Sudah tahu bikin capek, tidak nyaman, harus menghadapi marabahaya, kenapa sih balik lagi ke gunung?
Pendakian ke-3 menuju atap Sindoro.
Liburan tahun lalu, lagi-lagi saya melakukan pendakian. Karena sebelumnya sudah berhasil sampai di puncak sejati Gunung Sumbing, kali ini saya mencoba untuk melanjutkan ke puncak Sindoro. Sudah tidak awam lagi istilah Triple S Jawa Tengah di kalangan para pendaki, antara Si Kembar dan Sang Tertinggi. Sindoro, Sumbing, dan Slamet.
Pada pendakian sebelumnya, saya selalu berangkat dengan rombongan yang ramai. Tetapi pada pendakian kali ini, saya hanya bersama dengan dua orang teman saya.
Grasindo, jalur favorit para pendaki Gunung Sindoro via Kledung.Â
Ikut umum aja, walaupun jalur ini terbilang ramai tetapi pesonanya yang menakjubkan serta aksesibilitasnya yang relatif mudah membuatnya tetap menjadi pilihan favorit bagi banyak pendaki.
Sebelum trekking pastinya ya registrasi dulu. Mengumpulkan bukti identitas pribadi dan menaati beberapa panduan yang diberikan dari pihak basecamp. Kami diberikan kertas untuk pendataan yang harus ditulis dengan nama anggota dari setiap tim yang akan trekking. Didalamnya juga terdapat list barang bawaan yang harus diisi guna untuk dilakukanya pengecekan jumlah sampah logistik pada saat nanti turun dan tiba di basecamp.Â
Tak hanya itu, ini juga untuk memastikan setiap pendaki tidak membawa barang yang terlarang seperti tisu basah. Setiap basecamp memiliki peraturan yang berbeda-beda terkait peraturan perihal barang bawaan. Tetapi hampir semua basecamp menerapkan untuk tidak diperbolehkan membawa tisu basah.Â
Mengapa demikian? Selain karena sulit terurai, tisu basah juga Berpotensi termakan oleh hewan liar yang dapat menyebabkan sakit bahkan kematian pada hewan, karena Hewan liar biasanya mendekati sisa makanan pendaki yang dibuang sembarangan. Kami juga mendapatkan peraturan untuk tidak berada dipuncak setelah jam 10 pagi karena aktivitas kawah yang biasanya meningkat pada siang hari.
Harga tiketnya terbilang cukup murah, tak beda juga dengan basecamp lainya. 20.000 per orang dengan rincian 15.000 untuk Perhutani dan 5.000 untuk fasilitas basecamp.
Karena jarak dari basecamp menuju pos 1 lumayan jauh, kami pun memutuskan untuk sedikit manja dan menggunakan jasa ojek dengan harga 25.000 yang pastinya untuk mempersingkat waktu dan mengantisipasi untuk tidak bertemu dengan hujan saat diperjalanan karena pada waktu itu sedang musim hujan. Ojek sedikit bablas, hingga kami turun di pos 1 setengah, sebut saja pos ojek. Saat itu juga kami mulai berdoa dan memulai trekking.
Oiya, bagi kompasianer yang ingin melakukan trekking melalui jalur ini tetapi sedang musim kemarau, jangan lupa untuk membawa buff atau masker ya, karena jalur ini terbilang sangat berdebu.
11.40 Jalan dari pos ojek menuju pos 2
Karena ini adalah musim hujan, jalan yang kami lewati tidak berdebu tetapi sangat berlumpur dan licin. Selama musim hujan, jalur trekking yang biasanya berdebu bisa berubah menjadi berlumpur dan licin karena air hujan yang menggenangi jalur tersebut.Â
Oleh karena itu, penting bagi kami untuk tetap waspada dan hati-hati selama perjalanan, serta mempersiapkan perlengkapan yang sesuai seperti sepatu yang tahan air dan tahan licin agar dapat menghindari cedera dan menjaga kenyamanan selama perjalanan.
Perjalanan kali ini terbilang cukup cerah dengan langit yang bersih dan sinar matahari yang terang. Malam sebelumnya ketika kami beristirahat di basecamp, hujan turun dengan deras. Hujan yang turun membawa kesegaran baru di lingkungan sekitar, menyegarkan udara yang tadinya panas akibat adanya sinar matahari.
12.40 Pos 2 (1980 Mdpl)
Sesampainya di pos 2 kami melakukan istirahat sebentar untuk meregangkan otot dan mengisi energi. Disini juga terdapat warung yang menyediakan makanan dan minuman untuk para pendaki. Kehadiran warung ini menjadi sarana yang sangat membantu bagi para pendaki untuk mendapatkan asupan energi tambahan selama beristirahat.Â
Selain itu, warung ini juga dapat menjadi tempat bertemu dan berinteraksi dengan pendaki lainnya, bertukar cerita, dan berbagi pengalaman tentang perjalanan mereka.
Pukul 13.20 kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Setelah berjalan sekitar 15 menit, jalan yang tadinya hanya terdapat tanah kini bercampur dengan bebatuan. Perubahan kondisi jalur ini menandakan bahwa perjalanan akan semakin menantang.Â
Kami perlu lebih berhati-hati saat melangkah untuk menghindari tergelincir atau terjatuh akibat permukaan yang tidak rata dan bebatuan yang licin. Ini adalah saat yang penting bagi para pendaki untuk memperhatikan keamanan dan kesehatan mereka, serta untuk tetap berkomunikasi dan saling membantu satu sama lain dalam menghadapi tantangan yang ada di jalur menuju pos 3.
14.20 Area Watu Longko (2127 Mdpl). Walaupun bukan dianggap sebagai pos peristirahatan, area ini terdapat space yang cukup luas untuk para pendaki beristirahat. Perjalanan dari pos 2 hingga area ini menempuh jarak yang cukup jauh sekitar 5 Km dengan beragam kondisi jalur. Banyak para pendaki yang melakukan peristirahatan disini.
16.20 Pos 3 (2317 Mdpl)
Banyak para pendaki yang mendirikan tenda disini, selain karena lokasinya yang cukup luas, disini juga menawarkan pemandangan alam yang begitu indah. Para pendaki dapat menikmati panorama yang memukau di sekitar mereka, termasuk view Gunung Sumbing yang terlihat jelas di kejauhan. Pos ini cukup nyaman, dan saya pikir kami akan camping disini. Tapi kata teman saya "Lebih baik kita camping diatas, di Sunrise Camp". Dia juga mengatakan bahwa jarak dari pos 3 menuju sunrise camp tidak begitu jauh, hanya memakan waktu sekitar 15 menit.
Sesampainya di Sunrise Camp
Lokasi ini begitu luas, para pendaki bisa memilih antara mendirikan tenda di lahan yang terbuka atau di sekitar pepohonan lamtoro.
Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di area pepohonan karena mengingat ketidakpastian cuaca selama musim hujan. Pepohonan ini dapat memberikan perlindungan tambahan dari hujan dan angin jika nantinya datang secara tiba-tiba.
Setelah tenda selesai didirikan, kami pun mulai memasak, tetapi benar saja, dengan perlahan gerimis pun datang. Tak heran karena memang sebelumnya setiap di sore hari pasti turun hujan hingga larut malam bahkan hingga pagi hari.
Ketika hari mulai gelap, hujan makin besar dan angin mulai kencang. Seberes berbincang dan sedikit bermain games, kami pun memutuskan untuk beristirahat karena esok pendakian akan dimulai pada dini hari.
Angin makin kencang, hujan makin besar, dan beberapa kali pasak tenda tercopot. Itu membuat kami harus berulang kali masuk keluar tenda untuk membetulkan pasak.
Sekitar jam 1 pagi kondisi mulai membaik, saya sempat terbangun untuk membuat teh hangat karena situasi yang sangat dingin kala itu.
Lanjut tidur hingga terbangun tepat pada pukul 05.00.
Perjalanan Summit
Awalnya kami panik, mengingat perjalanan summit masih lumayan panjang tetapi jam 5 pagi baru bangun. Ketika membuka tenda, tak disangka, angin kencang dan kabut yang tebal benar-benar membuat kami pesimis untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak, terlebih terdapat peraturan yang harus kami taati perihal waktu selama di puncak.
Tepat pukul 07.00 kondisi diluar sudah mulai kondusif walaupun masih terdapat sedikit badai yang masih berlangsung. Melihat para pendaki yang mulai melakukan perjalan summit, kami pun ikut serta untuk memulainya.
Jalur dari pos sunrise menuju puncak lumayan terjal, tetapi tidak begitu jauh, terlebih dalam perjalanan summit ini kami tidak lagi membawa carrier dan menjadikan langkah terasa ringan.
Baru setengah perjalanan, angin mulai kencang, dan kabut pun mulai menutupi jarak pandang kami. Saat mulai mendekati puncak, saya sempat terjatuh karena tidak kuat menahan kencangnya angin kala itu. Saya memutuskan untuk merangkak di sisa perjalanan ini. Sempat kami berhenti sejenak di balik bebatuan untuk merenungkan pilihan kami. Memutuskan untuk kembali adalah pilihan bijak, namun, itu juga berarti mengakui kekalahan terhadap alam. Terdapat kekecewaan yang mendalam dalam hati kami, namun, juga ada rasa lega karena keputusan tersebut.
Melihat adanya pendaki yang sedang melakukan perjalanan turun dan saya bertanya
"Mas, kira-kira kalo sekarang lanjut keatas memungkinkan tidak ya?"
Ia menjawab, "Yang penting yakin mas, nanti sampai puncak gausah lama-lama, badai diatas lebih besar dari pada disini, terlebih bau belerangnya juga sudah mulai menyengat".
Di waktu itu juga kami langsung memakai masker untuk meminimalisir bau belerang. Saat kami melangkahkan kaki kembali, ada rombongan pendaki yang berteriak memanggil kami.
"Mas!! Tunggu mas"
Saya kira ada apa, ternyata orang itu meminta untuk bergabung dengan kami di sisa perjalanan menuju puncak ini. Dengan bertambahnya anggota dalam perjalanan ini membuat yakin dengan keputusan yang kami ambil, menembus badai menuju atap Gunung Sindoro.
Tak lama setelah itu, tibalah kami di atap Gunung Sindoro. Badai yang terus menghantam disertai angin kencang, kabut tebal dan bau belerang membuat kami sadar bahwa kami tidak punya banyak waktu untuk ada disini. Terlebih suara yang menggelegar dan gemuruh dari dalam kawah gunung menambah ketakutan dan kecemasan dalam diri kami. Tidak banyak yang kami lakukan disini, cukup dengan mendokumentasikan sebuah besi yang terpasang disebuah batu bertuliskan "Sindoro 3135 MDPL" dan melakukan 2x foto bersama untuk mengabadikan momen berharga ini.
Masih banyak cerita saat kami berjalan turun menuju basecamp, apakah perlu saya buat bagian 2?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H