Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota yang Gelap di Bawah Hujan

1 Juli 2016   12:13 Diperbarui: 1 Juli 2016   12:23 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam menunjukan pukul 7. Anak-anak berlari membawa bola dari taman bergegas pulang. Hanya segerombolan anak-anak dengan bola sepak besar ditangannya. Bola sepaknya cukup kotor kukira, mungkin mereka main di lapangan itu, yang kini terlihat seperti rawa-rawa karena air hujan yang menggenang. Ya, hujan tidak berhenti sejak seminggu yang lalu.

Kulihat lagi jam tangan itu, sekarang jam 7.05. Sudah hampir dua jam aku disini. Duduk di bangku taman ini diguyur hujan. Bukannya aku sebegitu miskinnya sehingga payung pun tidak terbeli, aku hanya menikmatinya. Aneh memang, orang biasanya sangat anti berjalan-jalan disaat hujan, apalagi duduk di bangku taman dan diguyur hujan. Bahkan bisa dibilang mereka benci ketika butir-butir hujan itu jatuh diatas rambut dan menyelusup masuk hingga mengenai kulit kepala mereka. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari tempat dudukku ini, kegelisahan itu terpancar dimata mereka yang lalu lalang di depanku sambil menatapku aneh seakan mereka melihat hantu di siang bolong. Mata mereka tidak bisa bohong. Walaupun bibir terkatup dengan rapat, tatapan sinis itu tidak bisa tidak terlihat, tidak olehku.

Lain lagi dengan anak-anak yang membawa bola sepak besar itu. Tidak sedikitpun kuamati adanya kesedihan atau kegelisahan pada diri mereka walaupun basah diguyur hujan. Terutama bocah laki-laki itu, yang memakai kaus berwarna biru bergambar orang dari kaum Viking, kalau tidak salah itu atribut pendukung salah satu tim sepak bola, disebut Bebotoh seingatku. Tapi birunya yang kulihat sekarang sudah berubah coklat, bahkan bisa dibilang seluruh tubuh bagian depan anak itu dipenuhi jejak-jejak lumpur Dan kini dia dan teman-temannya diguyur hujan, sama denganku, sama dengan mereka yang menganggapku sinting, hanya saja ada guratan wajah ini yang tidak dapat kujelaskan, yang seakan mengatakan pada dunia, “Dibawah hujan ini, kamilah sang penguasa.” Sepertinya aku sedikit-sedikit juga merasakan hal yang sama. Ah, aku tersenyum kecil tanpa kusadari.

Tapi hujan ini membawa kegelapannya sendiri. Mungkin terdengar seperti kiasan, tapi serius, itulah yang benar-benar terjadi. Bagaimana tidak, penerangan di taman ini, bahkan diseluruh kota ini, bergantung sepenuhnya pada bola kuning besar, 149.597.871 kilometer dari Bumi tempat kita berpijak, yang manusia sebut Matahari. Jangan bandingkan itu dengan jarak dari taman ini ke rumahku, atau mungkin ke rumahmu, karena kalau kau bandingkan, sama saja dengan membandingkan panjang jembatan layang Pasopati dengan sebuah virus!

Kudongakan kepalaku ke atas sejenak, kunikmati butiran-butiran air ini membasahi wajahku. Terlihat dari celah-celah daun, awan mendung tebal berhasil dengan baik menutupi seluruh kota dari sinar yang seharusnya menghidupkannya. Hanya berkasan cahaya yang terbiaskan oleh dedaunan dari pohon-pohon tinggi dan besar di taman ini yang samar-samar terlihat. Seperti pesulap yang menutupi topinya dengan kain hitam besar, perasaan penghuni kota ini mirip dengan merpati yang menunggu dalam kegelapan saat untuk dapat terbang diantara kerumunan. Tapi jujur, menurut pendapatku pribadi, ada keindahan yang terselubung dalam gelapnya taman malam ini.

Kulihat lagi jam tangan itu. Kali ini dengan lebih seksama. Kuamati jarum-jarum besi kecil yang terus bergerak, mendikte irama detak jantungku. Mungkin juga irama detak jantung anak-anak yang membawa bola sepak itu, atau irama detak jantung pohon Damar yang sedari tadi menemaniku duduk di bangku ini. Irama detak jantung yang berdenyut lemas tanpa tenaga. Tanpa sinar matahari, tumbuhan tidak mungkin bisa melakukan fotosintesis, sebuah keunggulan sel yang hanya dimiliki oleh kaum-kaum statis ini, sehingga mereka dapat membuat makanannya sendiri. Sinar matahari yang terdiri dari jutaan foton itu membantu tumbuhan untuk memecah air menjadi oksigen menyisakan proton, atau ion positif, atau apalah namanya yang kemudian akan mengalir seperti sungai dari satu sisi berkonsentrasi tinggi ke sisi berkonsentrasi rendah mengubah ADP menjadi ATP, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan energi. Sebuah proses panjang yang menjemukan, untung saja mereka memang diciptakan untuk melakukannya secara otomatis. Singkatnya, tak ada sinar matahari sama saja dengan tidak ada energi, sesimpel itu. Sesimpel itu? Ah, tidak. Ini jauh lebih rumit. Jauh lebih rumit daripada yang bisa dibayangkan olehku, ataupun oleh penduduk kota yang mulai tertidur ini, atau bahkan oleh pohon Damar ini sendiri. Sekarang jam 8.30, sepertinya bulan sudah muncul atau kukira begitu.

Sebenarnya kerumitan ini tidak akan muncul kalau saja pepohonan di kota ini hanya berupa bongkahan kayu coklat besar membosankan dengan dedaunan rindang dipuncaknya, yang telah dibentuk oleh alam sedemikian rupa, menjadi tempat yang nyaman bagi burung-burung itu untuk saling bercanda, bernyanyi, ataupun menggoda. Tidak, masalah ini tidak akan jadi sedemikian rumit. Tapi kenyataanya kalau kau berada ditempatku sekarang maka pastilah juga akan setuju dengan keherananku. Ada serabut tipis benang, yang kalau diperhatikan, menyerupai serat jaring laba-laba keluar dari dedaunan. Mungkin ini kedengarannya berlebihan tapi kurasa serabut-serabut itu keluar dari dalam daun lewat jutaan stomata yang tersebar pada daun-daun itu. Tidak mungkin hal seperti itu bisa kau sebut alami, ya kan?

Serabut itu sangat tipis, hampir bisa disebut transparan. Kau tidak akan menyadari benang-benang ini ada kalau tidak melihatnya langsung dari dekat pada daun-daun yang jatuh. Kecuali kau punya mata sebaik aku. Mata yang bisa dengan jelas melihat setiap gerakan, setiap detail. Bahkan tikus kecil yang bergerak sembunyi-sembunyi bisa langsung terlihat olehku walaupun dari jarak yang sangat jauh. Mata yang telah menyelamatkan hidupku berkali-kali, dari kelaparan!

Tapi sudah segitu saja tentang aku. Membicarakan satu dari keunggulanku saja sudah membuatku mual. Perasaan mual yang sama ketika aku terpaksa memakan daging bangkai penuh belatung itu untuk yang pertama kalinya, dan anehnya muncul lagi ketika aku melihat serabut-serabut itu untuk pertama kalinya. Jutaan serabut tipis itu bergulung dan bergumul membentuk benang-benang yang lebih tebal seperti akar-akar gantung pohon Beringin. Benang-benang itu cukup tebal untuk bisa dengan yakin kukatakan menyerupai kabel-kabel listrik, yang entah mengapa hilang sejak 10 tahun yang lalu. Percayalah padaku, Benang-benang itu lalu dihubungkan ke lampu-lampu jalan, stasiun buku (seperti sebuah lemari dengan penuh buku didalamnya, setahuku baru ada di tahun 2014 di kota ini), layar-layar informasi, dan mereka menyala! Seluruh syaraf otakku bekerja lebih keras untuk menerima dan mencerna kejadian di depan mataku ini, dan untuk memercayainya. Bahkan, Da Vinci pun mungkin mengganggapnya hanya sebagai tipuan murahan. Tumbuhan bisa menghidupkan lampu jalan!

Apa yang dipikirkan oleh orang yang pertama mencetuskan ide gila ini? Aku tahu banyak orang yang gila, tapi tidak kusangka jika kegilaan manusia tidak ada batasnya. Sepertinya manusia sangat suka bermain peran sebagai Tuhan. Setelah seenaknya mengatur hidup mati sesamanya, sekarang dijamahnya pula kuasa hidup mahluk lain. Kalau saja pepohonan ini bisa bergerak bebas, atau paling tidak menggerakan cabangnya  layaknya tangan, pastilah manusia-manusia congkak ini sudah diperas habis sampai ke sumsum tulang. Ususnya terburai, jantungnya pecah dan lambungnya menciut, dan keluar lewat mulut, atau lubang pantat. Otaknya meledak, matanya melotot keluar, wajahnya tidak karuan. Menyisakan daging-daging merah muda segar untuk kumpulan binatang jalang. Tubuhku bergidik sendiri membayangkan kelezatan daging-daging itu.

Dan orang-orang pertama yang diperas pastilah ilmuwan-ilmuwan pencipta teknologi nano itu. Tanpa adanya mereka tidak mungkin bisa diciptakan serabut tipis macam itu, yang bisa keluar dari mulut stomata. Atau mungkin, para rekayasawan biologi, yang hobinya meneliti virus, kromosom, gen, atau benda-benda tak kasat mata lainnya. Orang-orang yang membuatku iri, karena bahkan dengan matakupun aku tak mampu melihat apa yang mereka lihat. Tanpa adanya mereka tidak mungkin bisa dilakukan pengubahan DNA tumbuhan menjadikannya seperti sebuah  pabrik pembangkit listrik untuk manusia. Aliran arus proton itu yang menciptakan listrik untuk manusia. Sinar matahari yang membuat proton-proton itu tetap mengalir. Serabut-serabut halus itu yang menghantarkan listrik ke rumah-rumah, untuk menghidupkan lampu, komputer, mesin cuci, kulkas, dan segala macamnya yang menjadikan hidup manusia seperti raja. Serabut-serabut yang ditanam bak virus menanamkan RNAnya kedalam DNA dalam sel tumbuhan untuk ikut-ikutan menggandakan diri, tanpa harus “hidup” terlebih dahulu. Dari semua hal yang bisa dipelajari manusia dari virus, mereka memilih jahanam untuk dilakukan. Dasar manusia. Atau mungkin pohon-pohon itu tidak akan pandang bulu, apalagi tebang pilih tanam (istilah menggelikan yang dibuat oleh aktor-aktor kondang dalam dunia lingkungan). Semuanya dilibas, diperas sampai ke sumsum tulang. Ah, mudah-mudahan anak-anak yang membawa bola sepak besar itu pandai bersembunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun