Ketika saya pertama kali tiba di Pondok Pesantren Al-Mizan, rasa cemas yang sebelumnya membayangi perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu. Sambutan hangat dari para santri menjadi awal dari pengalaman yang mengesankan. Mereka menerima kami, anak-anak kota, dengan penuh kehangatan. Sikap ramah dan senyuman mereka menghapus semua kekhawatiran saya. Â
Pada hari kedua, saya mencoba untuk beradaptasi dalam jadwal ketat yang harus diikuti: bangun pukul empat pagi, mengikuti pengajian, makan bersama, belajar, hingga tidur di waktu yang sudah ditentukan. Namun, Saya juga mulai merasa nyaman dengan kehidupan di pondok. Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika kami ikut makan dalam liwetan. Duduk bersama, berbagi nasi dan lauk dari satu wadah besar, menciptakan rasa kebersamaan yang sulit ditemukan di kehidupan sehari-hari. Saya juga ikut serta dalam pengajian pagi, mendengarkan ceramah dari pemilik pondok yang menekankan pentingnya toleransi dan saling menghormati. Melalui aktivitas ini, saya mulai menyadari bahwa kehidupan di pondok bukan sekadar tentang disiplin, tetapi juga tentang menghargai hubungan antar manusia dan belajar dari perbedaan. Â
Pada hari terakhir, rasa cemas saya telah berubah menjadi rasa syukur. Saya belajar banyak dari para santri, bukan hanya tentang disiplin, tetapi juga tentang rasa bersyukur dalam menjalani hidup. Interaksi sederhana, seperti membantu teman dalam tugas, berbagi cerita, atau sekadar tertawa bersama, membuat saya merasa bahwa persahabatan tidak memerlukan kesamaan dunia. Â
Persahabatan di Tengah Perbedaan Dunia
Persahabatan yang terjalin di tengah perbedaan dunia membuktikan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk saling memahami dan menghormati. Selama berada di Pondok Pesantren Al-Mizan, saya menyaksikan bagaimana perbedaan budaya dan cara hidup tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin hubungan yang mendalam. Sebaliknya, perbedaan tersebut menjadi jembatan yang menghubungkan kami. Dalam kehidupan modern yang sering kali menekankan individualisme, nilai-nilai seperti kebersamaan dan toleransi menjadi semakin langka. Namun, pengalaman di Pondok Pesantren Al-Mizan menunjukkan bahwa persahabatan sejati dapat terbentuk ketika kita membuka hati dan menerima orang lain tanpa memandang latar belakangnya.Â
Dalam konteks yang lebih luas, hal ini relevan dengan masyarakat Indonesia yang multikultural. Jika para santri di pondok dapat hidup berdampingan dalam harmoni, meski berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang yang berbeda, mengapa kita yang hidup di kota besar sering kali sulit untuk menerima perbedaan? Toleransi bukanlah sesuatu yang lahir secara alami, tetapi adalah sesuatu yang dipelajari dan diterapkan. Dengan membuka diri terhadap perbedaan, kita dapat menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi.
Â
Kehidupan di pondok mengajarkan saya bahwa disiplin dan kesederhanaan dapat menciptakan suasana yang penuh makna. Para santri menjalani kehidupan dengan begitu teratur: bangun pagi, mengikuti jadwal belajar, dan menyelesaikan tugas-tugas harian dengan penuh tanggung jawab. Tidak ada keluhan, tidak ada keinginan untuk melarikan diri dari kewajiban. Mereka menjalaninya dengan hati yang lapang dan senyuman di wajah. Kegiatan seperti makan bersama bukan hanya soal mengisi perut, tetapi juga momen untuk saling berbagi cerita, tertawa, dan menguatkan hubungan. Saya merasa bahwa dalam kesederhanaan itu ada kekayaan yang luar biasa, yaitu rasa syukur dan kebersamaan yang mendalam. Â
Teori Interaksi Sosial dan Kontruktivisme
Dalam teori interaksi sosial, Emile Durkheim menjelaskan pentingnya solidaritas dalam membangun hubungan antarindividu, terutama dalam masyarakat yang majemuk. Solidaritas mekanik, menurut Durkheim, tercipta dalam komunitas dengan norma dan nilai yang seragam, seperti yang terlihat di Pondok Pesantren. Para santri menjalankan rutinitas yang sama dan berbagi tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tercipta rasa kebersamaan yang mendalam. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kesamaan aktivitas dan tujuan memperkuat hubungan sosial (Durkheim, The Division of Labor in Society, 1893). Â
Selain itu, teori konstruktivisme sosial dari Lev Vygotsky juga relevan dalam memahami interaksi lintas budaya di Pondok Pesantren. Vygotsky menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi dengan individu lain yang memiliki pandangan dan pengetahuan berbeda. Dalam konteks ini, interaksi antara saya dan para santri membantu saya memahami nilai-nilai baru seperti disiplin, kebersamaan, dan toleransi. Melalui dialog dan partisipasi aktif dalam kegiatan di pondok, pengalaman saya menjadi bentuk pembelajaran konstruktif, di mana pengetahuan dan perspektif berkembang seiring dengan interaksi yang terjadi (Vygotsky, Mind in Society, 1978). Â