Mohon tunggu...
Geckorin 69
Geckorin 69 Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi dan angkringan. Menyalurkan pikiran lewat tulisan dan tidak memiliki genre khusus dalam menulis. Random~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bocah Pinggiran

6 Juli 2013   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:56 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dulu, rumahku tak sekecil ini.

Lebih besar juga luas. Biar cuma berdinding anyaman bambu, bolong di sana-sini, berlantai tanah dan diterangi bohlam kecil sebesar 5 watt bercahaya redup kekuningan di tiap-tiap ruangannya.

Kampung ini juga tak sesesak sekarang.

Masih ada halaman luas tanpa pagar, batang-batang bambu tua tiang jemuran dan pohon buah-buahan di tiap teras rumah. Lebih dari sekadar lapang buat tempat main bocah-bocah kampung sepertiku. Maklum, waktu itu belum ada PSP, smartphone, internet, atau game center macam Time Zone. Satu-satunya mall di kota ini cuma ada di Malioboro. Selain bisa dijangkau pakai becak,andong dan taksi, juga bisa naik bis kota. Tapi, Ibu tak pernah sudi menghamburkan uang buat hal-hal sepele semacam itu. Yah, dibilang sepele karena buat makan sehari-hari saja kami kembang-kempis. Ibu bilang, asal bisa makan tiap hari dan bisa sekolah. Itu sudah cukup.

Makanya, setiap pukul 12 siang sepulang sekolah, aku dan kawan sekampung kumpul di halaman depan rumah Mak Lampir. Si nenek tetangga sebelah yang galaknya amit-amit tapi tahu isi buatannya terkenal paling enak di kampung. Bisa dibilang, aku ini penggemar setia tahu isi buatannya dari harga 50 perak sebiji sampai 250 perak sebelum akhirnya pensiun di awal tahun 2000 an.

Oke, abaikan tahu isinya. Bikin lapar.

Biar masih bocah, aku dan kawan sekampung lumayan sibuk.

Jam main kami panjang, mulai dari pukul 12 siang sampai pukul 5 sore sebelum diseret Ibu masing-masing buat mandi sore. Itu tidak termasuk  jam tidur siang karena tidak diperlukan. Bocah yang masih taat tidur siang biar sudah sekolah itu cemen. Bakal jadi bahan olokan yang level malu-maluinnya setara sama ketahuan ‘ngompol padahal sudah gede.

Tiap siang terkumpul 7– 8 bocah, 3 di antaranya berumur tanggung.

Cuaca panas, terik, udara kering dan berdebu bukan masalah. Mau main kasti, petak umpet, gobaksodor, atau perang ketapel pakai peluru buah buni muda. Selalu ada permainan seru dan kubu yang berbeda setiap harinya. Semua benda di sekitar bisa jadi mainan baru. Taruh saja kemasan botol plastik bekas shampoo yang sedang tren, menggantikan kemasan sachet, bisa jadi pistol air semprot sederhana dan murah meriah. Atau, sandal jepit bekas bisa jadi kapal layar di sungai kecil belakang rumah Pak Yoram dan bungkus permen Sugus bisa jadi ketapel mini, cuma dengan diikat karet gelang di kedua ujungnya. Lumayan buat rusuh di kelas pas lagi bosan.

Bicara soal permainan berkelompok, jelas Kasti menempati urutan pertama.

Kasti itu baseball tradisionalnya orang Indonesia. Ada 3 atau 4 base dan setiap tim berjumlah 4 atau 5 orang, tergantung jumlah bocah yang ikut main sih. 1 orang sebagai pitcher, tukang lempar bola, dan sisanya sebagai penjaga base yang tugasnya ‘ngembat runner tim lawan. Bocah paling lelet larinya bakal dijadikan anak bawang, paling mentok dijadikan wasit alias tukang hitung skor. Uniknya main kasti di kampung itu, basenya dipilih sembarangan asal masih satu lokasi halaman. Bisa pohon belimbing di pojokan halaman, rumpun pagar teh-tehan punya tetangga sebelah atau tiang jemuran.

Perang ketapel,ceplokan atau sumpit jadi urutan kedua.

Dan, ketapel dari ranting pohon jambu batu jadi item wajib punya dan wajib bawa setiap bocah di kampung. Biasanya sih selain buat main perang-perangan juga bisa buat panen – tanpa izin – pohon buah tak bertuan atau milik tetangga yang lagi ranum-ranumnya. Musim mangga, jambu batu atau jambu air, kami siap merajalela rasanya.

Sedangkan ceplokan dan sumpit, murni cuma buat main perang-perangan saja.

Ceplokan dibuat dari batang buluh bambu muda berdiameter 1 – 2 senti dengan panjang bervariasi, antara 20 – 25 senti. Cara membuatnya mudah, potong buluh bambu dan hilangkan sekat antar ruasnnya tanpa harus membelah buluhnya. Kemudian serut batang buluh lain yang lebih besar sebagai tongkat penyodok peluru dan buluh yang sudah dihilangi sekat ruasnya sebagai silinder meriamnya. Buat pelurunya dengan merendam kertas koran bekas dan meremasnya sampai setengah hancur, peras dan gumpalkan. Gunakan buluhnya dan isi dengan butiran kacang hijau kering, tiup sekencangnya setiap kali target mendekat dan jadilah – Sumpit.

Petak umpet dan Gobaksodor jadi pilihan ketiga.

Selain tidak memerlukan alat, asal ada halaman luas dan jumlah orang yang cukup, bisa dimainkan kapan saja tanpa repot. Soal petak umpet, yah – semua juga sudah tahu cara mainnya, lain halnya dengan gobaksodor.  Bagi vertikal kotak lapangan menjadi 2 bagian ruas kanan dan kiri, lalu bagi tiap ruasnya menjadi 3 petak horizontal. Garis di sepanjang kotak lapangan itulah jalur gerak si penjaga garis dan tugasnya cukup menyentuh pemain yang berusaha berlari melewatinya.

Gampang ‘kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun