Mohon tunggu...
PEMULA27
PEMULA27 Mohon Tunggu... Petani - Terima kasih

Petani Berdasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Pepatah Nai Ca Angit, Tuka Ca Leleng Kudu Neka Woleng Wintuk dalam Perspektif Orang Manggarai

7 Juni 2021   13:05 Diperbarui: 7 Juni 2021   13:25 3791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.jurnalistravel.com

Manusia pada perinsipnya, diciptakan dalam kandungan wanita, akibat dari perpaduan seperma dan sel telur sehingga menghasilkan pembuahan. Pembuahan itulah yang menjadi awal kehidupan manusia dalam kandungan wanita. Kehidupan manusia, ketika berada dalam kandungan mencerminkan kesatuan dan kesamaan hidup seorang wanita dan bayi yang dikandung dalam rahim tersebut.

Wanita, selama sembilan bulan sepuluh hari selalu bersama bayinya dalam kandungan kapanpun dan dimanapun diberada. Kehidupan itulah yang menjadi philosophi hidup masyarakat manggarai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai dasar Nai ca anggit yang menjadi dasar pijakan bagi masyarakat manggarai, ketika meredahkan atau mendamaikan peperangan. Karena mengingat pada sumber yang sama, yaitu kesamaan darah daging yang lahir dari nenek moyang yang sama.

Kudu Neka woleng wintuk sebagai kesamaan karakter. Konon menurut cerita secara lisan bahwa orang Manggarai lahir dari nenek moyang yang sama. Oleh karena masyarakat berawal dari nenek moyang yang sama, yang ditandai dengan kesatuan nafas: Nai ca anggit dan kesatuan rahim Tuka ca leleng maka dalam kehidupan harus memiliki sikap dan karakter yang sama kudut Neka woleng wintuk. Hal demikian tercermin dalam kehidupan masyarakat Manggarai, yang memiliki karakter yang sama yaitu karakter berani dan tegas.

Pada umumnya, orang Manggarai mempunyai sikap yang sama, oleh karenanya dalam kehidupan sehari-hari tetap dan saling menghormati kepercayaan masing-masing sebagai umad beragama. Sekalipun berbeda dalam konsep kepercayaan tetapi, satu dalam keturunan sebagai orang Nuca Lale. 

Sehingga pada gilirannya, masyarakat Manggarai tetap harmonis dan berdampingan dalam hidup. Rentan konflik yang terjadi di Manggarai sangat minim, kalaupun ada itu karena profokasi dari orang luar atau oknum yang ingin memecah belahkan keharmonisan yang telah dibangun dalam ruang lingkup kehidupan orang Manggarai.

Sebagai kesimpulan dari selogan saya: pertama-tama saya sangat mengapresiasi terutama bagi para tetua Manggarai sebagaimana ia bisa mewujudkan dan bisa dikatakan alangka cerdasnya para leluhur tempo dulu, yang memiliki pemikiran jauh kedepan, yang mampu menjangkau kehidupan awal manusia yaitu dalam rahim seorang wanita dan mampu menyelami hubungan oksigen antara seorang wanita dengan bayi dalam kandungannya. Ini menandakan bahwa, nenek moyang masyarakat Manggarai sudah lama mengenal ilmu. Selogan "Nai ca anggit, tuka ca leleng, kudut neka woleng wintuk", memiliki nilai yang sangat mendalam, yang dapat mengikat hati masyarakat Manggarai pada umumnya. Kesatuan nafas dan kesaman rahim sebagai landasan berpijak dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian yang terakhir semoga juga selogan ini akan terus berkumandang di manapun dan kapan pun sebagai pegangan hidup baik orang manggarai sendiri atau siapa saja yang mengerti dan memahami arti dan makna setelah membaca tulisan mendengar cerita dari pepatah atau ungkapan khas ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun