Mohon tunggu...
gea amelia
gea amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Studi Analisis Hadist Mengenai Larangan Wanita Haid Masuk Masjid

8 Januari 2024   19:16 Diperbarui: 11 Januari 2024   14:57 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENULIS ARTIKEL : Dwi Putri Apriliany, Gaidha Noer Mulla Sadra, Gea Amelia, Tenny Sudjatnika M. Ag.

Larangan masuknya perempuan yang sedang haid menuai pro dan kontra dikalangan para ulama dan masyarakat. Beberapa ulama, terutama para ulama yang memegang madzhab tertentu meyakini bahwa wanita yang sedang haid sah-sah saja melewati masjid. namun, sebagian ulama juga berpendapat haram hukumnya bagi seorang perempuan melintasi masjid.
Pendapat  yang  menyatakan pelarangan itu didasarkan pada hadis Aisyah ra.berikut:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَفْلَتُ بْنُ خَلِيفَةَ حَدَّثَتْنِى جَسْرَةُ بِنْتُ دِجَاجَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ : جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَوُجُوهُ بُيُوتِ أَصْحَابِهِ شَارِعَةٌ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ :« وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنِ الْمَسْجِدِ ». ثُمَّ دَخَلَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يَصْنَعِ الْقَوْمُ شَيْئًا رَجَاءَ أَنْ تَنْزِلَ لَهُمْ رُخْصَةٌ ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ بَعْدُ فَقَالَ :« وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنِ الْمَسْجِدِ ، فَإِنِّى لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ (رواه أبو داود والبيهقي، وصححه ابن خزيمة)

Artinya: “Rasulullah SAW datang (ke  Madinah), dan  saat  itu pintu  rumah-rumah  para sahabatnya   menghadap   langsung   ke   masjid.   Nabi   saw.   kemudian   bersabda: “pindahkan pintu rumah-rumah kalian agar tidak menghadap ke  masjid”, Lalu Nabi  saw.  masuk  masjid. Tetapi  para  sahabat  tidak  melakukan apa  apa,  karena berharap   mereka  diberi  keringanan  (untuk  tidak   memindahkan  pintu  rumah mereka).   Karena   itu,   Nabi   saw.   keluar   menemui   mereka   dan   menegaskan: “alihkanlah  pintu  rumah-rumah    kalian    dari    masjid,    karena    saya    tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub.”
Larangan perempuan masuk masjid juga didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-Nisa’: 4/43, yaitu :

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَقۡرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنۡـتُمۡ سُكَارٰى حَتّٰى تَعۡلَمُوۡا مَا تَقُوۡلُوۡنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِىۡ سَبِيۡلٍ حَتّٰى تَغۡتَسِلُوۡا‌ ؕ وَاِنۡ كُنۡتُمۡ مَّرۡضٰۤى اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ اَوۡ جَآءَ اَحَدٌ مِّنۡكُمۡ مِّنَ الۡغَآٮِٕطِ اَوۡ لٰمَسۡتُمُ النِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُوۡا مَآءً فَتَيَمَّمُوۡا صَعِيۡدًا طَيِّبًا فَامۡسَحُوۡا بِوُجُوۡهِكُمۡ وَاَيۡدِيۡكُمۡ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوۡرًا

Artinya: “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”
Adapun kisah-kisah yang diambil dari beberapa sabda Rasulullah SAW yang dirasa relevan dengan boleh atau tidaknya wanita yang sedang haid masuk ke dalam masjid:

عن عائشة رضي االله عنها قالت: قال لي رسول االله صلي االله عليه وسلم: ناوليني الخمرة من المسجد, فقلت: اني حائض ,فقال :ان حيضتك ليست في يدك. (رواه الجماعة الا البخاري))

Artinya: "Dari Aisyah r.a berkata: "Suatu ketika Rasulullah SAW berkata kepadaku (di dalam masjid): Ambilkan dan berikan kepadaku sajadah (kain alas) untuk kuhamparkan." Lalu Aisyah r.a berkata: "Saya sedang haid," Rasulullah SAW kemudian bersabda: "(Ulurkan saja sajadah itu) karena haidmu itu bukanlah berada di tanganmu." (HR. Jamaah kecuali al- Bukhari) (Al-Kahlani, Beirut: 274).

Hadits ini merupakan hadits fi'li dari Aisyah yang menceritakan bahwa perempuan yang sedang haid tidak boleh masuk ke masjid. Rasulullah pasti akan menyuruh Aisyah membawa sajadah itu secara langsung ke dalam masjid jika dia diizinkan masuk. Meskipun demikian, Rasulullah hanya meminta Aisyah mengulurkan tangannya saja.
Sementara itu, ada beberapa hadis Nabi saw. yang lain yang mengesahkan bahwa perempuan yang sedang haid sah-sah saja berada di dalam masjid, sebagai berikut:
1. Kisah seorang perempuan berkemah di dalam masjid nabi

ذ أً سيَخ : -دخو سس٘ه الله صيٚ الله عيٞٔ ٗ سيٌ صشحخ ٕزا اىَسجذ . فْبدٙ ثأعيٚ ص٘رٔ ( إُ اىَسجذ لا ٝحو ىجْت ٗلا ىحبئط).
Artinya : “Dari Āisyah bahwa seorang budak wanita hitam milik salah satu suku dari bangsa Arab Mendatangi para sahabat. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka” Aisyah mengatakan: “Lalu wanita itu mendatangi Rasulullah saw.dan menyatakan diri masuk Islam” Aisyah mengatakan: “Dan wanita itu memiliki kemah kecil di dalam masjid sebagai tempat tinggalnya.”

2. Kisah Āisyah haid di musim haji
عِ عبئشخ سظٜ الله عْٖب أّٖب قبىذ : قذٍذ ٍنخ ٗأّب حبئط ٗىٌ أغف ثبىجٞذ ٗلا ثِٞ اىصفب ٗاىَشٗح قبىذ فشن٘د رىل إىٚ سس٘ه الله صيٚ الله عيٞٔ ٗ سيٌ قبه ( افعيٜ مَب ٝفعو اىحبج غٞش أُ لا رط٘فٜ ثبىجٞذحزٚ رطٖشٛ )

Artinya : “Dari Āisyah ra. ia berkata: Saya memasuki kota Mekah padahal saya belum Tawaf dan belum Sai. Lalu saya melaporkan peristiwa itu pada Nabi saw., kemudian Nabi saw. berkata: “Kerjakan semua yang dikerjakan oleh jamaah haji lainnya, kecuali tawaf di Ka'bah, sampai kamu suci dari haid mu.”

Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini. Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok, pendapat pertama yang melarang perempuan haid memasuki masjid secara mutlak dan ini adalah pendapat madzhab Maliki. Kedua, pendapat yang melarang perempuan haid memasuki masjid dan membolehkan jika sekedar lewat, dan ini adalah pendapat Syafi’i. Ketiga, pendapat yang membolehkan perempuan haid memasuki masjid dan ini adalah pendapat Zahiri.
1. Imam al-Syafi’i
Pandangan Imam al-Syafi'i Jumhur berpendapat  bahwa  wanita yang  sedang  haid  dan orang yang sedang junub tidak dibolehkan untuk berdiam diri (menetap) di dalam  masjid. Argumen ini didukung oleh pendapat dari hadits Aisyah yang menyatakan bahwa Rasulullah  saw.  pernah bersabda,  “Aku  tidak menghalalkan  masjid  untuk dimasuki  oleh  orang  junub  dan  perempuan  yang  haid”.  Namun, Jumhur bertentangan dengan hadits tersebut dan berpendapat bahwa orang yang berhadas besar atau haid boleh melintasi masjid jika mereka yakin bahwa darah haidnya tidak akan mengotori masjid. Jika seorang wanita tidak dapat menjamin bahwa darah haidnya tidak akan mengotori masjid karena banyaknya darah atau karena aliran darah yang tidak dapat dihentikan, maka wanita tersebut dilarang masuk dan haram melewatinya. Sebagian ahli tafsir, menurut Imam al-Syafi'i, mengatakan bahwa wanita haid atau yang sedang nifas boleh melintas di dalam masjid jika darah haid dan nifasnya dapat dijaga agar masjid tidak terkotori. Jika wanita tersebut memiliki kebutuhan mendesak maka diizinkan baginya untuk melintasi masjid tanpa berdiam diri di dalam. Meskipun ayat tidak menyebutkan kata "orang haid", para ulama mengqiyaskannya dengan "orang junub" yang disebutkan dalam ayat, sehingga tidak hanya orang haid yang dapat melintasi masjid.

2. Imam Maliki
Ulama mazhab Maliki juga melarang wanita yang sedang haid untuk masuk ke dalam masjid dalam kondisi atau keadaan apapun seorang wanita. Hal ini adalah berdasarkan hadits Rasulullah SAW berikut :

لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ

Artinya : “Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442).
Dan juga disebutkan dalam hadits berikut,

وَيَعْتَزِلُ اَلْحُيَّضُ اَلْمُصَلَّى

Artinya : “Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324).
Namun, dalam kondisi tertentu, golongan ini membolehkan dengan dua syarat, yaitu orang tersebut tidak mendapatkan air untuk mandi dan tidak mendapatkan jalan lain untuk dilewati, kecuali hanya masjid dan orang-orang yang khawatir terkena penyakit dan tidak mendapatkan tempat lain selain masjid.
3. Imam Zahiri
Imam Zahiri berpendapat bahwa perempuan yang sedang haid dan junub boleh memasuki masjid. Begitupun dengan seorang wanita yang diperbolehkan untuk melewati masjid. berdasarkan firman Allah SWT pada surat An-nisa ayat 43

… ولا جنبا إلا عابري السبيل حتى تغتسل

Artinya: “Janganlah kamu hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar melewati saja hingga kamu mandi.”
Sebenarnya, Imam Zahiri mengikuti pendapat Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Jubair dari Mujtahid, yang menyimpulkan bahwa orang junub dan perempuan haid tidak dilarang untuk memasuki masjid. Mazhab Zahiri mencoba menghindari alasan konvensional yang digunakan oleh Jumhur Ulama.

Ulama Zahiri membantah illat umum yang digunakan oleh mayoritas ulama, menyatakan bahwa seluruh tanah di bumi ini adalah masjid dan boleh digunakan untuk shalat (Al Bukhari,, t.t:183). Orang junub dan wanita haid tidak dilarang menginjakkan kaki di mana saja di bumi ini, termasuk di lantai masjid. Jadi, setiap mukmin bukanlah najis; yang najis adalah orang-orang musyrik, seperti yang dinyatakan dalam ayat 28 surah at-Taubah, "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis." Ini menunjukkan bahwa perempuan haid dan orang junub yang beriman tidak dianggap sebagai najis, sehingga mereka dapat masuk dan menetap di masjid.

4. Imam Ahmad Al- Baghawi
Abu Muhammad al-Baghawi seorang ahli tafsir, ahli hadits dan ulama fiqih memberikan pernyataan berdasarkan pendapat dari Imam Ahmad. Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang wanita yang sedang haid sah saja untuk berdiam diri di dalam masjid. Alasan yang melatarbelakangi pendapatnya tersebut, bahwa hadits yang melarang wanita masuk dan tinggal di dalam masjid berkualitas dhaif dikarenakan di dalam sanad tersebut terdapat rawi atau periwayat hadits yang Majhul. Majhul disini berarti perawi yang menyampaikan hadits tersebut tidak dapat diidentifikasi kualitas dhabit nya secara baik. Contohnya seperti “telah menceritakan kepada saya si fulan, dari rajul, dari seorang syeikh”. Kata fulan, rajul dan syeikh tidak menjelaskan secara gamblang nama perawi hadits. Karena hal ini, Imam Ahmad berpendapat bahwa hadits yang membahas mengenai larangan wanita masuk masjid bersifat Majhul atau dengan kata lain berkualitas dhaif. Periwayat yang dimaksud Imam Ahmad dalam hadits tersebut adalah Aflat bin Khalifah. Oleh karena itu, hadits yang ditakhrij oleh Ibnu Dawud dan Ibnu Majah, dinilai berkualitas dhaif oleh para ulama. Imam Ahmad mencoba menerangkan kembali yang dimaksud dalam Al-Qur`an, surat An-nisa ayat ayat 43, beliau berpendapat bahwa maksud dari kalimat “Ābir sabīl” yang terdapat pada ayat tersebut ditunjukkan kepada para musafir yang sedang dalam keadaan junub yang diperbolehkan untuk bertayamum dan melaksanakan shalat, dalam hal ini Ibnu abbas berpendapat sama.

Berdasarkan pengakuan Atha bin Yasar yang pernah melihat sahabat-sahabat nabi yang sedang duduk di dalam masjid dalam keadaan junub. Namun, sahabat itu sebelumnya telah berwudhu sebagaimana berwudhu ketika akan melaksanakan shalat. Karena hal inilah Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang sedang junub dan telah berwudhu, boleh saja berdiam diri di masjid. Maka dapat disimpulkan, jika orang yang sedang junub diperbolehkan berdiam di masjid setelah ia berwudhu maka wanita yang sedang haid, yang juga sedang berhadas besar seharusnya dapat diqiyaskan hukumnya kepada orang junub. Kalau yang junub saja tidak dilarang untuk duduk di dalam masjid, tentu apalagi yang haid. ini lah hal yang mendasari pendapat Imam Ahmad.

Imam Ahmad membolehkan wanita haid untuk menetap di dalam masjid dengan syarat wanita itu yakin darah haid nya tidak akan menetes dan mengotori lantai masjid. Hal ini karena illat keharamannya, yaitu mengotori masjid. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Imam Ahmad, Al-Muzani, Abu Dawud dan Ibnu Hazm berpandangan bahwa wanita haid boleh berdiam diri di masjid, karena tidak ada dalil yang shahih yang melarang wanita haid masuk masjid.

5. Imam Hambali
Imam Hambali berpendapat bahwa wanita yang sedang haid boleh berdiam diri di masjid asalkan darah nya tidak berceceran dan mengotori lantai. Maka dapat disimpulkan bahwa wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk kedalam masjid. Imam Hambali sependapat dengan Imam Syafi`i hanya saja terdapat perbedaan kecil seperti hanya untuk mengambil sesuatu, meninggalkan sesuatu, atau ada jalan yang harus dilewati. Selain daripada yang disebutkan tidak diperbolehkan.

REFERENSI

Elfia. (2019).  Kajian Tematis Tentang Larangan Perempuan Haid Masuk Mesjid dn Membaca Al-quran. Jurnal Analisis Gender dan Agama.

Ibnu Harish. (2017). Hukum I’tikaf di Masjid Bagi Perempuan Haid. Majalah Nabawi: Media Keilmuan dan Keislaman.

Mulyana. Nurdin, Roswati. H, Rajab. (2022). Menggugat Larangan Wanita Haid Berdiam Dalam Masjid (Perbandingan Pandangan Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad). Muqaranah. Volume 6, nomor 2. SSN: 2809-3658 E-ISSN: 2809-4832.

Chamim, Muhammad Nur (2023) Hadis Tentang Larangan Wanita Haid Masuk Masjid (Kajian Maanil Hadis Dalam Kitab Sunan Abu Dawud Nomor 232 Dengan Pendekatan Kesetaraan Gender). Undergraduate thesis, IAIN KUDUS.

Rahim, Mudrikah (2019) Hukum Wanita Haid Berdiam didalam Masjid Menurut Madzhab Fiqih. Undergraduate thesis, IAIN Metro.

Gustina, Erni. Djannah, Sitti Nur. (2015). Sumber Informasi dan Pengetahuan Tentang Menstrual Hygiene Pada Remaja Putri. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Kemas 10 (2) (2015) 147-152.

Muhammad, Kudhori. (2019). Argumentasi Fikih Klasik Bagi Perempuan Haid Dalam Beraktivitas Di Mesjid, Membaca dan Menyentuh Al-Quran. Al-Manāhij: Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. XIII No. 2. p-ISSN 1978-6670 | e-ISSN 2579-4167.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun