah lingkungan juga mau nggak mau menghubung-hubungkan perilaku cinta lingkungan dengan Pancasila, yang ternyata nggak simpel. Ternyata dari sekian banyak butir Pancasila, nggak ada satupun yang secara tersurat meyatakan tindak peduli lingkungan. Maklum sih, saat Pancasila dibuat kan boro-borongurusi lingkungan, memanfaatkan kekayaan alam aja kita masih nggak bisa.

Tapi proses menghubung-hubungkan ini malah menggelitik saya, ternyata sesulit itu mencari sebuah penerapan kongkrit dari Pancasila. Sulit mungkin karena memang saya dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia nggak ngerti yang Pancasila itu sebenarnya yang seperti apa.  Bukankah pelajar PPKN kita di SD seharusnya yang memberi kita pengetahuan tentang itu? Seinget saya mentok-mentok 'yang baik' itu adalah membantu ibu hamil menyebrang jalan dan bahkan itupun nggak secara langsung dihubungkan dengan Pancasila.

Padahal, bila kita lihat lagi butir-butir Pancasila (saya juga ngelihat lagi dengan terpaksa karena harus menghadiri diskusi ini) ternyata banyak bangethal-hal yang kita lakukan itu sebenarnya mengamalkan Pancasila. Nggak menyerobot pas lagi antre itu Pancasila, nggak buang sampah sembarangan tu Pancasila, bersedekah itu Pancasila. Itu semua ada dalam Pancasila loh. Tapi nggak banyak orang sadar bahwa mereka telah berpancasila ria.

Dari situ muncul pertanyaan, yang sungguh didahulukan dari Pancasila itu nama dan pengertiannya atau pengamalannya? Jawabannya bisa ada tiga: Nama dan pengertianya yang harus didahulukan pengalamannya bisa nanti, Pengamalannya yang didahulukan namanya bisa apa saja, atau keduanya harus didahulukan.

Jawaban yang pertama itu cukup tergambar dengan viralnya hashtag Saya Indonesia, Saya Pancasila. Siapapun besbas menggunakan hashtag itu sebagai citra. Urusan ngerti atau nggaknya urusan nanti.

Jawaban yang kedua adalah gerakan-gerakan yang diinisiasi oleh generasi milenial Indonesia, misalnya Gerakan Berbagi Nasi atau Kelas Inspirasi. Spirit mereka sebenar-benarnya mengamalkan sila-sila dalam Pancasila. Tapi apakah mereka ngeh akan itu? mungkin nggak juga.

Kalau jawab ketiga yang diinginkan, kata saya sih seharusnya bisa dilakukan dengan menghubungkan dua contoh dari kedua jawaban sebelumnya. Gerakan-gerakan sosial dan tindak-tanduk sehari-hari yang mengedepankan kemanusiaan, toleransi, dan gotong royong ini dilekatkan dengan identitas Pancasila. Meminjam istilah dari Teh Ane, kita harus memunculkan wajah baru Pancasila, bukan lagi yang seram dan kaku serta murung layaknya yang dilakukan Orde Baru, tapi wajah Pancasila yang ramah. Pancasila zaman now itu harusnya bisa dekat dan lekat dengan keseharian kita, dengan gaya hidup orang Indonesia masa kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun