Dejavu?
Kembali ke masalah Jono, PLTSa itu tidak serta-merta harus dengan proses termal, bisa saja dengan proses biologis seperti biogas atau fermentasi, atau proses-proses lainya dengan sedikit imajinasi dan ilmu rekayasa.Â
Malah, bisa jadi alternatif teknologi non-thermal itu adalah pilihan yang lebih bijak mengingat lebih dari 60% sampah yang dihasilkan di Indonesia adalah sampah mudah membusuk dari daun-daunan, sisa makanan atau bangkai hewan. Selain itu, karena berada di wilayah tropis, kelembapan dari sampah domestik di Indonesia juga tinggi hingga mencapai 70%.
Sampah di Indonesia juga menghasilkan energi yang relatif kecil ketika dibakar. Rata-rata energi yang bisa diubah menjadi listrik, atau sering disebut nilai kalor, hanya mentok di angka 1200 kcal/kg-kering. Sedangkan, nilai kalor yang dibutuhkan agar insinerator bisa beroperasi dengan baik hanya bermodalkan sampah adalah 2000-2500 Kcal/kg-kering.Â
Bayangkan bila kalian punya online shop dan semua barangnya kalian jual dengan harga yang kurang dari harga beli? Kalian akan terus nombok dan ujung-ujungnya rugi.
Dan anggap saja kalian adalah juragan yang bisa terus menerus mensuplai kekurangan energi tersebut, darimana kalian mendapatkan tambahannya? Yak, bahan bakar fosil. Jadi, alih-alih memanfaatkan sampah untuk dijadikan energi, WTE termal dengan teknologi insinerasi lebih terlihat seperti membakar uang dan meracuni anda.
Bila kalian sempat membaca buku Diktat Pengelolaan Sampah karya Prof. Enri Damanhuri (satu-satunya guru besar keilmuan sampah di Indonesia), yang saya yakin tidak, kalian bisa melihat beberapa catatan beliau tentang "hal-hal yang perlu dipahami" tentang insinerator ini. Dengan baik hati saya rangkum dengan 6 kata: inefektif, efisien, beracun, pencemar, tidak ekonomis. Tidak semua kata buruk, tapi kalian bisa lihat perbandingannya.
Lain lagi dengan dua sepupu dari Insinerasi yang disebut oleh Jono, Pyrolisis dan Gasifikasi, dua metode ini bisa lebih aman. Namun, anda harus siap merogoh kocek lebih dalam. Dua teknologi thermal ini merupakan teknologi terdepan di generasinya. Mereka semacam Daft Punknya Electro Pop.
Untuk sebuah alat Pyrolisis dengan kapasitas 100 Ton sampah/jam dengan waktu optimum pengoperasian mesin selama 8 jam dalam satu sikel (rata-rata 2 sikel sehari) atau setara dengan 1600 Ton per hari, anda harus mencairkan uang tak kurang dari Rp 200 Juta.
Untuk sebuah alat Gasifikasi dengan spesifikasi yang sama anda perlu merogoh kocek lebih dalam lagi, sekitar Rp. 300 Juta. Belum lagi biaya gedung dan operasional yang tidak kalah tinggi. Jumlah yang luar biasa untuk mengurusi hal yang bahkan sebelumnya kita anggap sepele.
Itu baru urusan yang ecek-ecek. Belum lama ini Koalisi Masyarakat Sipil yang digalang oleh komunitas-komunitas yang bergerak di bidang lingkungan seperti Bali Fokus, YPBB. dan sebagainya mengajukan uji materi si Jono kepada Mahkamah Agung. Beberapa hal yang mendasarinya antara lain banyaknya indikasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap UU terdahulu (UU 18 tahun 2008 dan beberapa UU lainnya) oleh si Jono ini. Malang benar si Jono. Malang benar Jok Oh Wee.