Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Perpres 18 Tahun 2016: Mengatasi Masalah dengan Masalah?

17 Juli 2016   22:19 Diperbarui: 29 Juli 2017   16:47 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Woody going to The Incinerator. Whooosh!

Tanggal 13 Februari 2016 bisa jadi hari yang baik untuk masyarakat Indonesia dan hari yang buruk untuk sampah yang kita produksi. Di hari Sabtu yang cerah itu, oleh Bapak Presiden, ditetapkanlah Perpres No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Prov. DKI Jakarta, Kota Bandung, Tanggerang, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Makassar, atau dengan izin pembaca sekalian akan saya panggil dia si Jono pada beberapa alinea ke depan biar nantinya kita bisa saling menyapa dengan riang. 

"Dalam rangka mengubah sampah sebagai sumber energi dan memperbaiki kualitas lingkungan," kata Jono mengawali, "dipandang perlu mempercepat pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di beberapa kota." Ditambah dengan beberapa sisipan seperti "Sebagaimana diamanatkan pada Pasal 4 UU no. 18 Tahun 2008" dan "Sebagaimana ditetapkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2014-2019" memperkuat pernyataan sikap Presiden yang berjanji menyelesaikan permasalahan sampah secepatnya.

Progresif? Pasti. Namun, apakah sudah dilakukan dengan cermat? Coba kita lihat.

Pertama-tema kita tengok sedikit ke UU No 18 Tahun 2008, si buku sakunya aturan-aturan terkait pengelolaan sampah di Indonesia. Kita buka halaman per halaman perlahan-lahan, karena pastinya Pasal 4 tidak jauh dari halaman terdepan. Sudah sampai? Nah kita baca bersama-sama, bunyinya:

"Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya."

Nah itu dia, pas disana. 

Secara terang-benderang dinyatakan bahwa menjadikan sampah sebagai sumber daya adalah salah satu tujuan pengelolaan sampah dengan mendahulukan peningkatan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan.

Si Jono menerjemahkan sumber daya itu menjadi sumber energi, secara spesifik: listrik. Apakah salah? Tidak. Tapi apakah benar? Belum tentu. 

Energi memang salah satu sumber daya tapi tidak satu-satunya. Material daur ulang juga, sebagai salah satu contoh, adalah sumber daya. Bahkan bisa dibilang mereka ini adalah saudara dengan energi sebagai anak emasnya. Tak heran, karena kebutuhan energi di negara ini terus-menerus meningkat seiring dengan berdetaknya jarum jam.

Membaca dari success story negara-negara yang berhasil mengatasi permasalahan sampahnya, konversi sampah menjadi energi, atau dengan nama beken waste to energy (wte) adalah salah satu pilihan jitu. Swedia mampu mengatasi hingga 60% sampahnya dengan pendekatan WTE. Sampah di Jepang juga berkurang dengan persentase yang hampir sama. Jadi okelah, anggap saja energi adalah, hingga kini, interpretasi yang tepat dari sumber daya yang dimaksud si Jono.

Sayangnya, si Jono berucap lebih dari itu. Katanya:

"Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang selanjutnya disingkat dengan PLTSa adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi Baru dan terbarukan berbasis sampah kota yang diubah menjadi energi listrik melalui teknologi thermal process meliputi gasifikasi, incinerator, dan pyrolysis."

Weit, hold your horses, bro Jono! Ingat pepatah lama, berpikirlah dahulu sebelum berkata karena mulutmu harimaumu. Aum.

Mendefinisikan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah dengan "berbasis sampah kota yang diubah menjadi energi listrik melalui teknologi thermal process" sama saja dengan mengatakan bahwa hanya ada satu jenis obat batuk.

Coba simak cerita ini. 

Suatu ketika, seorang ayah di negeri Panda sana bernama Jok Oh Wee bergegas mencarikan obat untuk lusinan anaknya yang sedang sakit. Kata tetangganya sih anaknya itu sakit batuk, sakit yang sebenarnya lazim untuk usia yang sedang berkembang. Jok sudah berkeliling ke seluruh negeri, berkunjung ke dukun sana-sini, bertanya pada orang-orang pintar di negerinya tapi tak kunjung membuahkan hasil.

 Akhirnya, Jok memutuskan untuk berkelana ke Barat untuk mencari obat batuk untuk anaknya sekalian dengan kitab suci pastinya. Tidak ditemani oleh Sung Go Kong, Tju Pat Kai, atau sejenisnya, akhirnya Jok menemukan rahasia obat batuk dari negeri asing di barat. Para manusia di negeri ini semuanya minum obat berlabel merah yang sama. Sekilas Jok melihat samar tulisan "Obat Batuk" tertera pada label tersebut. 

"Mereka semua meminum obat yang sama, pasti ini juga mempan buat anak-anakku," pikirnya. 

Dengan hati riang dan agak tergesa-gesa, Jok kembali ke kampung halaman dan memamerkan obat yang ia peroleh ke tetangganya. 

"Ini obat batuk paling manjur," katanya. 

Dibuatlah aturan olehnya biar itu anak-anaknya semua meminum obat itu. Bukannya sembuh malah sakitnya tambah parah. 

Jok pusing bukan kepalang. Ia bingung setengah mati karena obatnya tidak berfungsi. Dalam kebingungan itu dilihatnya labelnya dengan lebih seksama, ternyata setelah tulisan "Obat Batuk", ada lanjutannya yaitu "Kering". Jadi, obat yang diberikan pada anak-anaknya adalah Obat Batu Kering. Padahal, anaknya kena Batuk Berdahak. 

Dejavu?

Kembali ke masalah Jono, PLTSa itu tidak serta-merta harus dengan proses termal, bisa saja dengan proses biologis seperti biogas atau fermentasi, atau proses-proses lainya dengan sedikit imajinasi dan ilmu rekayasa. 

Malah, bisa jadi alternatif teknologi non-thermal itu adalah pilihan yang lebih bijak mengingat lebih dari 60% sampah yang dihasilkan di Indonesia adalah sampah mudah membusuk dari daun-daunan, sisa makanan atau bangkai hewan. Selain itu, karena berada di wilayah tropis, kelembapan dari sampah domestik di Indonesia juga tinggi hingga mencapai 70%.

Sampah di Indonesia juga menghasilkan energi yang relatif kecil ketika dibakar. Rata-rata energi yang bisa diubah menjadi listrik, atau sering disebut nilai kalor, hanya mentok di angka 1200 kcal/kg-kering. Sedangkan, nilai kalor yang dibutuhkan agar insinerator bisa beroperasi dengan baik hanya bermodalkan sampah adalah 2000-2500 Kcal/kg-kering. 

Bayangkan bila kalian punya online shop dan semua barangnya kalian jual dengan harga yang kurang dari harga beli? Kalian akan terus nombok dan ujung-ujungnya rugi.

Dan anggap saja kalian adalah juragan yang bisa terus menerus mensuplai kekurangan energi tersebut, darimana kalian mendapatkan tambahannya? Yak, bahan bakar fosil. Jadi, alih-alih memanfaatkan sampah untuk dijadikan energi, WTE termal dengan teknologi insinerasi lebih terlihat seperti membakar uang dan meracuni anda.

Bila kalian sempat membaca buku Diktat Pengelolaan Sampah karya Prof. Enri Damanhuri (satu-satunya guru besar keilmuan sampah di Indonesia), yang saya yakin tidak, kalian bisa melihat beberapa catatan beliau tentang "hal-hal yang perlu dipahami" tentang insinerator ini. Dengan baik hati saya rangkum dengan 6 kata: inefektif, efisien, beracun, pencemar, tidak ekonomis.  Tidak semua kata buruk, tapi kalian bisa lihat perbandingannya.

Lain lagi dengan dua sepupu dari Insinerasi yang disebut oleh Jono, Pyrolisis dan Gasifikasi, dua metode ini bisa lebih aman. Namun, anda harus siap merogoh kocek lebih dalam. Dua teknologi thermal ini merupakan teknologi terdepan di generasinya. Mereka semacam Daft Punknya Electro Pop.

Untuk sebuah alat Pyrolisis dengan kapasitas 100 Ton sampah/jam dengan waktu optimum pengoperasian mesin selama 8 jam dalam satu sikel (rata-rata 2 sikel sehari) atau setara dengan 1600 Ton per hari, anda harus mencairkan uang tak kurang dari Rp 200 Juta.

Untuk sebuah alat Gasifikasi dengan spesifikasi yang sama anda perlu merogoh kocek lebih dalam lagi, sekitar Rp. 300 Juta. Belum lagi biaya gedung dan operasional yang tidak kalah tinggi. Jumlah yang luar biasa untuk mengurusi hal yang bahkan sebelumnya kita anggap sepele.

Itu baru urusan yang ecek-ecek. Belum lama ini Koalisi Masyarakat Sipil yang digalang oleh komunitas-komunitas yang bergerak di bidang lingkungan seperti Bali Fokus, YPBB. dan sebagainya mengajukan uji materi si Jono kepada Mahkamah Agung. Beberapa hal yang mendasarinya antara lain banyaknya indikasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap UU terdahulu (UU 18 tahun 2008 dan beberapa UU lainnya) oleh si Jono ini. Malang benar si Jono. Malang benar Jok Oh Wee.

Dan seperti yang pepatah lama katakan, harusnya Jok Oh Wee bukan pergi ke Barat namun berkunjung ke Pegadaian, karena Pegadaian menyelesaikan masalah tanpa masalah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun