Pada umumnya masyarakat Manggarai, Flores, NTT, memiliki ungkapan khas yang unik dan mencakup kekayaan makna serta arti yang mendalam bagi kehidupan bermasyarakat, keluarga atau pun pribadi dalam persaudara orang Manggarai, yang perlu untuk dijunjung tinggi dimana pun seseorang atau kelompok orang Manggarai berada.Â
Singkatnya bahwa Peribahasa ini biasanya diberikann oleh orangtua sebagai nasihat agar dalam hidup jangan ada pertengkaran atau berselisih pendapat tetapi selalu dan hendaklah membangun persaudaraan yang serasi dan kokoh seperti ungkapan berikut ini: Nai Ca Anggit (nafas dalam satu ikatan), tuka ca leleng (lahir satu perut yang sama), kudu neka woleng wintuk (jangan beda gerakan). Sangat menarik bahwa selogan ini merupakan petua dari para tetua Manggarai tempo dulu dalam menjaga khasana budaya yang sopan, toleransi serta saling menghargai satu sama lain.
Tidak bisa dielahkan juga bahwa menurut cerita yang secara lisan mengungkapakan bahwa selogan ini muncul karena ada latar belakang yang negative yang terjadi seperti: Jaman dahulu di Manggarai, Flores, NTT, banyak munculnya perang tanding atau perang antar suku yang terjadi. Maka muncullah pepatah ini sebagai penegah atau pendamai satu sama lain kemudian adanya perebutan tanah milik oleh kakak beradik dalam kehidupan karena pembagiaan harta warisan yang tidak merata dan munculnya suku yang ingin menindas atau berkuasa atas suku-suku lain yang dianggap lemah baik secara, intelek, fisik dan juga ekonomi dan menjadikan mereka sebagai budak dst.
Dengan demikian berikut adalah landasan dasar sejarah budaya Manggarai meliputi hal-hal bermakna yang menjadi dasar filosofis hingga kini dalam menjujung tinggi nilai positif dalam ruang lingkup sehari-hari:
Nai ca anggit sebagai kesatuan nafas. Pada dasarnya, masyarakat Manggarai berawal dari satu keturunan yang sama, yaitu nenek moyang Nuca Lale.Â
Sekalipun belakangan ini berbeda dalam hal kepercayaan. Tapi, pada dasarnya, kepercayaan masyarakat nusantara ialah kepercayaan animisme dan dinamisme yaitu percaya kepada roh halus dan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Itulah kepercayaan asli masyarakat Manggarai pada khususnya.Â
Manggarai memiliki sejarah, kebudayaa dan bahasa yang sama. Hal tersebut, dikarenakan memiliki satu asal mula yang sama sehingga terciptahlan khasana budaya yang elok.Â
Kesatuan nafas yang ditandai dengan selogan: Nai ca Anggit merupakan simbol benih yang sama yaitu seperma dan sel telur tersimpan dalam rahim seorang wanita. Itulah cikal bakal terbentuknya masyarakat Manggarai jaman dahulu.
Selanjutnya selogan Nai ca anggit, disimbolkan dengan rahim wanita, karena nafas bayi dalam kandungan berasal dari satu sumber, yaitu nafas seorang wanita yang mengandungnya. Kesatuan nafas itulah yang diambil dan dijadikan pegangan kuat bagi masyarakat Manggarai dalam menjaga tata ruang budaya Manggarai.Â
Kesatuan nafas atau yang disebut dengan Nai ca anggit, tersirat makna leluhur yang sangat kaut yaitu menghilangkan rasa keegoisan manusia dalam kehidupan sosial di masyarakat, menghindarkan terjadinya pertumpahan darah serta menciptakan masyarakat yang saling menghormati. Karena masyarakat Manggarai, bersumber pada sejarah dan nenek moyang yang sama dan satu.
Tuka ca leleng sebagai kesatuan Rahim. Kesatuan rahim yang disemboyankan dengan Tuka ca leleng, merupakan turunan dari Nai ca anggit yang merupakan cikal bakalnya terbentuk masyarakat Manggarai.Â
Manusia pada perinsipnya, diciptakan dalam kandungan wanita, akibat dari perpaduan seperma dan sel telur sehingga menghasilkan pembuahan. Pembuahan itulah yang menjadi awal kehidupan manusia dalam kandungan wanita. Kehidupan manusia, ketika berada dalam kandungan mencerminkan kesatuan dan kesamaan hidup seorang wanita dan bayi yang dikandung dalam rahim tersebut.
Wanita, selama sembilan bulan sepuluh hari selalu bersama bayinya dalam kandungan kapanpun dan dimanapun diberada. Kehidupan itulah yang menjadi philosophi hidup masyarakat manggarai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai dasar Nai ca anggit yang menjadi dasar pijakan bagi masyarakat manggarai, ketika meredahkan atau mendamaikan peperangan. Karena mengingat pada sumber yang sama, yaitu kesamaan darah daging yang lahir dari nenek moyang yang sama.
Kudu Neka woleng wintuk sebagai kesamaan karakter. Konon menurut cerita secara lisan bahwa orang Manggarai lahir dari nenek moyang yang sama. Oleh karena masyarakat berawal dari nenek moyang yang sama, yang ditandai dengan kesatuan nafas: Nai ca anggit dan kesatuan rahim Tuka ca leleng maka dalam kehidupan harus memiliki sikap dan karakter yang sama kudut Neka woleng wintuk. Hal demikian tercermin dalam kehidupan masyarakat Manggarai, yang memiliki karakter yang sama yaitu karakter berani dan tegas.
Pada umumnya, orang Manggarai mempunyai sikap yang sama, oleh karenanya dalam kehidupan sehari-hari tetap dan saling menghormati kepercayaan masing-masing sebagai umad beragama. Sekalipun berbeda dalam konsep kepercayaan tetapi, satu dalam keturunan sebagai orang Nuca Lale.Â
Sehingga pada gilirannya, masyarakat Manggarai tetap harmonis dan berdampingan dalam hidup. Rentan konflik yang terjadi di Manggarai sangat minim, kalaupun ada itu karena profokasi dari orang luar atau oknum yang ingin memecah belahkan keharmonisan yang telah dibangun dalam ruang lingkup kehidupan orang Manggarai.
Sebagai kesimpulan dari selogan saya: pertama-tama saya sangat mengapresiasi terutama bagi para tetua Manggarai sebagaimana ia bisa mewujudkan dan bisa dikatakan alangka cerdasnya para leluhur tempo dulu, yang memiliki pemikiran jauh kedepan, yang mampu menjangkau kehidupan awal manusia yaitu dalam rahim seorang wanita dan mampu menyelami hubungan oksigen antara seorang wanita dengan bayi dalam kandungannya. Ini menandakan bahwa, nenek moyang masyarakat Manggarai sudah lama mengenal ilmu. Selogan "Nai ca anggit, tuka ca leleng, kudut neka woleng wintuk", memiliki nilai yang sangat mendalam, yang dapat mengikat hati masyarakat Manggarai pada umumnya. Kesatuan nafas dan kesaman rahim sebagai landasan berpijak dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian yang terakhir semoga juga selogan ini akan terus berkumandang di manapun dan kapan pun sebagai pegangan hidup baik orang manggarai sendiri atau siapa saja yang mengerti dan memahami arti dan makna setelah membaca tulisan mendengar cerita dari pepatah atau ungkapan khas ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H