Mohon tunggu...
gea amelia
gea amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Studi Analisis Hadist Mengenai Larangan Wanita Haid Masuk Masjid

8 Januari 2024   19:16 Diperbarui: 11 Januari 2024   14:57 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Artinya : “Dari Āisyah ra. ia berkata: Saya memasuki kota Mekah padahal saya belum Tawaf dan belum Sai. Lalu saya melaporkan peristiwa itu pada Nabi saw., kemudian Nabi saw. berkata: “Kerjakan semua yang dikerjakan oleh jamaah haji lainnya, kecuali tawaf di Ka'bah, sampai kamu suci dari haid mu.”

Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini. Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok, pendapat pertama yang melarang perempuan haid memasuki masjid secara mutlak dan ini adalah pendapat madzhab Maliki. Kedua, pendapat yang melarang perempuan haid memasuki masjid dan membolehkan jika sekedar lewat, dan ini adalah pendapat Syafi’i. Ketiga, pendapat yang membolehkan perempuan haid memasuki masjid dan ini adalah pendapat Zahiri.
1. Imam al-Syafi’i
Pandangan Imam al-Syafi'i Jumhur berpendapat  bahwa  wanita yang  sedang  haid  dan orang yang sedang junub tidak dibolehkan untuk berdiam diri (menetap) di dalam  masjid. Argumen ini didukung oleh pendapat dari hadits Aisyah yang menyatakan bahwa Rasulullah  saw.  pernah bersabda,  “Aku  tidak menghalalkan  masjid  untuk dimasuki  oleh  orang  junub  dan  perempuan  yang  haid”.  Namun, Jumhur bertentangan dengan hadits tersebut dan berpendapat bahwa orang yang berhadas besar atau haid boleh melintasi masjid jika mereka yakin bahwa darah haidnya tidak akan mengotori masjid. Jika seorang wanita tidak dapat menjamin bahwa darah haidnya tidak akan mengotori masjid karena banyaknya darah atau karena aliran darah yang tidak dapat dihentikan, maka wanita tersebut dilarang masuk dan haram melewatinya. Sebagian ahli tafsir, menurut Imam al-Syafi'i, mengatakan bahwa wanita haid atau yang sedang nifas boleh melintas di dalam masjid jika darah haid dan nifasnya dapat dijaga agar masjid tidak terkotori. Jika wanita tersebut memiliki kebutuhan mendesak maka diizinkan baginya untuk melintasi masjid tanpa berdiam diri di dalam. Meskipun ayat tidak menyebutkan kata "orang haid", para ulama mengqiyaskannya dengan "orang junub" yang disebutkan dalam ayat, sehingga tidak hanya orang haid yang dapat melintasi masjid.

2. Imam Maliki
Ulama mazhab Maliki juga melarang wanita yang sedang haid untuk masuk ke dalam masjid dalam kondisi atau keadaan apapun seorang wanita. Hal ini adalah berdasarkan hadits Rasulullah SAW berikut :

لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ

Artinya : “Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442).
Dan juga disebutkan dalam hadits berikut,

وَيَعْتَزِلُ اَلْحُيَّضُ اَلْمُصَلَّى

Artinya : “Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324).
Namun, dalam kondisi tertentu, golongan ini membolehkan dengan dua syarat, yaitu orang tersebut tidak mendapatkan air untuk mandi dan tidak mendapatkan jalan lain untuk dilewati, kecuali hanya masjid dan orang-orang yang khawatir terkena penyakit dan tidak mendapatkan tempat lain selain masjid.
3. Imam Zahiri
Imam Zahiri berpendapat bahwa perempuan yang sedang haid dan junub boleh memasuki masjid. Begitupun dengan seorang wanita yang diperbolehkan untuk melewati masjid. berdasarkan firman Allah SWT pada surat An-nisa ayat 43

… ولا جنبا إلا عابري السبيل حتى تغتسل

Artinya: “Janganlah kamu hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar melewati saja hingga kamu mandi.”
Sebenarnya, Imam Zahiri mengikuti pendapat Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Jubair dari Mujtahid, yang menyimpulkan bahwa orang junub dan perempuan haid tidak dilarang untuk memasuki masjid. Mazhab Zahiri mencoba menghindari alasan konvensional yang digunakan oleh Jumhur Ulama.

Ulama Zahiri membantah illat umum yang digunakan oleh mayoritas ulama, menyatakan bahwa seluruh tanah di bumi ini adalah masjid dan boleh digunakan untuk shalat (Al Bukhari,, t.t:183). Orang junub dan wanita haid tidak dilarang menginjakkan kaki di mana saja di bumi ini, termasuk di lantai masjid. Jadi, setiap mukmin bukanlah najis; yang najis adalah orang-orang musyrik, seperti yang dinyatakan dalam ayat 28 surah at-Taubah, "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis." Ini menunjukkan bahwa perempuan haid dan orang junub yang beriman tidak dianggap sebagai najis, sehingga mereka dapat masuk dan menetap di masjid.

4. Imam Ahmad Al- Baghawi
Abu Muhammad al-Baghawi seorang ahli tafsir, ahli hadits dan ulama fiqih memberikan pernyataan berdasarkan pendapat dari Imam Ahmad. Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang wanita yang sedang haid sah saja untuk berdiam diri di dalam masjid. Alasan yang melatarbelakangi pendapatnya tersebut, bahwa hadits yang melarang wanita masuk dan tinggal di dalam masjid berkualitas dhaif dikarenakan di dalam sanad tersebut terdapat rawi atau periwayat hadits yang Majhul. Majhul disini berarti perawi yang menyampaikan hadits tersebut tidak dapat diidentifikasi kualitas dhabit nya secara baik. Contohnya seperti “telah menceritakan kepada saya si fulan, dari rajul, dari seorang syeikh”. Kata fulan, rajul dan syeikh tidak menjelaskan secara gamblang nama perawi hadits. Karena hal ini, Imam Ahmad berpendapat bahwa hadits yang membahas mengenai larangan wanita masuk masjid bersifat Majhul atau dengan kata lain berkualitas dhaif. Periwayat yang dimaksud Imam Ahmad dalam hadits tersebut adalah Aflat bin Khalifah. Oleh karena itu, hadits yang ditakhrij oleh Ibnu Dawud dan Ibnu Majah, dinilai berkualitas dhaif oleh para ulama. Imam Ahmad mencoba menerangkan kembali yang dimaksud dalam Al-Qur`an, surat An-nisa ayat ayat 43, beliau berpendapat bahwa maksud dari kalimat “Ābir sabīl” yang terdapat pada ayat tersebut ditunjukkan kepada para musafir yang sedang dalam keadaan junub yang diperbolehkan untuk bertayamum dan melaksanakan shalat, dalam hal ini Ibnu abbas berpendapat sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun