Melihat maraknya pembahasan tentang Bumi Datar - bahkan di Kompasiana sekalipun! - menggelitik hati untuk ikut menyumbangkan buah pikiran terkait Isu ini. Semua yang ditulis disini, yang mungkin tidak lengkap, berasal dari sumber-sumber yang dikumpulkan penulis dari berbagai situs di internet dan sedikit ingatan tentang apa yang dipelajari duduk di bangku sekolah dulu. Dan karena pada dasarnya sangat tertarik dengan sains jadi pembahasannya sedikit menggunakan bahasa sains. Tapi penulis berjanji agar yang diterangkannya bisa seterang benderang mungkin.
Melihat artikel kedua dari Mbak Mike terlihat masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, beberapa mungkin bisa saya jawab. Yup, inilah dia:
1. Bisa kita lihat, bentuk pesawat dengan kecepatan 7403km/jam harus aerodinamis, lalu bandingkan dengan bentuk satelit yang seperti di atas. Apakah mungkin dengan bentuk seperti itu bisa terbang dengan kecepatan 28.000km/jam?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus cari tahu dulu apa sih yang dimaksud dengan Aerodinamis?
Jadi menurut KBBI aerodinamis itu adalah ... tidak ada. aerodinamis bahkan bukan kata yang benar. Istilah yang paling mendekati kata ini adalah aerodinamik yang memiliki arti berkenaan dengan aerodinamika. Aerodinamika sendiri adalah ilmu yang mempelajar tentang aliran udara atau gas dan terutama interaksinya dengan benda padat. Jadi aerodinamika berfungsi ketika ada udara, dimana tidak ada udara aerodinamika jadi tidak relevan.
Oke, sekarang berarti kita perlu tahu tentang udara, apakah sebenarnya ia? Kembali lagi menengok ke KBBI, Udara itu adalah campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak berbau (seperti oksigen dan nitrogen) yang memenuhi ruang di atas bumi.Â
Jadi tidak seperti yang mata kita lihat, sebenarnya udara itu adalah campuran dari material yang berukuran sangat, sangat kecil dengan komposisi tertentu. Misalkan oksigen, zat yang sangat kita butuhkan untuk bernapas, menyusun kurang lebih 21% dari udara. Bila kita bayangkan molekul oksigen itu sebagai koin seratus rupiah, maka hanya dengan satu hirupan nafas kita tidak akan kekurangan uang untuk paling tidak 1000 tahun ke depan meskipun uang tersebut kita bagi rata dengan seluruh 7,5 miliah manusia yang ada di Bumi ini sekarang.
Sekarang bayangkan lagi seluruh koin itu kita sebarkan dijalan dan kita harus berkendara melewatinya, tentunya kita tidak bisa melaju dengan kecepatan penuh kan? Bila dipaksakan bisa saja kendaraan kita yang akhirnya rusak. Bentuk yang mempertimbangkan aerodinamika seperti streamline, penggunaan sayap pada mobil balap, dan berbagai contoh lain adalah cara untuk mengurangi gesekan dengan udara sehingga membuat kendaraan bisa melaju lebih cepat namun tidak malah merusak kendaraan itu sendiri.Â
Hal seperti ini dapat dengan mudah anda temui di kehidupan sehari-hari. Misalkan kita berkendara dengan motor, semakin cepat kita melaju maka angin yang kita rasakan akan semakin kencang. Angin yang kita rasakan ini sebenarnya adalah gesekan yang terjadi antara kulit kita dengan udara.
Bukannya kita tidak bisa membuat kendaraan yang dapat melaju 28.000 km/jam, namun bila dilakukan di Bumi hal itu secara fisik mustahil. Mungkin ada yang bisa menghampiri kecepatan itu, HTV-2 diklaim bisa mencapai Mach 20 (24.000 km/jam), namun dalam kecepatan itu HTV-2 menghasilkan panas hingga 1347 Celcius, cukup untuk melelehkan sebagian besar logam yang ditemukan di Bumi. Bayangkan anda melaju dengan kecepatan itu diatas motor.
Tapi kalau di luar angkasa lain soal. Hampir tidak ada udara di luar angkasa. Artinya prinsip aerodinamika tidak berlaku di angkasa luar. Karena prinsip aerodinamika tidak berlaku maka bentuk dari benda luar angkasa seperti satelit buatan lebih untuk memenuhi unsur fungsi. Misalkan bisa kita lihat bentuk satelit BRI itu, itu memenuhi fungsi-fungsi seperti penangkap dan pemancar signal, solar panel, dan lainnya.Â
Jadi apakah mungkin melaju 28.000 km/jam dengan bentuk seperti itu? Di ruang hampa udara hal tersebut sangat mungkin.
2. Eksperimen Bedford dan bumi ternyata datar?
Yap, ini salah satu amunisi pentolan dari teman-teman flatter. Eksperimen yang dilakukan oleh Robotham untuk membutikan bahwa Bumi tidaklah bulat seperti yang dikatakan semua orang, tapi datar.Â
Jika banyak pendapat para ahli yang mengungkapkan total luas lingkaran bumi ialah 25.000 mil, maka hitungan secara matematis jika total luas lingkaran bumi ialah 25.000 mil, seharusnya pada jarak +- 6 mil (9.7 km) sudah bisa melihat lengkungan (curve).
Akan Tetapi tapi Samuel Robowtham ini mencoba melihat kapal dengan tinggi 5 kaki dengan menggunakan teleskop yang dia didirikan setinggi 8 inch. Kemudian di taruh di atas air sungai Bedford, dengan begitu kapal tsb sudah melewati jarak lebih dari 6 mil (9.7 km), namun dia masih bisa melihat dengan jelas kapal tersebut dengan teleskopnya. Ya, itulah yang DILIHAT Robotham dengan teleskopnya. Tapi coba perhatikan gambar ini.
Apakah sedotan itu benar-benar patah? Atau mata kalian yang menipu diri kalian sendiri?
Fenomena yang terjadi itu disebut refraksi. Refraksi adalah pembiasan cahaya akibat perubahan densitas media pengantarnya. Jadi sedotan yang kalian lihat seolah-olah patah. Padahal, sedotan tersebut utuh.
Lantas apa hubungannya dengan eksperimen Bedford? Sangat penting. Dan ini ditemukan oleh salah satu Naturalis paling terkenal di Dunia, yang namanya juga diabadikan menjadi nama garis bayangan di Indonesia, Alfred Russel Wallace.
Suatu ketika Wallace melihat sayembara di Zetetic Astronomy seharga 500 Pound untuk siapa saja yang bisa membuktikan bahwa Bumi itu bulat. Wallace dengan riang menerima tawaran itu karena bisa mendapat uang dengan cara mudah.Â
Berpengalaman menjadi surveyor, Wallace menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan pada metode dan analisis dari eksperimen Bedford tersebut. Untuk membuktikan bahwa ia benar, ia mengulang kembali percobaan tersebut dengan sedikit perubahan.Â
Wallace menggunakan 3 kapal dengan sebelumnya dipasangkan piringan pada ketinggian 4 meter. 3 kapal itu disusun sedemikian rupa hingga dua kapal berada di sisi ujung kanan dan kiri, satu kapal berada di tengah. Ketiga penanda yang terpasang di kapal tersebut dipastikan memiliki ketinggian yang serupa. Kemudian dia melihat kembali piringan itu dari ujung jembatan satunya.
Kata Wallace, "Bila kita melihat piringan di tengah sedikit lebih tinggi, maka bumi itu bulat." Maka dimulailah observasi pada ketiga tanda pada kapal tersebut. Ternyata, tanda yang berada di tengah sedikit lebih tinggi dari tanda yang ada pada kedua kapal lainnya.
Kenapa pada eksperimen Bedford yang dilakukan Robotham kita masih bisa melihat kapal walaupun sudah 6mil jauhnya? Hal ini diakibatkan oleh refraksi atau pembiasan cahaya yang terjadi akibat adanya perbedaan masa jenis udara di dekat permukaan air dengan udara diatasnya. Cahaya yang ditangkap oleh mata kita dibelokan karena melalui medium dengan kerapatan yang berbeda. Dalam sains ini disebut "Terestrial Concavtion". Fenomena fatamorgana juga disebabkan oleh alasan yang sama.
3. Kenapa mengambil rute memutar dalam penerbangan padahal bisa mengambil rute lurus lebih dekat?
Pertanyaan ini terjawab ketika pertanyaan lainnya terjawab, "Apakah benar garis itu lurus?"
John Chesire, Salah satu Perwira Tinggi AU Amerika yang memiliki pengalaman terbang hampir 40 tahun, menjawab pertanyaan serupa di situs Quora.com kurang lebih seperti ini:
"Apa yang terlihat di peta datar sebagai garis lurus bukanlah jarak terdekat antara dua titik. Ini karena bumi itu bulat, bukan datar. Jadi, jarak terpendek antara dua titik pada benda bulat lebih menyerupai busur dibanding garis lurus dan arah lurus. Busur ini dikenal dengan great circle route. Menariknya, bila kita mencoba untuk menempuh jarak yang lebih pendek, kita harus terus menerus melakukan koreksi arah pesawat"
Kalau benar seperti apa yang diklaim flatter bahwa penerbangan jadi masuk akal bila bumi datar karena bisa ditarik garis lurus, dan dengan asumsi bahwa pilot menerbangkan dengan lurus-lurus saja, maka seharusnya Pilot tidak perlu melakukan koreksi arah, tapi kenyataannya selama 40 tahun, John Chesire terus menerus melakukan koreksi arah pesawat.
Jadi, sebenarnya ini masalah kelemahan manusia dalam menilai objek 3D di sekitarnya. Mata manusia hanya bisa menangkap representasi 2D dari objek 3D pada lini waktu. Garis lurus sendiri adalah produk 2D, ketika berhadapan dengan objek 3D kita berhadapan juga dengan perspektif. Misalkan bila kita bisa memberi garis melintang pada sebuah gunung, bila kita lihat tegak lurus dari atas maka kita akan lihat berupa garis lurus. Padahal bila kita lihat dari samping, garis tersebut mengikuti kontur gunung. Inilah fenomena yang menjelaskan peristiwa pada industri penerbangan tadi.
Beberapa pertanyaan lagi mungkin memerlukan pengetahuan dibidang lain yang belum terlalu saya pahami. Jadi segitu dulu yah jawabannya. Kalau ada yang bisa menjawab untuk pertanyaan:
1. Kenapa menggunakan siklus Saros untuk menghitung gerhana dibanding perhitungan matematis?
2. Apakah Operation High Jump benar adanya?
sangat ditunggu artikelnya. Salam hangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H